Sudah hampir dua pekan Perancis berada di garda depan mengawal zona larangan terbang di atas Libya. Pejabat-pejabat militer Perancis pun beberapa kali mengumumkan keberhasilan pesawat tempur andalan mereka, Dassault Rafale, menghancurkan berbagai sasaran. Namun, benarkah keunggulan Rafale sudah sungguh-sungguh teruji?
Terakhir, Senin (28/3), Perancis melaporkan, jet-jet Rafale mereka berhasil menghancurkan pusat komando pasukan Moammar Khadafy di pedalaman Libya, sekitar 10 kilometer sebelah selatan ibu kota Tripoli. Juru bicara Kepala Staf Gabungan Perancis, Kolonel Thierry Burkhard, tidak bersedia memberikan detail kerusakan sasaran, kecuali hanya mengatakan misi hari Minggu itu berjalan sukses.
Meski memiliki misi utama mengamankan zona larangan terbang, yang bertujuan mencegah penggunaan pesawat tempur AU Libya untuk menyerang pasukan oposisi, kekuatan pasukan koalisi kali ini memang menyerang target-target di darat dan laut. Target-target itu seperti tank, kapal patroli, instalasi radar, sistem pertahanan antiserangan udara, hingga pusat-pusat komando.
Alasan pemilihan sasaran-sasaran di darat itu adalah untuk melumpuhkan kemampuan pasukan pro-Khadafy agar tidak lagi membunuh warga sipil Libya.
Delapan Rafale yang lepas landas dari Pangkalan Udara Robinson di Saint-Dizier, Perancis timur laut, membuka operasi militer di Libya ini di bawah nama sandi Operasi Harmattan, Sabtu (19/3). Dilaporkan, delapan Rafale itu berhasil menghancurkan empat tank Khadafy yang bersiap menyerang kota Benghazi.
Akan tetapi, hingga hari ke-12 operasi tersebut, jet-jet canggih buatan Dassault Aviation itu seperti belum menemukan lawan yang sepadan dengan kemampuan sesungguhnya.
Multifungsi
Pesawat generasi keempat yang dirancang menjadi tulang punggung keunggulan udara angkatan bersenjata Perancis hingga tahun 2030 ini dibekali dengan seabrek kemampuan canggih sehingga mampu melaksanakan berbagai misi sekaligus.
Begitu multifungsinya Rafale sehingga pihak Dassault menjuluki pesawat tempur itu ”omnirole” atau ”mahabisa” sebagai istilah pemasaran untuk membedakan dengan pesawat-pesawat setara dari AS atau negara lain, yang biasanya hanya dilabeli sebagai pesawat ”multirole”.
”Pesawat ini sudah menjalankan misi udara ke udara, menghantam sasaran dari udara ke darat, misi pengintaian, dan bahkan bisa menjadi pesawat tanker. Benar-benar multifungsi. Anda bisa menyiapkan pesawat dan memilih misinya sembari Anda terbang,” ungkap Burkhard setengah berpromosi.
Untuk menunjukkan kemultifungsian jet tempur ini kepada dunia, Perancis menurunkan dua jenis Rafale dalam operasi di Libya. Dua jenis itu adalah jenis yang lepas landas dari pangkalan di darat (Rafale C yang berkursi tunggal dan Rafale B yang berkursi ganda) milik Armée de l’Air atau AU Perancis dan versi Rafale M yang bisa lepas landas dan mendarat di kapal induk milik Marine Nationale atau AL Perancis.
Rafale, yang dalam bahasa Perancis berarti tiupan angin badai, adalah wujud ambisi Perancis menunjukkan kemandirian militer mereka. Saat negara-negara Eropa lain bergabung untuk mengembangkan bersama pesawat Eurofighter Typhoon pada pertengahan 1980-an, Perancis memilih mundur. Mereka mengembangkan sendiri proyek pesawat ACX, yang kemudian menghasilkan Rafale.
Rafale dibuat memenuhi tuntutan AU dan AL Perancis, yang menginginkan sebuah pesawat yang bisa menjalankan fungsi tujuh pesawat berbeda. Pesawat itu dituntut harus bisa menjalankan berbagai misi, mulai dari keunggulan udara, pengintaian, dukungan udara bagi serangan darat, serangan presisi udara ke permukaan (sasaran di tanah maupun di laut), hingga mampu menjalankan serangan nuklir.
Bukan tandingan
Dassault menjawab tantangan itu dengan mendesain pesawat yang gesit dan lincah berkat perpaduan sayap delta dan canard (sayap kecil di bagian depan) serta empat lapis sistem kemudi elektronik (fly-by-wire). Rafale mampu menjalankan misi terbang rendah mengikuti kontur permukaan bumi untuk menghindari deteksi radar musuh.
Perpaduan badan yang 70 persennya terbuat dari material komposit yang ringan dan dorongan dua mesin turbofan M88-2 membuat Rafale memiliki kemampuan supercruise, yakni mampu melesat hingga kecepatan supersonik (Mach 1,87) tanpa menggunakan peranti afterburner (menyemprotkan bahan bakar ekstra di saluran buang mesin jet), sehingga menghemat konsumsi bahan bakar dan menurunkan biaya operasional.
Dari segi avionik, Dassault mengklaim Rafale sebagai satu-satunya pesawat buatan Eropa yang menggunakan perangkat radar pemindai elektronik aktif (AESA), yang mampu melacak banyak sasaran dan ancaman di sekitar pesawat secara simultan dalam kondisi segala cuaca dan tahan gangguan pengacak radar musuh.
Pesawat ini juga dilengkapi sistem peperangan elektronik SPECTRA, yang mampu mendeteksi berbagai jenis musuh dari jarak jauh sehingga memungkinkan pilot memilih metode pertahanan paling efektif. Sistem ini dijalankan berdasarkan basis data musuh, yang bisa ditentukan sendiri dan diperbarui sewaktu-waktu.
Namun, dengan segala kemampuan ini, baru dua fungsi yang sudah ditunjukkan Rafale di Libya, yakni serangan udara ke darat dan misi pengintaian. Sejak operasi dimulai dua pekan lalu, belum sekali pun pesawat ini menghadapi lawan setimbang di udara.
Memang tak mungkin AU Libya, yang sebagian besar armadanya adalah jet MiG dan Sukhoi lawas buatan Rusia, bisa menandingi persenjataan avant garde Perancis ini.
Rafale Perancis memang berhasil melumpuhkan satu pesawat AU Libya di Pangkalan Udara Misrata, Kamis pekan lalu. Akan tetapi, sasarannya adalah pesawat latih kuno buatan Yugoslavia, Soko G2-Galeb, yang baru saja mendarat di landasan.
Jadi, jika Perancis bermaksud memberi label ”battle proven” bagi pesawat Rafale ini agar kelak lebih laku dijual ke negara lain, misi di Libya belum benar-benar membuktikan kemampuan Rafale sesungguhnya.
Sumber: Kompas
0 komentar:
Posting Komentar