JPNN-(IDB) : Tidak banyak pakar satelit di
Indonesia. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Di antara sedikit orang
itu, Meiditomo Sutyarjoko merupakan sosok yang pengalamannya paling
komplet. Seperempat abad hidupnya dihabiskan untuk menggeluti teknologi
canggih tersebut.
Hati Meiditomo muda
berbunga-bunga. Ketika itu, 1989, dia terpilih sebagai tujuh orang
Indonesia pertama dari PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang
dipercaya menimba ilmu satelit di Amerika Serikat. Misi B.J. Habibie
–menteri riset dan teknologi ketika itu– jelas, IPTN tidak boleh hanya
unggul di industri pesawat, tapi juga harus mumpuni dalam industri
satelit.
’’Itu adalah mimpi yang jadi kenyataan,’’ ujar Meiditomo saat ditemui Jawa Pos di sela rapat dengan manajemen Bank Rakyat Indonesia (BRI) di gedung BRI Tower, Jakarta, Jumat (16/5).
Kecintaan dan kekaguman Meiditomo
memang mengakar sejak kecil. Ketika masih duduk di bangku SMP, pria
kelahiran Jogjakarta, 28 Mei 1964 itu, aktif di Organisasi Amatir Radio
Indonesia (ORARI) dengan call sign YD2BYR.
Bakat teknik elektronya juga terbukti saat berhasil membuat radio panggil (handy talky/HT)
sendiri saat SMP. Menurut dia, antena maupun pemancar yang dipakai
dalam radio merupakan bentuk sederhana teknologi satelit.
Garis hidup, rupanya, menuntun dirinya
untuk terus menggeluti dunia radio telekomunikasi. Dimulai ketika
Meiditomo masuk Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB),
lalu bekerja di Divisi Antariksa IPTN, hingga akhirnya mendapat
kepercayaan dikirim ke Hughes Space and Communication Inc di California,
salah satu perusahaan satelit ternama di dunia. Di situlah petualangan
Meiditomo dimulai.
Di perusahaan yang kini sudah menjadi
bagian dari Boeing Space System (BSS) tersebut, Meiditomo belajar
mendesain satelit, mengintegrasikan sistem, melakukan tes di darat,
peluncuran satelit dengan roket, melakukan tes ketika satelit sudah
berada di orbit, hingga hand over atau penyerahan satelit ke konsumen.
’’Jadi, kami belajar mulai A sampai Z, mulai merancang satelit hingga memasang sekrup-sekrupnya (mur-baut, Red),’’ katanya.
Mulai 1989 hingga 1995 karir Meiditomo menanjak hingga menjadi senior satellite systems engineer dan terlibat dalam 13 proyek satelit. Bahkan, dia pernah menjadi lead satellite systems engineer yang
memimpin ratusan teknisi dalam proyek pengerjaan satelit. Salah satu
satelit hasil karyanya adalah UHF Follow On yang merupakan satelit
pesanan Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy).
’’Satelit itu bisa dipakai untuk
komunikasi kapal-kapal perang Amerika, termasuk jika presiden Amerika
ingin berkomunikasi dengan komandan kapal induknya,’’ ujar dia.
Pada 1996 Meiditomo kembali ke Indonesia. Dia dipercaya sebagai deputy vice president divisi
antariksa di IPTN. Namun, krisis moneter mengandaskan impiannya untuk
membangun industri satelit di IPTN. Bahkan, Divisi Antariksa IPTN pun
dibubarkan.
Sejak itu Meiditomo masuk
perusahaan-perusahaan swasta. Mulai PT Asia Cellular Satellite Indonesia
(ACeS), Inmarsat Indonesia, S2M Group di Dubai (Uni Emirat Arab),
sampai Pensa Group dan mulai Juni 2013 hingga kini menjadi presiden
direktur di PT Sarana Mukti Adijaya, anak usaha Asia Broadcast Satellite
Hongkong di Indonesia. ’’Sepanjang 25 tahun berkarir di industri ini,
saya sudah terlibat dalam 21 proyek satelit,’’ ujarnya.
Kini satu lagi jabatan yang disandang Meiditomo, yakni lead consultant
atau pimpinan konsultan untuk proyek BRIsat, satelit milik Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Menurut dia, itu merupakan proyek strategis yang tidak
hanya penting bagi bisnis BRI, tapi juga bagi Indonesia.
’’Secara pribadi, bisnis BRI yang
menyalurkan kredit ke sektor usaha mikro juga cocok dengan idealisme
saya. Itu salah satu faktor yang membuat saya bersedia bergabung dalam
tim ini,’’ katanya.
Meiditomo mengatakan, Indonesia kini
memang tertinggal cukup jauh bila dibandingkan dengan negara-negara lain
di bidang satelit. Padahal, posisi Indonesia yang berada di garis
katulistiwa atau ekuator sangat strategis. Sebab, seluruh satelit di
angkasa harus diletakkan di garis katulistiwa pada ketinggian 36.000
kilometer atau pada geostationary satellite.
Menurut Meiditomo, idealnya, dari 360
derajat lingkar bumi, hanya boleh ada 180 satelit yang mengudara, Namun,
pesatnya pertumbuhan industri satelit membuat tempat itu sudah dijejali
sekitar 2.000 satelit. Indonesia yang berada di 95 derajat bujur timur
hingga 141 derajat bujur timur semestinya memiliki jatah 20 satelit.
’’Namun, di angkasa itu tidak ada
kapling-kaplingan. Jadi, siapa yang cepat meletakkan satelitnya lebih
dulu, yang lain tidak kebagian,’’ ucapnya.
BRIsat, lanjut Meiditomo, rencananya
berada pada orbit 150,5 derajat bujur timur. Saat ini posisi tersebut
masih ditempati satelit Palapa C2. Namun, usia pakai satelit tersebut
sudah hampir habis. Jika tidak segera diisi, satelit negara lain akan
segera menempati posisi strategis tersebut.
’’Karena itu, BRIsat ini tidak hanya
akan mendukung bisnis BRI. Tapi, lebih dari itu, akan menjadi penanda
kedaulatan Indonesia di angkasa,’’ jelasnya.
Saat ini BRIsat tengah dalam tahap
persiapan produksi di Space System/Loral, LLC, di AS. Pada 2016 satelit
diperkirakan selesai dibangun dan diluncurkan di Guyana oleh perusahaan
Prancis Ariane. Dalam proses itu, Meiditomo beserta timnya terlibat
dalam keseluruhan tahap, mulai desain satelit hingga peluncurannya.
’’Doakan agar semua bisa berjalan sesuai rencana. Ini proyek prestise bagi bangsa kita,’’ tandas dia.
Sumber : JPNN
Terus bung berkarya utk satelit NKRI, walaupun sdh tertinggal masih ada semangat dan jangan pernah putus semangat pasti yg maha kuasa memberikan kekuatan serta kesehatan
BalasHapus