Rabu, April 20, 2011
0
JAKARTA-(IDB0 : Pengamat pertahanan Chappy Hakim mengatakan industri pertahanan wajib disubsidi pemerintah agar berkembang. "Juga kemauan politik. Itu baru bisa maju," kata Chappy, dalam peluncuran bukunya "Pertahanan Indonesia: Angkatan Perang Negara Kepulauan", di Jakarta, Selasa (19/4).

Menurutnya, subsidi bisa berupa penyertaan modal, prioritas pembelian hasil  produksi oleh pemerintah, atau kerja sama produksi komponen bersama dengan negara lain. Dia mencontohkan, jika Indonesia dan Malaysia sama-sama menggunakan pesawat Foker, kedua negara bisa bekerja sama memproduksi komponen paling murah dan saling bertukar komponen itu. Dengan cara ini tak semua kebutuhan harus diproduksi sendiri.
Subsidi harus terus dilakukan sampai industri pertahanan di dalam negeri mencapai skala ekonomi tertentu yang bisa menghasilkan keuntungan. Caranya, pemerintah harus membeli produk-produk yang dihasilkan industri supaya dikenal. Jika produk itu makin dikenal dan banyak dipesan, skala ekonomi bisa dicapai lebih cepat dan subsidi bisa dicabut. Memang, harga produk lokal lebih mahal, tapi jika hal ini tak dilakukan, industri tak akan berkembang dan militer terus tergantung pada asing.

Menurut mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, keperluan perangkat militer canggih memang masih harus impor. Tapi, industri bisa memulai memproduksi suku cadang dan melakukan perawatan sendiri. "Tak bisa 100 persen lokal. Tak ada di dunia ini yang industri militernya 100 persen bergantung pada lokal," kata Juwono.

Juwono menambahkan, pemerintah saat ini lebih memilih impor karena harga perangkat militer impor lebih murah. Persoalan keuangan yang membelit industri dan BUMN lokal menyebabkan produksi mereka sangat mahal, sehingga kalah bersaing dengan produk luar. Hal ini pernah diatasi dengan minta dukungan perbankan. Perbankan diminta mengucurkan dana untuk industri pertahanan, dua yang setuju adalah Bank Mandiri dan Bank Nasional Indonesia.

Sayangnya upaya ini mandek. Bank Indonesia tak menyetujui permintaan industri agar bunga pinjaman dipatok 7 persen. "Mereka minta dibayar pada tingkat dolar dan bunga 12 persen," ujarnya. Pemerintah pun menyerah, memilih impor yang jauh lebih murah dan pencairan dananya lebih cepat. Bunga setinggi itu akan membuat pemerintah harus membayar besar kepada bank, mengingat investasi awal untuk industri pertahanan bisa mencapai ratusan triliun.

Sumber: Tempo

0 komentar:

Posting Komentar