Senin, April 18, 2011
0
GLOBAL-(IDB) : Menarik mengamati Perang Libya antara pasukan pemberontak di satu sisi (dibantu koalisi berdalih menegakkan resolusi PBB) versus loyalis Moammar Gaddafi di sisi lain. Motif dan latar belakang perang tidak akan dibahas lagi, mengingat telah banyak tulisan serta analisis soal itu. Celoteh ini hanya ingin memotret aspek lain karena seperti ada (fenomena) terlewatkan -- lupa dibahas.

Dalam naluri tempur, seharusnya Gaddafi “menyerah” dalam hitungan hari sebab kalah dalam banyak hal, terutama kuantitas dan kualitas pasukan serta kecanggihan peralatan. Barangkali pendudukan Rusia di Georgia dalam seminggu pada dekade 2010-an lalu, merupakan contoh riil dari sebuah logika perang modern. Namun tampaknya, muncul beberapa fenomena tak lazim di Libya sehingga pertempuran berlarut tak kunjung usai.

Bahkan ketika catatan ini terbit, tampaknya loyalis Gaddafi berada di atas angin dibanding pasukan pemberontak. Aneh memang. Ini terpantau lewat pernyataan tiga tokoh penting, antara lain : (1) Panglima AS menyebut bahwa “oposisi tak akan mampu menggulingkan Gaddafi”; (2) kemudian pihak pemberontak menyatakan “oposisi sudah terpecah serta tak terorganisir dan NATO tidak sungguh-sungguh mendukung oposisi”; (3) dan terakhir statement Panglima Inggris yang mengeluhkan bahwa “Gaddafi menyewa tentara bayaran” dan seterusnya.

Dari ketiga fakta tadi dapat terbaca, situasi macam apa yang sebenarnya terjadi di Libya, dan kemungkinan besar ialah potret buram –kalau tidak dikatakan bubar — bagi Pemerintah Transisi Libya Timur bentukan kelompok oposisi dukungan asing, tetapi tak diekspos oleh media.

Secara geostrategi, selain Iran, Suriah, Uni Afrika dan jajaran negara Amerika Latin pro Libya – Gaddafi juga “didukung” Rusia, Cina, Brazil, India bahkan Jerman  –meski anggota NATO-- ternyata Jerman tak setuju Operasi Odyssey Dawn digelar. Inilah “modal”-nya bertahan di tengah gempuran pasukan koalisi dan oposisi. Artinya selain semangat juang melawan hegemoni Barat yang bermaksud mencabik-cabik kedaulatan negara dengan beragam dalih, kini ia merasa tak lagi sendirian, sebab tidak sedikit negara dan adidaya baru di belakangnya.

Tulisan tak ilmiah ini tak hendak menganalisa siapa menang atau mana kalah, dan tidak pula mengkaji tebaran fenomena yang muncul, tetapi mencoba menyorot satu hal yang mungkin –menurut bacaan penulis-- menjadi salah satu sebab mengapa serangan udara koalisi meredup, meski kecenderungan Odyssey Dawn diubah polanya menjadi “operasi darat” via oposisi, termasuk mencermati mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Libya di satu sisi, namun pada sisi lain Robert Gates, Menhan AS justru berkunjung ke Saudi Arabia membahas tentang "bugdet". Lho?

Menyikapi Perang Libya, Perdana Menteri (PM) Vladimir Putin mengambil sikap keras, dimana ia membandingkan resolusi PBB itu dengan "seruan pada abad pertengahan untuk melakukan Perang Salib" (GFI/ANTARA/Reuters). Akibat pernyataan tadi ia ditegur oleh “adik asuh”-nya Dmtri Medvedev, Presiden Rusia, karena kurang pas dan dianggap dini. Akhirnya orang teringat kembali statement Presiden Bush Jr tatkala terjadi peristiwa World Trade Center (WTC) – 11 September (911) dikobarkan CRUSADE (Perang Salib) pada pidato awal Bush pasca kejadian – entah cuma dalih atau bermotif menebar semangat tentaranya -- pada akhirnya, Afghanistan pun menjadi “kambing hitam” bagi invasi militer AS dan sekutu melalui stigma Al Qaeda yang secara sepihak dituduhkan oleh Barat berada di balik serangan WTC/911.

Doeloe terbentuk opini bahwa Bush pantas mengucapkan itu -- karena serangan terhadap WTC di New York benar-benar melecehkan Doktrin Pertahanan AS -- yakni melakukan peperangan di luar wilayah (proxy war).  Ya, America Under Attack!  Dan bila diimplementasi pada Article 5 Piagam NATO – setiap serangan terhadap negara anggota dipandang sebagai serangan terhadap NATO secara keseluruhan. Tetapi entah kenapa sandi operasi dalam rangka invasinya ke Afghanistan berganti nama menjadi War on Terror (WoT). Lalu ucapan Bush tentang Perang Salib pun diralat dan dianggap slip of tounge alias terselip lidah. Sama seperti kasus Putin.

Pertanyaannya : mungkinkah politikus dan negarawan sekaliber Bush dan Putin terselip lidah; bagaimana performance sekaligus profesionalitas think thank menyiapkan materi menjelang pernyataan resmi negara? Retorika ini tidak butuh jawaban agar catatan dapat dilanjutkan.

Crusade memang masa lalu, tetapi mencermati benang merah berbagai Perang Salib (I – IX) sepanjang peradaban dengan varian seperti Perang Salib Jerman, Perang Salib 1101, Perang Salib Rakyat, Perang Salib Utara -- hakikinya ialah pertikaian antara para adidaya (penguasa) saat itu, terutama adidaya Barat dan Timur guna menguasai JALUR SUTRA yang tergelar sepanjang Cina dan perbatasan Rusia hingga ke Maroko (Jalur Selatan) dan via Suriah - Turki menuju Eropa (Jalur Utara). Inilah jalur ekonomi dan militer sejak Abad Ketiga SM pada persilangan (perdagangan) dunia yang melahirkan berbagai dogma militer di banyak negara karena letaknya strategis. 

Salah satu dogma melegenda Alfred Mahan, pakar kelautan Amerika yang menyamarkan urgensi jalur tersebut via doktrin di kalangan Angkatan Laut AS hingga sekarang, bahwa siapa menguasai Lautan Hindia bakal menjadi kunci percaturan dunia!

Motif perang agama yang digembar-gemborkan selama ini, misalnya antara Kristen vs Islam, Kristen vs Protestan, atau Kristen vs Yahudi dan lainnya, sesungguhnya cuma dalih dari sebuah hasrat dan nafsu segelintir orang namun dilembagakan dalam Perang Suci Agama. Itulah asumsi Perang Salib, kendati ia dapat gugur sewaktu-waktu karena validitas data dan lemahnya referensi, tetapi setidaknya bisa dijadikan titik sambung meneruskan celotehan ini. Ya, Perang Salib memang bukan perang agama, melainkan pergolakan politik merebut kekuasaan daerah. Motifnya ekonomi. Hal ini terbukti bahwa antara tentara Salib dan tentara Muslim doeloe saling bertukar ilmu pengetahuan.

Akhirnya, seperti halnya Perang Dunia, atau perang-perang lain, crusade pun hanya sekedar event atau momentum bagi kaum kapitalis mengeksploitasi hasrat kolonial guna menumpuk modal melalui perang sebagai cara dan sarana. Ya, penjajahan memang methode baku kapitalis sedang yang berubah cuma kemasannya!

Merujuk hal di atas, dapat diwacanakan bahwa ucapan Bush dan Putin tentang Perang Salib bukanlah terselip lidah, tetapi merupakan test case politik. Artinya disamping ingin melihat reaksi publik global, mungkin hendak mencermati peta kekuatan bila Perang Salib meletus. Kenapa demikian, karena negeri manapun mempunyai kepentingan terhadap Jalur Sutra – selain para adidaya (baru) terutama Rusia dan Cina yang telah “gatal” ingin menjadi pengatur dunia menggantikan AS, memang ada segelintir kaum yang senantiasa mereguk untung dikala perang terjadi. 

Agaknya pengobaran Perang Salib pada krisis di Libya, sebagaimana dikatakan Medvedev –kurang pas-- secara geopolitik justru merugikan AS dan sekutu, mengingat ketergantungan Barat terhadap minyak sangat besar dari Dunia Islam, terutama supplay kelompok Dewan Kerjasama Teluk (GCC) seperti Saudi Arabia, Oman, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Qatar yang selama ini “patuh” atas hegemoni AS. Maka pantaslah jika isue yang ditebar pada media mainstream dalam gejolak massa di Bahrain cuma soal sektarian, sentimen ras, atau masalah tirani mayoritas (Sunni terhadap Syiah)  -- bukan Perang Salib. 

Oleh karena bila isue crusade yang menyebar di tengah-tengah rakyat maka diyakini bakal menimbulkan gelombang dahsyat perlawanan terhadap Sistem Dunia Barat yang selama ini mencengkram kelompok negara (Islam) di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Boleh disinyalir, bahwa pelemahan peran AS dan redanya serangan udara NATO, selain alasan klasik (biaya perang); juga dalam rangka menurunkan tensi “penolakan” internal dan eksternal di negara agresor atas Operasi Odyssey Dawn; sedang secara mapping berdasarkan The San Remo Agreement, kawasan minyak Timur Tengah telah dibagi-bagi di antara negara Eropa; dan paling utama, menurut hemat penulis ialah mengeliminir isue Perang Salib yang sempat mencuat.

Ya, tanpa antisipasi serempak dan sistematis, niscaya isue itu mampu menjadi “kompor gas” bagi Kebangkitan Islam. Itulah kekawatirkan AS dan sekutu, mengingat benih-benih kebangkitan tersebut tak lagi kuncup -- mulai bermekaran, ibarat kembang sore dan bunga-bunga sedap malam, wanginya telah menyebar seantero Jalur Sutra.

Akan tetapi bukan berarti peperangan bakal berhenti -- inilah liciknya AS dan sekutu, resolusi PBB 1973 tentang zona larangan terbang di Libya, niscaya berubah menjadi “perang darat” dimana AS dan NATO -- entah melalui tentara bayaran, atau pasukan regulernya akan “mendompleng” gerakan oposisi terus berupaya menggulingkan Gaddafi. 

Sedangkan mahalnya biaya militer bayaran (mungkin) diserahkan kepada kelompok Dewan Kerjasama Teluk (GCC) selaku ATM-nya Barat, mengingat para agresor, selain dihantam krisis ekonomi tak berkesudahan -- juga "keletihan"! Oleh sebab saat ini ia masih berperang di dua negara (Iraq dan Afghanistan). Itulah yang kini terjadi.

Sumber: Global

0 komentar:

Posting Komentar