Selasa, Januari 21, 2014
13
2014  akan jadi tahun penentuan bagi realisasi pesawat komuter N219.  Anggaran sudah diteken pemerintah. Tapi, tak sedikit pihak risau oleh karena adanya hajatan nasional Pemilu dan pergantian pemerintahan.



ANGKASA-(IDB) : Di atas kertas, praktis tak ada lagi yang meragukan desain atau rancang  bangun pesawat transpor dua mesin 19 penumpang ini. Baik pimpinan PT Dirgantara Indonesia selaku pelaksana proyek pembuatan maupun Lapan sebagai pemilik proyek, yakin N219 feasible untuk diterbangkan. Terlebih karena  dari segi teknologi tak ada yang perlu dikaji lebih lanjut.



Dari segi kelangsungan produksi juga praktis tak ada sentimen negatif. Sejumlah operator penerbangan telah menyatakan siap membeli. Pesawat ini termasuk yang ditunggu-tunggu untuk dijadikan kuda beban di ratusan rute pengumpan. Namun, hajatan Pemilihan Umum di pertengahan tahun ini dan ketepatan penggunaan anggaran yang sudah siap diturunkan pada 2014 memang masih menyisakan pertanyaan.



Akankah pertarungan antarkekuatan politik di dalam negeri masih memberi ruang yang kondusif bagi pembuatan pesawat ini?



Pertanyaan tersebut tak ayal diajukan wartawan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapennas Prof Dr Armida S. Alisjahbana saat berkunjung ke Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Rumpin, Banten, akhir November 2013. “Ini harus jalan karena pesawat ini diperlukan untuk konektivitas daerah-daerah terpencil. Program N219 juga dinilai penting untuk mendorong program pengembangan industri strategis dan penguasaan bangsa ini atas iptek dan inovasinya. Jadi sebagai program yang multiple objectives, positioningnya sudah amat kuat,” ujarnya kepada Angkasa.



Menteri Armida tak saja mendapat penjelasan rinci di seputar program pengembangan N219, tetapi juga tentang program pengembangan roket, satelit serta sistem penginderaan jauh yang telah maupun akan dilakukan enjinir-enjinir Lapan. Hadir dalam acara tersebut Dirut DI Budi Santoso, Kepala Lapan Bambang S. Tejasukmana, Direktur Teknologi dan Pengembangan DI Dr Andi Alisjahbana, Deputi Teknologi Dirgantara Lapan Prof Dr Soewarto Hardhienata, Kepala Pustekbang Dr Gunawan Prabowo, para deputi Bappenas, dan Tim Program N219.



Sejumlah pihak menyatakan, kunjungan Menteri PPN/Kepala Bappenas bisa diterjemahkan sebagai sinyal keseriusan Pemerintah terhadap proyek yang yang nantinya akan jadi portopolio pertama penggarapan pesawat terbang di Tanah Air. Dikatakan baru untuk pertama kali, karena memang baru kali inilah Indonesia menyiapkan seutuhnya sebuah pesawat terbang transpor, mulai dari struktur fisik sampai ke urusan dokumen kelengkapannya.



Dokumen kelengkapan tersebut -- di antaranya berupa type certificate application dan flight permit – selanjutnya akan diurus oleh DI ke Direktorat Kelaikan Udara Pengoperasian Pesawat Udara, Kementerian Perhubungan.  “Kedua pihak selanjutnya akan memastikan detail spesifikasi yang tepat untuk keperluan comformity approval. Dalam pembuatan NC-212 dan CN235, tahapan ini tidak ada karena semua sudah diselesaikan pihak CASA,” ungkap Bambang Tejasukmana.



“Ini artinya, jika semua bisa dikerjakan dan berhasil, Indonesia bisa baru bisa dikatakan mampu mengerjakan pesawat secara seutuhnya dan ini prestasi buat kita semua,” tergasnya.



Kerja Antar Departemen


Angkasa mencatat, sejauh ini program N219 masih bergulir sesuai jadwal. Dua prototipe ditargetkan selesai akhir 2014 dan menjalani uji terbang setahun kemudian. Mengutip keterangan Pustekbang, sampai dengan akhir 2013, Tim Program N219 sudah merampungkan tahapan Preliminary-Design. Dalam tahapan yang telah berlangsung sejak pertengahan 2012 itu, mereka di antaranya telah menuntaskan seluruh rangkaian Power On Wind Tunnel Test pesawat  di fasilitas terowongan angin Pustekbang.



Di terowongan angin subsonik tersebut, model N219 skala kecil diberi hembusan asap untuk memastikan kualitas desain aerodinamisnya. Setelah ini, memasuki 2014, kedua pihak akan bahu membahu menggarap Detail Design, Fabrication & Assembly, lalu Ground Test serta Flight Test & Certification. Oleh karena keempat tahapan butuh waktu cukup panjang, penuntasannya akan berlanjut hingga 2015 bahkan 2016. Selain di Pustekbang, Rumpin, pengerjaan program juga dilakukan di fasilitas DI di Bandung, Jawa Barat.



Kepada Angkasa, Menteri Armida mengatakan, pemerintah menginginkan program ini tuntas karena pesawat yang akan dihasilkan bisa digunakan untuk ikut mendukung pembangunan perekonomian di banyak daerah terpencil. “Indonesia memang bisa membeli pesawat sekelas ini dari luar. Namun kalau bisa membuat sendiri, kenapa tidak dilakukan? Kalau pun ada yang harus dicermati, itu adalah tentang sistem kerja antardepartemen, proses produksi dan soal standarisasi komponen. Namun itu semua juga bisa kita kerjakan,” terangnya.



Kepala Lapan Bambang Tejasukmana mengungkap, untuk program N219, Pemerintah telah sepakat menggelontorkan dana Rp310 miliar pada tahun anggaran 2014 dan Rp90 miliar pada 2015. Sementara untuk pengerjaan di tahun 2016, akan dipastikan lebih lanjut setelah pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 bekerja. Baginya, anggaran 2016 masih terbilang krusial karena akan digunakan untuk membiayai type certificate. Tanpa ini, pesawat tidak bisa diterbangkan dan belum boleh diproduksi.



N219 sendiri bukanlah satu-satunya program yang tengah digarap Pustekbang. Menyusul keberhasilan dalam rekayasa teknologi kendali penerbangan pada pesawat nirawak LSU-02 yang beberapa bulan terbang autonomous sejauh 200 kilometer di Pantai Selatan Jawa Barat, mereka telah menyiapakan proyek riset selanjutnya, yakni pembuatan Lapan Survelillance Aircfrat. Pesawat bermesin tunggal bodi ramping mirip glider ini sejatinya adalah pesawat STEMME 15 buatan Jerman.



“Di tengah segala keterbatasan dan usia unit yang masih tergolong muda ini, kami memang harus  berfikir strategis. Sementara sebagian SDM fokus pada  N219, sebagian lagi kami kirim ke Jerman untuk menguasai reverse-engineering glider yang biasa dipakai untuk misi surveillance,” kata Kepala Pustekbang Gunawan Prabowo seraya menambahkan bahwa tugas belajar itu dilakukan di STEMME, pabrik pesawat terbang ringan di Strausberg/Berlin.



Selain untuk misi surveillance, pesawat terbang ringan unik untuk dua awak tersebut juga akan diaplikasikan sebagai pesawat riset pemula. Sebagai pesawat surveillance yang unik dan dilengkapi berbagai peralatan elektronik, STEMME 15 juga akan dimanfaatkan untuk melakukan verifikasi dan validasi citra satelit, pemotretan foto udara, monitoring dan pemetaan daerah banjir, pemantauan titik panas kebakaran hutan, SAR dan misi riset Lapan lainnya.



STEMME 15 memiliki panjang badan 8,52 meter, rentang sayap 18 meter, maximum take-off weight 1.100 kilogram dan mampu terbang dengan kecepatan maksimum 314 km/jam dengan mesin tunggal Rotax 914 F2/S1. Sebagai glider sendiri, pesawat ini mampu terbang hingga ketinggian 7.620 meter di atas permukaan laut dan jarak jelajah (dalam moda jarak jauh) sampai 2.500 kilometer. 

                ------------

Data Spesifikasi N219

-          Kecepatan jelajah maksimum                        :   210 knot

-          Jangkauan maksimum dengan muatan         :   831 mil-laut

-          Stall-speed                                                        :     59 knot

-          Jarak lepas-landas  (MTOW, ISA, SL)           :   426 meter

-          Jarak pendaratan (MLW, ISA, SL)                  :   484 meter

-          Berat maksimum lepas-landas                        :  7.030 kg

-          Muatan maksimum                                            :  2.318 kg

-          Kapasitas bahan bakar maksimum                :  1.588 kg

-          Ketinggian jelajah maksimum                          :  24.000 kaki

-          Mesin                                                                  :  2 x PT6A-42, 4 blades

-          Tenaga lepas landas                                         :  2 x 850 SHP




Sumber : Angkasa

13 komentar:

  1. Menteri Bappenas kan juga istri salah satu penggede PT DI.
    Terlepas dari itu, sebenarnya PT DI mengapa tidak fokus pada produksi pesawat CN 235 dan C 212.400 yg sudah tidak memerlukan proto type, uji coba, dan sertifikasi.
    Pasar sudah jelas, kemampuan technology sdh g perlu di ragukan, kedua pesawat juga mampu menembus isolasi daerah Indonesia di mana saja, dengan fasilitas lapangan terbang yg sangat minim.
    Sehingga biaya riset, dsbnya yang menyangkut pembuatan pesawat N 219 dapat di pakai sebagai pendukung produksi pesawat yang sudah ada.
    Apapun produksi pesawatnya, Indonesia tetap dan sangat tergantung dengan pihak luar dari aspek penyediaan material komponen pesawat yg mencakup hampir 90 %.
    Memang dari aspek ekonomi, dengan design yg dipegang oleh Indonesia, nilai pesawat N 219 tsb akan berbanding 40:60 dimana angka 40 adalah hak Indonesia, sedang sisanya yang 60 adalah komponen pesawat dari luar dalam bentuk ; Paku rivet, mesin, avionic, dan metal, disamping, landing gear, dan komponen lain yang belum mampu di buat di Indonesia.
    Seyogyanya, Indonesia sudah memulai dengan dorongan dan bantuan Pemerintah membuat industri komplementer untuk keperluan sebuah industri dengan technologi tinggi tersebut, misalnya dengan membuat paku rivet yg bersertipikat Internasional, bangku pesawat, atau produksi kabel listrik atau kawat baja yg mempunyai nilai dan sertipikat internasional pula.
    Sehingga dengan demikian, industri dirgantara yg di gembar gemborkan oleh pemerintah benar - benar akan menunjukkan industri modern yang patut dibanggakan di kemudian hari, tidak sekedar jadi industri "tukang jahit" semata.
    Stop wacana dan proto type yang tidak ada kelanjutan implementasinya.
    Contoh segera bangun industri pyrotechnik untuk pembuatan bahan baku motor roket dengan bahan baku yang milliaran tons yang kita punyai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. komentar yg sangat mirip dgn komentarnya mbah Boleroes..
      welcome back mbah..

      Hapus
  2. Kita perlu ikon.Kita perlu sesuatu untuk meningkatkan percaya diri dan membuktikan pada bangsa ini kita mampu.Itulah gunanya N219.Kita punya kemampuan merakit pesawat secara utuh,tidak salahnya itu di manfaatkan .Walaupun komponennya lebih banyak import.Setuju dengan komenano 08.07.Kita harus mulai bikin komponen yang walaupun sepele seperti paku keling tapi sudah bersertifikat int sehingga bisa dijual ke luar negri.Avionik kita udah ada swasta yang ngembangkannya,kenapa tidak kita gunakan,sekalian untuk promosi bila dipakai oleh N219.Ayo dorong perusahaan avionik swata nasional tsb untuk mendapatkan sertivikat dan patentnya agar juga bisa digunakan pesawat komersil dunia.

    BalasHapus
  3. Kebutuhan pesawat yang lebih ringan dari C212-400 itu banyak di negara ini. Indonesia perlu banyak pesawat sejenis Twin Otter-400 dan Nomad. Nomad sudah lama mati, tapi sekarang sedang diupayakan untuk dihidupkan kembali dan pemerintah Aushit mendukung reinkarnasi Nomad. C212-400 tidak bisa bersaing dengan Twin Otter-400 dan Nomad. Selain harga C212-400 juga lebih boros dibanding kedua pesawat itu.

    N219 dirancang untuk bersaing dengan kedua pesawat itu. Dari segi harga sudah pasti lebih murah dari C212-400 dan kedua pesawat tadi. Dari segi biaya operasional juga diharapkan bersaing dengan kedua pesawat itu.

    Dulu kita mengembangkan N250 banyak yang mencibir. Sekarang Lion Air dan Garuda beli banyak pesawat ATR. Dulu kita mau kembangkan N2130 banyak pula yang pesimistis. Sekarang dunia dibanjiri pesawat Sukhoi Super Jet, Embraer Brazil, Comac Cina, dan Canadair Regional Jet. Garuda dan Kartika beli banyak. Kita sudah salah dua kali. Kalau kita tidak kembangkan N219, langit Indonesia akan dihiasi Twin Otter dari Kanada dan Nomad dari Aushit. Mau salah untuk yang ketiga kalinya? Ya silahkan.

    BalasHapus
  4. Intinya komentar ano 10.07 adalah secuwil aspek ke ekonomian saja. Padahal kalau hanya "cuwilan" tidak menggambarkan secara komprehensip.
    Menurut saya, sebagai pelaku industri pesawat berkutatlah pada kegiatan produksi.
    Jangan mencampuri masalah pemasaran produk.
    Biarkan pasar diurus / di pegang oleh perusahaan yg memang orientasi kegiatannya di bidang pasar secara komprehensip.
    Mereka yg melakukan survei, propaganda / reklame, mereka yg menentukan harga jual, dan mereka yg mengendalikan produksi serta kapan melakukan pengembangan pasar.
    Diharapkan secara ideal, akan ada konsentrasi secara profesi bagain produksi ya melaksanakan management produksi di lain pihak melaksanakan profesi sebagai salesman.
    Di pihak Pemerintah memberikan arahan dan perlindungan yg cukup dari aspek politik.
    Jangan campur aduk seperti produk gado - gado atau pecel lele.
    Saya sangat yakin bahwa SDM kita di bidang ini sangat mampu dalam masalah ini, namun kalau sistim tidak berjalan dengan baik, karena budaya kita adalah budaya semuanya "BISA" dan sangat ego sektoral.
    Namun, biarlah hal itu berjalan, karena memang harus begitu jalannya.
    Dan jangan mewek kalau hasil akhir dari perjalanan produknya nanti tidak "laku" atau kalau toh "laku" butuh waktu lamaa yg akhirnya secara ke ekonomian sami mawon yaitu "RUGI".
    Kalau hal,itu terjadi, pasti ada kambing hitamnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aspek ke-ekonomian menurut saya bukan hanya secuwil. Aspek ke-ekonomian sangat bermain dalam hidup mati suatu industri, tak terkecuali industri dirgantara. Kalau ekonomi bagus, maka terciptalah pasar, dan pasarlah yang mendikte industri. Jarang sebaliknya.Kalau pasar butuh A, masak industri produksi X? Siapa yang beli X, lha wong pasar butuhnya A.

      Pasar di negara ini membutuhkan pesawat ringan. Sekarang pasar ini mau kita isi sendiri (semampu kita)? atau biarkan Kanada dan Aushit menikmati pasar RI? Padahal kita mampu mengisi pasar. Kanada sudah punya barang dan melirik Indonesia. Aushit reinkarnasikan Nomad sebenarnya bukan untuk pasar dalam negeri tapi target utamanya pasar Indonesia.

      Saya setuju ada barang yang nggak laku atau slow-movers. Barang nggak laku itu karena menganggap ekonomi hanya secuwil, jadi industri bikin barang tanpa mendengarkan suara pasar. Dan barang itu, menurut saya adalah C212. Sekarang bandingkan populasi C212 dengan Twin Otter didunia ini. Kalah telak C212.

      Mengenai konsep yang anda sebut diatas, saya sih ok-ok aja. Nampaknya seperti Rosobornexport gitu ya? Apakah akvitias marketing mau dipisah dari aktivitas produksi atau tidak, bagi saya sih fine2x aja. Tapi tetap saja industri yang mengikuti pasar. dan jarang sebaliknya.

      Hapus
  5. Makanya kita ini jangan sok Liberalis, Globalis !
    Pemerintah wajib menopang industri dalam negeri dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kedalam. Nggak usah sok open market lah !
    Buatlah kebijakan umpamanya diwilayah Indonesia tertentu penerbangan antar pulau atau antar propinsi harus dilayani oleh pesawat dengan spesifikasi tertentu, lalu kebijakan tersebut dikeluarkan pada saat maskapai lokal sudah siap (ya dikasih bocoran dulu oleh pemerintah).
    Untuk memblok maskapai luar, ya dibuat kebijakan semacam cabotage! jangan boleh!

    Ini negara kita, wilayah kita, udara kita, ya kita atur sendiri untuk kita-kita! mau pakai pesawat buatan kita kek kenapa repot amat sih ?

    Nggak usah mikir ruwet-ruwet,,, yang penting kemauannya harus ada dulu!

    BalasHapus
  6. Pt Di hanya jadi mainan para tuan demang , asal asing sennang di putar sana sini contoh : cn 235 sudah sangat layak untuk penerbangan antar pulau , order pesawat dari penerbangan nasional gak ada , yg lebih aneh ..garuda indonesia dan merpati lebih memilih pesawat tirbo baling 2...non jet buatan cina / canada "komisi dan upeti sangat santer terdengar ke polosok negeri .
    Baca artikel di.atas aroma politek ...politek kental sekali , maklum ajaa...pemilu sudah dekat seakan akan penguasa sekarang paling berprestasi padahal sebaliknya .

    BalasHapus
  7. Wuihh ini baru komentar2 yg berbobot dan ada isinya jd banyak tambah ilmu... jgn cuma bisanya cuap2 menghujat tp ga ngerti apa2

    BalasHapus
  8. Kalau melihat seperti ini susahnya mendesign & membuat pesawat sendiri, PT Dirgantara Indonesia bakalan pikir pikir kalau ada negara lain minta T O T sebagai imbalan dari pembelian produknya dalam jumlah tertentu,kalaupun terpaksa harus kasih T O T persyaratannya pasti bakal seabreg.

    BalasHapus
  9. setuju dgn prediksi mas ano 10.07. semoga yg berwenang bisa mengantisipasinya agar tak terjadi kesalahan untuk kali ke tiga...

    BalasHapus
  10. Para pejabat bersainglah dg jiran, walaupun menawarkan proton kenyataan Indonesia sdh dikalahkan dan utk itu para pejabat jangan mau dijadikan pejabat pencundang jiran. Maju dan Bisa...............

    BalasHapus
  11. Bappenas/Lapan/menhan semua ndak jelas mana yg hrs di eksekusi sbg produk andalan NKRI, apakah LSU-02/STEMME 15/N-219 semua penelitian dan hasilnya cuman sbg peneltian belum final utk diproduksi. Bgmn mau bersaing dg negara jiran, jiran walaupun cuman mengeluarkan mobil Proton ttp kenyataan sdh final menghasilkan lapangan kerja/hargadiri/punya nilai tambah ekonomi. Wacana, tok !.........duit masuk kantong ha...........ha........................

    BalasHapus