Minggu, Mei 01, 2011
0
Kunjungan akhir dua senator AS ke bekas lokasi pangkalan militer Amerika di Luzon Tengah, Filipina ternyata mengundang banyak spekulasi. Sejumlah koran terbitan Manila bahkan mengaitkan kunjungan tersebut dengan desas-desus soal rencana untuk menghidupkan ulang pangkalan tersebut. Kalau saja, rencana itu benar-benar terealisasi bisa dipastikan gelombang sentimen anti-AS di Filipina akan bangkit kembali.
MANILA-(IDB) : Pasca terjadinya bencana tsunami dan kebocoran radiasi nuklir yang meluluhlantakkan Jepang, AS tertarik untuk melirik kembali pangkalan militernya di Filipina. Pasalnya, akibat bencana tersebut proses pembangunan pangkalan militer AS di Guam menjadi tersendat-sendat. 
 
Ambisi negara-negara adidaya untuk membangun pangkalan militer di berbagai belahan dunia merupakan salah satu ciri utama era Perang Dingin. Di masa itu, Uni Soviet gencar membangun sejumlah pangkalan militer di negara-negara sekutunya dengan dalih untuk membendung ekspansi imperialisme global yang dimotori AS. Tak mau kalah, Washington pun menerapkan langkah serupa dengan alasan untuk menangkal pengaruh komunisme. 

Sejenak mundur ke belakang, Filipina dulu memang sempat menjadi negeri jajahan AS, setelah sebelumnya dijajah oleh Spanyol lebih dari tiga abad. Namun begitu, meski Filipina telah lepas dari cengkraman penjajahan AS pada tahun 1946, pengaruh Washington masih saja bercokol di negeri kepulauan tersebut. Pengaruh tersebut bahkan semakin kuat terutama di era para penguasa diktator, seperti Ferdinand Marcos. 

Sebagai ganti atas kemerdekaan yang diberikan AS kepada Filipina, Manila harus merelakan wilayahnya untuk dijadikan sebagai pangkalan militer AS di Asia Tenggara. Perjanjian itu disepakati kedua belah pihak pada tahun 1946. Segera setelah itu, AS membangun dua pangkalan militernya sekaligus yang terbesar di luar negeri. Pertama, pangkalan angkatan udara Clarck di kawasan hutan Cubi Point dan lainnya, pangkalan angkatan laut AS di Teluk Subic. Namun akibat penentangan luas rakyat terhadap kehadiran militer AS, akhirnya pada 16 September 1991, Senat Filipina memutuskan untuk menutup pangkalan AS. 

Seiring dengan terpilihnya Arroyo sebagai presiden Filipina, hubungan Manila dan Washington pun mulai meningkat kembali, terutama di bidang kerjasama militer pasca Serangan 11 September 2001. Kali ini, isu pemberantasan terorisme yang getol dikampanyekan AS juga menjadi perekat kerjasama bilateral kedua negara. Sebagai persiapan untuk menghidupkan kembali pangkalan militernya, AS mengirim sekitar seribu tentaranya ke Filipina. 

Meski pemerintah kedua negara secara resmi membantah spekulasi soal rencana menghidupkan ulang pangkalan militer AS di Teluk Subic, namun yang jelas rakyat Filipina sudah kenal betul dengan gelagat AS. Tak heran jika kunjungan Senator Daniel Inouye dan Thad Cochran ke bekas pangkalan militer AS itu mendapat reaksi yang begitu luas dari kalangan rakyat dan politisi Filipina. 

Sumber: Irib

0 komentar:

Posting Komentar