Kamis, Juni 12, 2014
0
(photo: danendra)

JKGR-(IDB) : Kementerian Pertahanan dan TNI tidak pernah bermain-main dalam pembelian alutsista. Pemerintah sadar pertanggungjawaban yang begitu besar karena uang yang digunakan untuk membeli alutsista berasal dari rakyat. Oleh sebab itu, setiap proses pengadaan alutsista TNI ini diawasi oleh banyak pihak.


Ada banyak institusi yang dilibatkan dalam pengadaan alutsista TNI. Pihak-pihak tersebut terbagi menjadi organisasi induk, tim evaluasi spesifikasi teknis, panitia pengadaan, tim evaluasi pengadaan dan tim perumus kontrak.


Organisasi induk beranggotakan Menteri Pertahanan, Sekjen Kemhan, Panglima TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Secara umum, organisasi ini memiliki tugas menentukan kebijakan program pengadaan dan rencana kebutuhan alutsista, monitoring dan proses pengadaan alutsista TNI tersebut.


Tidak hanya itu, untuk pengawasan dilakukan oleh pihak-pihak Irjen Kemhan, Irjen TNI, Dirjen Strategi Pertahanan dan Dirjen Perencanaan Pertahanan. Adapun pejabat pembuat komitmen dilakukan Kepala Badan Sarana Pertahanan, Mabes TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Jadi dengan melibatkan banyak pihak, maka sangat kecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan alutsista TNI.


Selain pihak internal Kemhan dan TNI, pihak-pihak lain seperti Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS), Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) juga dilibatkan untuk senantiasa berkoordinasi dalam proses pengadaan alutsista.


Begitu pentingnya proses pengadaan alutsista sehingga membuat Kementerian Pertahanan memperhatikan betul penyusunan kontrak. Dalam pembelian impor, proses transaksi melalui surat kredit berdokumen atau letter of credit (L/C). Sistem transaksi ini menjadi penting karena pihak penjual dan pembeli mengadakan negosiasi jual beli barang hingga mencapai kesepakatan. Kedua belah pihak pun harus menyerahkan jaminan pelaksanaan dan jaminan uang muka. Di dalam kontrak pun dapat dilampirkan beberapa dokumen penting seperti surat pelimpahan wewenang, pernyataan tentang batas akhir ekspor, embargo dan penggunaan materi kontrak.


Dengan proses yang demikian penting, maka Kementerian Pertahanan dan TNI harus membuat kontrak kerja sama dengan pihak produsen senjata. Kementerian Pertahanan berpedoman pada Standar Dokumen Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (SDPBJP) dalam menyusun kontrak tersebut. Kementerian akan membuat klausul khusus jika ada pengaturan kontrak yang tidak terdapat dalam standar tersebut. Beberapa klausul khusus mencakup kodifikasi materi sistem nomor sediaan nasional (NSN), klaikan materi, angkutan dan asuransi, pembebasan bea dan masuk pajak saat alutsista itu tiba di Indonesia, sampai alih teknologi alias ToT nya.


Begitu banyaknya klausul khusus sehingga mendapat perhatian serius dari Pemerintah. Hal lain yang menjadi klausul khusus adalah sertifikat kemampuan dan kondisi khusus sesuai kebutuhan kontrak, dan jaminan pemeliharaan.


Proses penandatanganan kontrak pun dibatasi waktu. Untuk pengadaan barang, perbaikan, pemeliharaan suku cadang dan penambahan bekal, paling lambat tandatangan kontrak di bulan ke enam. Sementara untuk pengembangan kekuatan alutsista TNI paling lambat dilakukan di akhir bulan ke-9 tahun anggaran berjalan.


Dengan melibatkan user atau pengguna dalam hal ini dengan setiap Mabes Angkatan diminta untuk menentukan spesifikasi jenis Alutsista yang akan diadakan sesuai dengan urgensi, kebutuhan dan skala prioritas untuk diadakan dengan melihat potensi ancaman yang “Boleh jadi” akan mengancam kedaulatan Indonesia beberapa tahun ke depan.


Jadi pembelian senjata dalam program MEF TNI ini tidak ujug – ujug langsung beli suka-suka dan sesuai pesanan pihak tertentu seperti pada jaman “Orba” dulu. Akan tetapi sudah terorganisir sesuai dengan tingkat ancaman yang akan menggangu kita.


Selanjutnya rencana pembelian alutsista-alutsista tiap matra ini masuk kepada kebutuhan operasi di Mabes TNI dan selanjutnya diproses di Kemhan lewat Tim dibawah kendali Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) yang dipimpin oleh Sekjen. Kemudian selanjutnya diproses untuk kontrak perjanjian pinjaman oleh Kemku hingga kemudian pencabutan tanda bintang di Komisi I DPR. Proses pencabutan tanda bintang itu dibahas oleh High Level Committee (HLC) dan Tim Panja Alutsista DPR, dan itu diproses dalam rangka pencabutan tanda bintang di DPR, karena memakai uang APBN dan uang rakyat.


Keikutsertaan DPR menjadi penting karena proses pembelian senjata berkaitan dengan keberlangsungan pertahanan negara. Di parlemen, setiap proses transaksi membutuhkan tanda bintang. Tanda bintang di DPR menunjukkan berapa besar urgensi pembelian alutsista TNI.

Tetapi harap diingat, untuk alutsista strategis alias “Classifield, Top Secret dan Off the Record” tidak semuanya dijelaskan secara gamblang dan detil baik spesifikasi, jenis, dan jumlahnya kepada DPR karena menyangkut kerahasiaan Negara.

Makanya beberapa waktu lalu Komisi I DPR sempat berang karena merasa pembelian “enam” unit sukhoi SU. 30 MK2 lebih mahal dari pada harga pasarannya, padahal di balik semua itu ada “Bakwan” yang tersembunyi di balik udang.


Pengadaan Alutsista dalam MEF ini juga tetap berpedoman pada prinsip – prinsip yaitu semaksimal mengutamakan produk dalam negeri. Namun apabila itu belum memungkinkan dan terpaksa diadakan dari luar negeri maka akan diupayakan dilaksanakan pengadaan secara G to G, produksi bersama, disertai alih teknologi (transfer of technology), dilakukan off set, dijamin keleluasan penggunaannya dan dijamin suku cadangnya.


Terkait pengadaan alutsista dengan mode credit state alias pinjaman luar negeri, Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan Kementerian Keuangan. Metode yang dilakukan adalah penunjukan langsung. Metode ini menjadi penting karena terkait strategi pertahanan, kerahasiaan dan penanganan darurat.


Kementerian Pertahanan akan melaksanakan sidang Tim Evaluasi Pengadaan (TEP). Jika melalui pinjaman luar negeri, maka dananya berasal dari Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE). Hasil penetapan penyedia akan disampaikan ke Kementerian Keuangan untuk kemudian diproses.


Meski penunjukan langsung, namun ada proses ketat seperti penilaian kualifikasi dan penyampaian penawaran. Kedua proses ini dilakukan agar pihak yang ditunjuk langsung untuk menyediakan dana pinjaman, benar-benar kompeten dan memiliki syarat yang dibutuhkan.


Proses pengadaan alutsista TNI tidak segampang yang dibayangkan. Ada banyak tim yang mengawal proses pengadaan, mulai dari awal hingga akhir. Seperti tim pengawas negosiasi angkutan dan asuransi, tim satuan tugas, tim kelaikan, tim inspeksi pra pengiriman barang, tim uji fungsi atau uji terima, inspeksi komodor, tim pemeriksa (inname dan anname) dan tim penerima.


Oleh sebab itu, Pemerintah hanya berhubungan dengan pihak-pihak yang langsung memproduksi senjata di luar negeri. Tidak berhubungan dengan pihak ketiga yang tidak memiliki keterkaitan dengan pengadaan senjata.


Pembelian alutsista dari luar negeri pun mengacu pada tiga alasan. Pertama, produksi alutsista dalam negeri belum memenuhi persyaratan. Kedua, alutsista yang dibutuhkan belum bisa diproduksi di dalam negeri. Ketiga, volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.


Berdasarkan tiga alasan di atas, maka pengadaan alutsista TNI dari luar negeri tidak bisa dielakkan. TNI tidak mungkin menunggu lama pengadaan alutsista jika mengandalkan produksi dalam negeri. Pengadaan impor pun disertai dengan pemilahan barang dan alih teknologi. Pemilahan barang diperlukan karena harus disandarkan pada asas kebutuhan yang paling mendasar.


Sementara alih teknologi menjadi penting karena akan meningkatkan pengetahuan persenjataan modern. Oleh sebab itu, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro senantiasa meminta masukan Panglima TNI terkait pengadaan alutsista. Hal itu menjadi penting karena sejatinya yang menggunakan dan memahami senjata adalah TNI sendiri. Payung hukum yang digunakan Menhan untuk mengadakan alutsista baru adalah Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2010 dan UU No. 16 Th. 2012 TENTANG INDUSTRI PERTAHANAN.


Transparansi dan akuntabilitas menjadi dua hal yang sangat penting bagi Kementerian Pertahanan dan TNI. Kementerian ini mengeluarkan Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 34 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Alutsista TNI.
Bahkan pada tanggal 6 Januari 2011 yang lalu Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro bersama perwira tinggi TNI, BPKP & LKPP mendeklarasikan anti korupsi, yang diapresiasi oleh Komisi I DPR RI karena Kemhan dan TNI menjadi contoh baik pemberantasan korupsi.

Mi-35 TNI AD (photo: viva.co.id)
Mi-35 TNI AD 

Pengendalian Dan Sanksi Dalam Pengadaan Alutsista
 

Meski sudah diterapkan peraturan yang ketat, tidak menutup kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran. Untuk mengatasi masalah tersebut, Kementerian Pertahanan akan menerapkan sanksi tegas kepada semua pihak yang diduga terlibat dugaan korupsi. Ada sanksi tegas yang akan dijatuhkan kepada semua pihak yang berusaha bermain-main dalam proses pengadaan alutsista TNI.
 

Secara umum, ada lima perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi.


Pertama, upaya mempengaruhi panitia pengadaan alutsista TNI sehingga melanggar peraturan perundang-undangan. 

Kedua, bersekongkol dengan Penyedia Alutsista TNI lain untuk mengatur harga. 

Ketiga, membuat atau menyampaikan dokumen atau keterangan lain yang tidak benar. 

Keempat, mengundurkan diri dari pelaksanaan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

Kelima, pengalihan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain.


Sanksi yang dijatuhkan berupa denda dan memasukkannya ke daftar hitam (black list). Denda yang dijatuhkan kepada penyedia alutsista TNI sebesar 1/1000 dari harga kotrak untuk setiap hari keterlambatan.


Sementara daftar hitam akan diserahkan ke LKPP. Pihak-pihak yang sudah masuk daftar hitam tidak diperkenan untuk mengikuti pengadaan alutsista di masa mendatang. Daftar Hitam Nasional dimutakhirkan setiap saat dan dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional.


Untuk menghindari sanksi tersebut, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) wajib memberikan laporan secara berkala terkait realisasi pengadaan alutsista TNI. Laporan diberikan kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran, dalam hal ini Kementerian Pertahanan.


Jika ditemukan penyalahgunaan anggaran, maka laporan akan ditembus ke Wakil Menteri Pertahanan dan Inspektorat Jenderal (Irjen) instansi terkait. Tembusan ini penting karena posisi Wamenhan sebagai Ketua High Level Committee (HLC) melaksanakan pengendalian dan pengawasan pengadaan Alutsista TNI pada skema pembiayaan dan skema pengadaan.

Laporan yang diterima tidak serta merta diterima begitu saja. Proses cek dan ricek terhadap laporan tetap akan dilakukan. Audit akan dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan alutsista TNI. Oleh sebab itu pengawasan terhadap panitia pengadaan alutsista wajib dilakukan. Pengawasan juga disertai dengan audit terhadap semua pihak. Audit dilakukan sebelum kontrak dilakukan dan setelah proses pengadaan selesai.




Sumber : JKGR

0 komentar:

Posting Komentar