Selasa, April 12, 2011
0
JAKARTA-(IDB): Hampir sebulan kapal Sinar Kudus dalam penguasaan perompak Somalia. Pemerintah didesak menggunakan kekuatan militer untuk membebaskan 20 anak buah kapal (ABK) Indonesia yang ada di kapal itu. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengerahkan kapal perang KRI Frans Kaisiepo yang sekarang berada di Libanon.

"Ada kapal korvet kita KRI Frans Kaisiepo yang sedang bertugas di Libanon dalam misi UNIFIL (PBB). Kapal ini bisa diputar haluan untuk membebaskan Sinar Kudus di Somalia. Ini korvet bukan kapal odong-odong, bukan korvet kacangan," ujar mantan anggota DPR dari Komisi I, Yusron Ihza Mahendra.
KRI Frans Kaisiepo 368
Berikut ini wawancara detikcom dengan alumnus jurusan Hubungan Internasional UI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini, Selasa (12/4/2011):

Hampir sebulan 20 ABK Kapal Sinar Kudus dalam penawanan Perompak Somalia. Apakah cara-cara soft power masih relevan?

Menurut saya, diplomasi tidak ada gunanya. Ini tidak akan efektif karena Somalia itu kan dilanda perang saudara. Pemerintah Somalia ini antara ada dan tiada karena sibuk dengan perang saudara. Kalau mau ambil cara diplomasi, diplomasi dengan negara yang porak poranda, tentu mereka tidak akan concern dengan masalah kita. Jadi mau diplomasi sama siapa? Masalah mereka saja tidak kurang besar, bagaimana mungkin peduli dengan masalah kita.

Bagaimana dengan ide mengedepankan jalur keagamaan? Apakah akan efektif?

Ide menggunakan jalur keagamaan, menurut saya, itu tidak akan efektif. Sebab kapal yang dibajak berbendera Indonesia dan sebagian besar awaknya adalah orang Indonesia. Kalau di atas kapal asing ada beberapa warga negara kita, mungkin pendekatan jalur agama bisa. Tapi ini kan isinya semua orang Indonesia.

Kalau dalam perompakan, tidak ada istilah diplomasi. Penyelesaian itu tingal 2, yaitu bayar atau hajar. Tapi menurut saya, perompak itu pantas untuk dihajar. Kalau bayar artinya memenuhi tuntutan perompak, membayar tebusan yang diajukan perompak Somalia itu. Dulu kan mereka minta Rp 20 miliar, yang berarti satu kepala Rp 1 miliar, lalu naik lagi. Ini lalu berlarut. Mereka menekan kita, kalau mau bayar ya bayar. Dari segi hitungan ekonomi kalau mau bayar, ya sebenarnya tidak tekor banget. Nikel yang diangkut itu nilainya sekitar Rp 1,5 triliun.

Kalau saya cenderung tidak memilih opsi itu (bayar). Saya lebih berpikir menggunakan opsi militer untuk membebaskan mereka.

Mengapa?

Tentu keselamatan 20 ABK itu menjadi prioritas. Kalau menggunakan militer juga kita sanggup melakukannya. Selain bisa membebaskan kapal, kita juga akan dapat citra yang akan dipegang.

Ada kapal korvet kita KRI Frans Kaisiepo yang sedang bertugas di Libanon dalam misi UNIFIL (PBB). Kapal ini bisa diputar haluan untuk membebaskan Sinar Kudus di Somalia. Ini korvet bukan kapal odong-odong, bukan korvet kacangan. Kapal ini dilengkapi meriam dan landasan heli, serta bisa untuk perang elektronik.

Kalau mau, pemerintah bisa menginstruksikan kapal ini untuk izin 3 hari dari UNIFIL, sekaligus minta dukungan UNIFIL dan meminta kerjasama untuk mendapat data satelit Amerika. Korvet itu diawaki sekitar 80-100 orang. Kalau dirasa kurang, bisa membawa tambahan pasukan dari sini.

Kita lihat beberapa waktu lalu, belum 2 bulan lalu Malaysia mengerahkan tentara laut Diraja Malaysia untuk bisa menghajar perompak. Korea Selatan juga. India seminggu lalu bahkan bisa meringkus 61 perompak. Kalau Malaysia, Korea Selatan dan India bisa, kenapa kita tidak.

Kita bisa menunjukkan kalau kita ini bukan bangsa kacangan. Apalagi kalau alat-alat yang kita pakai untuk menghajar perompak itu buatan negeri kita sendiri tentu kita menunjukkan pada dunia kalau kita kuat. Yang jelas untuk menyelesaikan kasus ini, pemerintah tidak bisa menunda-nunda.

Pembebasan tawanan oleh perompak kabarnya tidak hanya sekadar pembayaran tebusan. Artinya waktu pembebasan tergantung perompak?

Perompak ini motifnya ekonomi, maunya duit. Dia tidak mau lama-lama menahan juga. Kalau kita mau bayar, bisa menggunakan negosiator yang canggih. Tapi yang ingin saya katakan, dalam urusan ini bukan hanya persoalan Samudera Indonesia selaku pemilik kapal Sinar Kudus tapi juga Kementerian Luar Negeri, lalu juga TNI. TNI itu kan punya fungsi perang dan non perang. Sekarang tunjukkanlah itu. Ini juga terkait masalah perdagangan, kok Menteri Perdagangannya diam saja. Lalu juga Kementerian Perhubungan kok diam saja. Dalam keadaan seperti ini kok kecenderungannya cuek-cuek saja, jangan hanya dilimpahkan ke Samudera Indonesia.

Kekurangan dan kelebihan dari operasi militer?

Dalam suatu kegiatan pasti ada gagal dan berhasil. Perompak itu tahunya hanya tebusannya dibayar sesuai yang mereka tetapkan. Kalau cocok angkanya ya dibayar. Tapi saya kira perlu juga kekuatan militer untuk mengantarkan duit. Jangan-jangan duit dikasih, tapi sandera tidak dibebaskan.

Kalau operasi militer kita lakukan, tentu citra kita di mata internasional akan terangkat. Ke depannya bisa saja, perompak berpikir ulang kalau akan melakukan aksi yang sama. Malaysia saja berhasil membebaskan dan menyelamatkan semua, kita bisa belajar dari Malaysia. Semua hal tentu ada risikonya, tapi membiarkan masalah ini berlarut-larut tentu akan semakin berisiko.

Kalau terlalu lama responsnya, nanti bisa uring-uringan si perompaknya. Kalau sudah begitu, takutnya nanti dia melakukan kekerasan. Harus ada koordinasi cepat, koordinasi dengan kawan lain. TNI kalau disuruh pasti maulah untuk mengerahkan kekuatan militernya. Masalahnya perintahnya nggak ada. Alas hukum untuk melakukan itu nggak ada. Komisi I DPR saya kira bisa mendesak ini. Saya agak heran kok pada diam-diam saja.

Tentu saja sebelum mengerahkan kekuatan militer kita tidak bisa asal serang. Harus dipetakan, lihat data. Karena bagaimana juga ada warga kita di tangan perompak itu.

Mungkin pemerintah khawatir perlu biaya besar untuk mengerahkan pasukan militer di perairan Somalia?

Memang perlu ada kalkulasi ekonomi. Tapi kalau dibandingkan nilai nikel yang diangkut yang senilai Rp 1,5 triliun, saya kira untuk melakukan aksi militer, setengah dari nilai itu juga nggak ada. Bahkan mungkin Rp 100 miliar juga tidak sampai.

Tapi kalau saya lebih suka berpikir, untuk harga diri bangsa jangan disetarakan dengan uang. Ini pride kita. Duit nomor dualah. Bisa menyelamatkan ABK sekaligus mengangkat citra kita kalau kita ambil langkah militer.

Perairan Somalia semakin marak dengan aksi perompakan?

Bicara perompakan, itu kan masalah internasional. Saya kira ini terkait dengan kondisi Somalia sendiri. Somalia kan sedang ada masalah dengan perang saudara. Untuk perang butuh biaya. Jadi mungkin uang yang diperoleh dari perompakan bukan sekadar untuk mengisi perut saja tetapi juga untuk biaya perang mereka.

Agar masalah perompakan ini tidak berlarut apa yang bisa dilakukan?

Kalau ini diselesaikan orang per orang kondisinya berat. Sebenarnya ada yang patroli dan mengawasi di sana. Kita bisa kontak dengan mereka. Sebenarnya sudah ada perhatian dunia ke masalah itu. Tapi kita bisa berperan lebih konkret lagi. Saya kira dengan ASEAN bisa kita bentuk semacam badan keselamatan pelayaran yang melakukan patroli dengan dana yang ditanggung bersama.

Patroli ini nantinya dilakukan secara rutin dan bergiliran dari 10 anggota ASEAN. Ini sekaligus juga akan mampu membuat ASEAN lebih dipandang dunia. Diplomasi seperti ini yang kita butuhkan, bukan diplomasi dengan perompak. Masak diplomasi dilakukan dengan perompak.

Apakah perlu pengawalan pada kapal-kapal kargo yang melintas di perairan Somalia?

Saya kira itu cost-nya terlalu tinggi. Menurut saya lebih baik mengefektifkan kerjasama yang sudah ada untuk melakukan semacam coast guard bersama. Dengan melakukan bersama negara lain, maka kita tidak akan capek sendiri. Selain menambah kedekatan hubungan juga ini bisa dijadikan ajang tukar menukar pengalaman.

Sumber: Detik

0 komentar:

Posting Komentar