Selasa, April 08, 2014
3
J-11
BEIJING-(IDB) : Perhatian dunia banyak tertuju pada program pengembangan pesawat tempur China, seperti J-10, J-20 dan J-21/31. Pabrikan pesawat China "Shenyang" terus mengembangkan seri Flanker yang sudah sejak tahun 1992 menjadi bagian Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAAF). Versi Flanker terbaru yang sudah diproduksi China saat ini adalah pesawat tempur J-15 versi kapal induk dan pesawat serang multiperan J-16.

Awal Kemunculan Flanker China

China memulai hubungannya dengan Sukhoi Flanker pada tahun 1992, ketika itu China menjadi negara pertama di luar negara-negara bekas Uni Soviet yang memiliki pesawat tempur kelas berat ini. Tiga batch Sukhoi Su-27SK kursi tunggal dan Su-27UBK kursi ganda diperoleh China langsung dari Rusia, sekaligus menjadi awal transformasi kemampuan pertahanan udara China.

Berdasarkan pembelian dan pengalaman menggunakan Flanker, China akhirnya memperoleh lisensi Rusia untuk memproduksi Su-27SK melalui pabrik pesawatnya Shenyang. Akhirnya pada tahun 1996, China memerintahkan pembuatan 200 pesawat, kit perakitan masih dipasok dari Rusia namun proses produksi di China. Pesawat pertama dinamai dengan J-11, namun Flanker hasil rakitan Shenyang ini mengalami masalah quality control, dan produksi akhirnya dihentikan setelah memasuki produksi yang ke-105. Termasuk didalamnya adalah sejumlah J-11AS dengan upgrade pada kokpit dan persenjataan.

Meskipun terkesan menemui kegagalan di awal, Shenyang dan Shenyang Aircraft Design Institute telah mendapatkan pengalaman berharga dalam membangun pesawat, yang pada akhirnya mereka mampu mengembangkan sendiri J-11B. Karena semangat yang tinggi untuk terbebas dari ketergantungan dengan Moskow, industri-industri China mulai membuat sendiri sejumlah komponen kunci agar bisa membangun pesawat tempur tanpa pasokan dari Rusia, dan juga agar bisa menggunakan senjata buatan China sendiri.

Sejauh ini, salah satu komponen pesawat tempur buatan China yang paling berharga adalah mesin Shenyang Liming WS-10A Taihang yang menggantikan mesin Saturn AL-31F. Dan akhirnya prototipe J-11B terbang untuk pertama kalinya pada tahun 2004 dengan dua mesin WS-10A. Produksi J-11B pertama sudah mulai menggunakan mesin buatan China, tetapi karena lagi-lagi terganjal masalah keandalan, akhirnya pesawat produksi berikutnya kembali menggunakan mesin AL-31F. Sekarang tampaknya isu-isu tentang kurang andalnya mesin WS-10A telah berhasil diatasi dan produksi J-11B sudah kembali menggunkan mesin buatan China. Di akhir tahun lalu muncul foto J-11B dengan desain nozzle yang berbeda, ini mengindikasikan adanya perbaikan yang berati pada mesin WS-10A.

Bersama dengan mesin baru, J-11B juga dilengkapi dengan radar multifungsi, sistem pencarian inframerah dan databus buatan China yang membuat senjata-senjata China bisa digunakan, seperti rudal udara ke udara PL-12. Kokpit J-11B juga dibuat dari komponen China, menghadirkan lingkup kerja yang modern bagi pilot dengan 5 layar multi fungsi.

J-11B mulai dioperasikan PLAAF menjelang akhir tahun 2007 dan sejak itu jumlahnya kian bertambah. Pada awal 2010, Angkatan Laut China (PLAN) mulai dilengkapi dengan J-11B untuk misi tempur berbasis pantai. Selain J-11B kursi tunggal, pabrik Shenyang juga mengembangkan J-11B kursi ganda yang dikenal sebagai J-11BS. Pesawat ini terbang pertama kali pada tahun 2007, dan mulai dioperasikan oleh PLAAF dan PLAN pada tahun 2010.

Hiu Terbang

Sama seperti Uni Soviet yang mengembangkan Su-33 Flanker versi angkatan laut untuk memenuhi kebutuhan operasional kapal induk, China juga mengembangkan Flanker angkatan lautnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan operasional kapal induk barunya Liaoning. Bahkan, China sampai membeli prototipe Su-33 dari Ukraina sebagai bahan percontohan untuk mengembangkan Flanker angkatan lautnya sendiri.

Dikenal sebagai J-15 atau Flying Shark (Hiu Terbang), Flanker Angkatan Laut China ini sangat mirip dengan Su-33 dalam urusan body dan sistem tetapi menggunakan lebih banyak material komposit untuk menurunkan bobotnya. Dalam hal peralatan misi, pesawat ini masih banyak mengambil teknologi untuk J-11B. J-15 memiliki radar yang sama, meskipun diduga telah dipercanggih untuk mode misi maritim. Juga dilengkapi dengan sistem peringatan rudal seperti yang milik J-11B dengan lima layar pada kokpit.

J-15
Untuk urusan persenjataan, J-15 mengusung berbagai persenjataan presisi untuk misi udara ke udara dan udara ke permukaan, termasuk rudal anti kapal. Salah satu fitur menarik lainnya adalah dilengkapi dengan pod pengisian bahan bakar di tengah, yang memungkinkan J-15 mengisi bahan bakar pesawat lain (terutama saat misi jarak jauh dengan beban senjata yang berat). Pod pengisian bakar ini identik dengan pod UPAZ-1A Rusia, kemungkinan telah impor dan ditiru oleh China.

Seperti yang terjadi pada J-11B, J-15 juga terkendala karena ketidakmampuan industri China menghadirkan mesin yang andal. Mesin yang dimaksud adalah WS-10H, versi angkatan laut dari mesin WS-10A dengan peningkatan daya dorong untuk meningkatkan kecepatan lepas landasnya dari ski-jump deck kapal induk Liaoning. Namun diketahui hanya dua prototipe J-15 yang menggunakan mesin WS-10H, selebihnya menggunakan mesin AL-31F Rusia.

Prototipe J-15 dengan mesin AL-31F terbang pertama kali pada bulan Agustus 2009, dan pada bulan Mei tahun berikutnya berhasil lepas landas dari ski-jump tiruan di darat. Percobaan pada kapal induk yang sesungguhnya dilakukan akhir tahun lalu, berhasil lepas landas dan mendarat pertama kali oleh dua prototipe J-15 pada tanggal 23 November. Dari foto-foto yang beredar di internet terlihat J-15 tersebut masih menggunakan mesin Rusia.

Sementara itu, Shenyang juga mengembangkan J-15 kursi ganda, yang disebut sebagai J-15S. Prototipenya dengan mesin WS-10A terbang pertama kali pada November 2012. Meski kemungkinan besar pesawat ini hanya ditujukan China sebagai pesawat latih, J-15S juga sudah mengusung peran tempur dan peralatan peperangan elektronik.

Flanker Baru

Terkesan dengan pembelian Su-27 pertamanya, China tampaknya juga menginginkan Sukhoi kelas berat guna memenuhi persyaratan misi serangan besar. Pada akhir tahun 2000, batch pertama dari Su-30MKK bomber dua kursi tiba dari Rusia, dengan itu kemampuan PLAAF untuk mengirimkan (misi penembakan) senjata precision-guided pun berubah. Dua batch Su-30MKK, masing-masing 38 pesawat, yang dibeli untuk PLAAF, sedangkan PLAN menerima 25 Su-30MK2 dengan radar yang sudah dimodifikasi dengan kemampuan multi target dari rudal anti kapal.

Berdasarkan pengalaman China mengembangkan J-11B dari Su-27SK, Shenyang dan Shenyang Aircraft Design Institute juga memulai program serupa pada Su-30MKK. Hasilnya adalah J-16, yang kemungkinan besar akan menjadi pesawat tempur utama PLAAF, dan mungkin juga akan digunakan PLAN untuk misi anti kapal.

Seperti halnya J-11B, J-16 banyak menggunakan peralatan buatan China,  termasuk mesin WS-10A. Perubahan yang paling penting adalah radar AESA buatan China, meskipun masih sedikit yang diketahui dari sensor ini. Seperti halnya J-15 dan Su-30MKK, pesawat ini juga memiliki probe refueling retractable (untuk air refueling).

Rincian program J-16 masih samar, tapi tampaknya diketahui bahwa J-16 Flanker pertama telah terbang pada akhir 2011. Tahun lalu setidaknya ada dua prototipe J-16 yang diuji coba oleh PLAAF, dan ada kemungkinan bahwa jenis ini akan mulai memasuki fase evaluasi operasional yang lebih jauh.

Super Flanker China?

Dalam beberapa tahun terakhir, China terus dikabarkan akan memperoleh Su-35 dari Rusia. Su-35 adalah Flanker generasi kedua yang menggabungkan banyak perubahan pada badan pesawat, avionik dan mesin. Disebut-sebut, mesin Saturn 117S/AL-41F pada Su-35 lah yang membuat China tergila-gila pada pesawat ini, yang diketahui bahwa China telah mengalami kendala serius soal pengembangan mesin Flanker.

Potensi penjualan Su-35 ke China mulai terendus media pada awal 2012, awalnya akan dibeli 48 pesawat namun kemudian dikurangi menjadi 24. Laporan mengenai potensi penjualan terus dikabarkan dan pada akhir tahun lalu seorang pejabat senior Rusia mengisyaratkan bahwa kesepakatan penjualan akan ditandatangani pada tahun ini. Namun ada pula laporan lain yang bertentangan, yang mengatakan bahwa pembelian China atas Su-35 tidak dapat dilanjutkan.
Sumber : Artileri

3 komentar:

  1. dijiplak mulu seh.. tanpa kesepakanan pengembangan atapun lisensi, berani mengembangkan sendiri.. kasih aja Indonesia uang yg banyak, terus suruh beli su35. boleh tuh kerjasama. hihi

    BalasHapus
  2. Cina jadi contoh mendekat ke Rusia buktinya bisa dapat banyak TOT......kenapa kita tidak???

    BalasHapus
    Balasan
    1. karna besarnya pengaruh barat, itu yg jadi fator

      Hapus