Rabu, November 13, 2013
0
JAKARTA-(IDB) : Setelah sangat lama berlalu, apron Bandar Udara Haliwen, di Atambua, NTT, menjadi ramai lagi saat rombongan Kepala Staf TNI AD (saat itu), Jenderal TNI Agustadi Purnomo, mendarat di sana. Dia dan rombongan memakai helikopter "raksasa" yang baru dimiliki TNI AD, Mil Mi-17. 

Dengan diameter baling-balingnya sekitar 26 meter, sapuan dan kekuatan angin (whoosh) dalam putaran dua mesin Klimov TV3-117VM berdaya 1545kW (2070 shp) itu membuat debu dan kerikil terlempar begitu saja. Delegasi yang menyambut di darat harus menyingkir dulu untuk sementara waktu sebelum baling-baling itu benar-benar berhenti berputar. 

Dikatakan sudah lama, karena Bandar Udara Haliwen yang berlokasi sekitar 30 kilometer dari garis perbatasan dengan negara Timor Timur itu pernah ramai dengan aktivitas pesawat terbang pada masa-masa pra dan selama Operasi Seroja berlangsung. 

Begitulah, kehadiran Mil Mi-17 berkelir hijau oliv itu menjadi tontonan tersendiri bagi masyarakat Atambua dan sekitarnya setelah dia terbang sekitar 55 menit dari Bandar Udara Eltari, di Kupang. 

Dinas Penerbangan TNI AD (kini menjadi Pusat Penerbangan TNI AD), sejatinya ingin dijadikan armada kavaleri udara yang handal; acuan dunia tentang ini kira-kira seperti First Air Army Cavalry Division dari Angkatan Darat Amerika Serikat, yang memiliki sebarisan panjang helikopter dan persenjataannya. 

Pusat Penerbangan TNI AD, menurut data TNI AD, memiliki Skuadron 11/Serbu berkedudukan di Pangkalan Udara TNI AD Ahmad Yani, Semarang, dengan armada delapan Bell 205A-1, dan delapan NBell-412 yang telah ditingkatkan kemampuannya. Lalu Skuadron 21/Serba Guna (di Lapangan Terbang Pondok Cabe, Tangerang; 15 NBO 105CB yang dibuat PT DI berdasar lisensi Messerschmidt Bolkow Blohm, Jerman).

Juga Skuadron 31/Serbu yang berintikan Mil Mi-35P buatan Rusia. Helikopter ini hadir di udara nusantara beberapa pekan sebelum Hari Juang Kartika pada 2004, dengan kemampuan menghancurkan perkubuan musuh dan tank sekaligus memberi dukungan tembakan udara pasukan. Di skuadron yang berkedudukan di Pangkalan Udara TNI AD Ahmad Yani, Semarang, inilah juga bersarang Mil Mi-17 itu. 

Yang terakhir adalah Skuadron 12/Serbu yang berkedudukan di Pangkalan Udara TNI AD Waytuba, Lampung. Di sini ditempatkan Bell 412 EP, varian Bell 412 yang lebih canggih lagi. 

Pada 9 November lalu, satu Mil Mi-17 Skuadron 31 itu jatuh di sekitar Pos Long Bulan Malinau, Kalimantan Utara. Helikopter seharga sekitar 20 juta dolar Amerika Serikat perunit itu dinyatakan total loss dengan 13 orang meninggal dunia di tempat, dan enam luka bakar serius. Dari korban tewas itu termasuk lima anggota TNI AD dan delapan warga sipil. Inilah kecelakaan ketiga pada Mil Mi-17 sekaligus paling mematikan. 

Bermula dari Mil Mi-17 yang mengudara dari Bandar Udara Tarakan, pada pukul 09.00 WITA hari yang sama, sempat singgah di Desa Auping, untuk mengangkut para pekerja pemborong pembangunan Pos Pengamanan Perbatasan Indonesia-Malaysia di Long Bulan. Keterangan TNI AD menyatakan, pada pukul 10.25 WITA, Mil Mi-17 itu mengudara menuju pos perbatasan itu dan mendarat di titik pendaratan yang telah disiapkan. 

Namun, 300 meter dari titik pendaratan, Mi-17 itu jatuh dari ketinggian sekitar cuma 10 meter dari permukaan tanah. Diduga sementara, perubahan kondisi cuaca mikro yang menyebabkan kecelakaan itu. 

Sesungguhnya, Mil Mi-17 telah menjadi produk ekspor menjanjikan pabrikannya; tidak kurang 59 negara memakai helikopter itu dengan berbagai variannya. Belum lagi badan-badan swasta dan internasional (semisal PBB) yang membeli atau menyewa Mil Mi-17 itu. Dengan begitu banyak pemakai internasional --selain faktor harga-- tentu performansi helikopter yang mendongak saat "duduk" di landasan itu diakui. 

Mulai dari mesin utama, dua mesin Klimov TV3-117VM berdaya 1545kW (2070 shp) dipilih untuk versi standar ekspor (seperti yang ada di TNI AD) itu mengingat keperluan medannya tidak untuk ketinggian ekstra dan kondisi geografis ekstrim. Jika ingin mesin lebih kuat, VK-2500 dengan daya 2500 shp bisa menjadi pilihan. 

Rusia dikenal dengan fungsionalitas, bukan pada "keindahan" model produk perangnya dan ini juga terjadi pada Mil Mi-17. Kokpit diawaki dua penerbang dan satu enjinir untuk membantu memonitor operasionalisasi berbagai sistem di dalam pesawat udara itu. Instrumen-instrumennya juga sederhana dan mudah untuk diamati secara visual.

Yang istimewa adalah ruang di dalam "perut" Mil Mi-17 buatan pabrikan Kazan, Rusia ini: sangat luas, dan menurut data produksinya, disebutkan bisa mengangkut 35 personel bersenjata lengkap siap tempur, alias hampir satu peleton penuh. 

Atau bisa diisi 12 tandu dengan tim medis dan peralatan kedokteran lapangan lengkap. Dia diklaim bisa mengangkat beban sedikit di atas 3.000 kilogram hingga ketinggian 6.000 meter alias ketinggian Puncak Jaya di Papua. 

Tangki-tangki bahan bakar konformalnya mampu menerbangkan dia hingga radius 465 kilometer pada kecepatan ekonomis sekitar 240 kilometer perjam. Dia memang tidak dirancang untuk ngebut, karena asasinya adalah helikopter angkut yang bisa dipersenjatai, dengan laju pertambahan ketinggian delapan meter perdetik. 

Untuk ukuran helikopter, Mil Mi-17 (milik TNI AD adalah varian Mil Mi-17H) berukuran besar dengan panjang fuselage sekitar 18 meter dan ketinggian 4,76 meter. Pintu rampa di bagian belakang kabin utamanya memungkinkan pergeseran pasukan dan barang secara cepat dan mudah. 

Mil Mi-17 merupakan penamaan untuk versi ekspor dari pabrikannya, Kazan; karena untuk penamaan di dalam negeri Rusia, dia dinamakan Mil Mi-8, atau Mil Mi-8M Hip, menurut penamaan NATO. Ini juga helikopter angkut yang paling banyak variannya. 

Di Kalimantan Utara, Mil Mi-17H itu sedang menunaikan tugasnya, mewujudkan pos perbatasan negara agar pasukan Indonesia bisa bertugas secara baik. Di sana juga, salah satu kuda beban udara TNI AD itu jatuh.
Sumber : Antara

0 komentar:

Posting Komentar