Minggu, Mei 25, 2014
2
image

ASEAN – Filipina Dan Vietnam


JKGR-(IDB) : Asia Tenggara, beranggotakan 10 negara, lebih dari 650 juta penduduk dengan lebih dari setengahnya adalah usia produktif, berisikan sumber daya alam dan sumber daya energi melimpah. Diiringi pertubuhan ekonomi yang terus menanjak dan potensi pasar yang terus berkembang, ASEAN adalah the rising stars of the world.


Tidak ada yang meragukan betapa menariknya ASEAN di mata dunia, dilihat dari sisi manapun ASEAN tetaplah menggairahkan bagi para pelaku kepentingan dunia. Dengan ekonomi yang terus tumbuh dan segala sumber daya alamnya, siapa yang tidak tertarik?! Secara sederhana dapat digambarkan, meningkatnya ekonomi ASEAN akan secara otomatis meningkatkan pendapatan perkapita. Jika pendapatan perkapita meningkat maka daya beli dan tingkat konsumsi juga akan meningkat. Bila daya beli dan konsumsi meningkat, dengan 650 juta penduduknya berikut potensi belanja negara pada semua sektor. Maka bisa dibayangkan betapa menggiurkan potensi pasar ASEAN bagi industri dunia, laksana putri cantik pujaan segala bangsa.


ASEAN juga dikaruniai dengan bumi yang kaya sumber daya alam berharga, mulai dari bermacam macam barang tambang sampai dengan aneka sumber energi. Ditengah krisis energi dunia dan kelesuan ekonomi Eropa dan Amerika, tak ayal jika mata negara – negara besar tertuju pada ASEAN. Permasalahannya, perhatian yang berlebih dari negara besar akan cenderung melahirkan konflik yang tercipta dari tarik menarik kepentingan baik itu horisontal maupun vertikal. Hal ini secara tidak langsung akan mendorong negara – negara kawasan untuk mempersenjatai diri demi melindungi kepentingannya sehingga mendorong terciptanya rasa ketidak percayaan antar sesama negara kawasan, yang pada praktiknya kemudian dimanfaatkan oleh para pihak ketiga. Jika saja ASEAN dapat lebih solid serta bersatu dalam satu pikiran dan tujuan, ASEAN akan menjadi kekuatan ekonomi yang bahkan mampu menyaingi NATO.


Cepat atau lambat ASEAN perlu memandang ke dalam diri mereka sendiri dan berfokus pada diri sendiri dalam rangka mendorong kemajuan bersama. Jalan menuju kesana telah dirintis dengan menciptakan perjanjian kerjasama “Masyarakat Ekonomi ASEAN” yang akan dilakasanakan pada 2015 mendatang. MEA sendiri dirancang untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN, menciptakan pasar regional yang berfokus kedalam, menarik investasi masuk serta meningkatkan daya saing ASEAN pada persaingan global. MEA adalah bentuk kesadaran diri ASEAN atas kekuatan yang dimilikinya serta sebentuk upaya untuk mewujudkan potensi tersebut. Pertanyaannya adalah, apa pengaruh MEA pada dunia, serta antara ekonomi ASEAN yang bersatu dan ekonomi ASEAN yang terpecah manakah yang lebih menguntungkan bagi para negara besar?


Bisa dipastikan MEA akan memberikan dampak langsung pada ekonomi dunia serta akan menjadi salah satu pilar yang ikut menopang stabilitas ekonomi dunia. Sejauh mana keberhasilan negara – negara ASEAN menggiring wacana MEA akan ikut mempengaruhi dinamika politik kawasan dan sekitarnya. Sebab soliditas kerjasama antar negara ASEAN akan secara otomatis ikut meningkatkan daya tawar politik ASEAN pada dunia. Yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik terkait yaitu LCS. 

Pada praktiknya akan tergantung pada sejauh mana ASEAN mampu memanfaatkan Amerika dan negara besar lainnya untuk menjadi penyeimbang RRC, dan sejauh mana ASEAN dapat bertahan dari intervensi yang memecah belah. Tentu saja akan ada ongkos yang harus dikeluarkan untuk tujuan itu, hal ini bisa dilihat dari sikap Amerika dan Eropa yang cenderung ‘wait and see’ atas LCS. Pada intinya ASEAN harus dapat memainkan perannya agar tidak terus menjadi bahan permainan pihak luar.
 
Filipina bersama Vietnam berhadap hadapan secara langsung dengan RRC terkait sengketa LCS, kedua negara ini adalah yang pertama kali akan merasakan imbas LCS. Ditengah aksi diam dunia langkah agresif RRC telah menempatkan keduanya pada posisi yang sulit. Sangat jelas terlihat negara besar tengah memainkan peran “bad cop good cops” untuk memperoleh keuntungan diantara kesempitan kondisi ASEAN. Tujuannya pun sudah jelas, baik sang ‘bad cop’ maupun ‘good cops’ menginginkan “share” atas harta yang terkandung di perut bumi ASEAN.


Secara militer negara – negara ASEAN bukanlah lawan seimbang bagi RRC dan mereka yang kaya tapi lemah akan cenderung ditindas dan dimanfaatkan, yang demikian itu sudah hukum alam. Mengetahui keterbatasan dirinya dan didorong oleh ikatan sejarah, Filipina memutuskan untuk merangkul Amerika sebagai sekutu dalam menghadapi RRC. Tak hanya itu, Filipina juga berusaha merangkul kerjasama sesama negara ASEAN dalam menghadapi RRC terutama Indonesia dan Vietnam. 

Dengan Vietnam Filipina lebih condong mengharapkan terciptanya kerjasama militer antara kedua negara, mengingat secara geografis Vietnam adalah tetangga yang paling dekat di LCS dan berbagi nasib yang sama pula. Sementara itu tercapainya kesepakatan terkait perbatasan antara Indonesia dan Filipina yang telah berlarut larut selama 20 tahun terakhir. Adalah sebuah bahasa eksplisit dari Filipina untuk meminta bantuan pada Indonesia terkait konflik LCS. Tidak disangkal lagi bahwa sanya Indonesia memiliki peran yang sangat penting sebagai mediator dan stabilisator kawasan.


image

Dalam kaitannya dengan Indonesia bisa dikatakan hubungan Filipina – Indonesia berada pada level moderat. Secara potensi Filipina memandang Indonesia lebih menjanjikan dibanding Vietnam atau negara ASEAN lainnya. Hal ini bisa dilihat minat Filipina untuk membeli produk – produk militer Indonesia dan terutama kecenderungan Filipina untuk mengikuti “jejak” Indonesia. 

Sebuah sinyalemen yang mengisyaratkan rasa kepercayaan dan keinginan untuk merapat sebagai sahabat NKRI. Namun langkah pendekatan Filipina terhadap Indonesia masih terkesan ragu – ragu dan tidak sepenuh hati. Hal tersebut dapat dilihat dari keputusan Filipina untuk menerima kembali kehadirian militer Amerika di Mindanao yang ditengarai membawa “misi ganda”. Namun patut diduga pula bahwa dari keputusan tersebut Filipina juga mengharapkan paket bantuan militer dari Amerika dan sekutu sebagaimana yang telah diterima Indonesia.
 
Dapat dipastikan Filipina tidak akan dapat berbuat banyak jika harus berhadapan langsung dalam konflik senjata dengan RRC.


Keputusan Filipina untuk menerima kembali kehadiran militer Amerika adalah solusi paling realistis untuk menambal kelemahan militernya. Oleh karenanya kedatangan armada Amerika di Mindanao disambut bak selayaknya angin segar bagi paru – paru Filipina. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, jika konflik benar – benar meletus apakah Amerika akan benar – benar mau membantu Filipina menghadapi RRC? 

Jawaban atas pertanyaan ini akan bergantung pada, seberapa besar nilai ekonomis yang terkandung dalam zona LCS yang dimiliki Filipina dapat menambal biaya perang yang harus dikeluarkan oleh Amerika untuk mempertahankan Filipina. Atau jika Manila dapat memberikan penawaran yang menguntungkan sebagai bayaran atas jasa perlindungan paman Sam. Dalam hal ini, syarat “status sementara” bagi keberadaan pangkalan Amerika di Mindanao mencerminkan kehati – hatian Filipina dalam mengambil sikap. Agaknya Filipina tidak ingin seperti lepas dari mulut singa lalu jatuh kemulut buaya.


Selama ini Filipina masih begitu disibukkan dengan aksi pemberontakan bangsa Moro, sementara musuh berbadan besar telah berdiri didepan pintu. Filipina tidak akan mungkin mampu menghadapi sang agresor dengan tenang selama didalam rumahnya sendiri masih menyisakan pekerjaan yang banyak. Harapan bagi Filipina adalah berdamai dengan siapa saja yang bisa diajak berdamai dan menggandeng siapa saja yang bersedia diajak berkawan, sebagaimana yang telah dicontohkan dengan jelas oleh Indonesia. 

Karena secara ekonomi dan militer Filipina tidak memiliki kekuatan yaang mantap, maka untuk saat ini strategi politik yang paling tepat bagi Filipina adalah “many friends but share only one common enemy”. Jika Manila mampu merangkul bangsa Moro maka itu akan menjadi doping yang mantap bagi rasa percaya diri Filipina. Yang dibutuhkan hanyalah sedikit dukungan dan asistensi Indonesia, dan jika Filipina dapat mendapatkan dukungan yang lebih luas lagi dari Indonesia. Maka itu akan semakin lebih baik lagi bagi jaminan probabilitas keberhasilan Filipna dalam melewati konflik LCS.


Sementara itu tetangga Filipina di sebelah barat yaitu Vietnam juga mengalami masalah yang kurang lebih serupa, bahkan mungkin lebih memusingkan. Dalam sejarahnya Vietnam sudah sangat kenyang dengan pendudukan, invasi dan agresi asing. Kisah perjalanan Vietnam ditulis penuh dengan cerita ‘perjuangan’ yang heroik dan berdarah darah dalam upayanya melawan asing, dan melawan China adalah termasuk dalam rangkaian kisah perjuangannya. 

Friksi antara Vietnam – China pertama kali terjadi pada 1979 ketika Vietnam memutuskan menghukum rezim ‘Pol Pot’ yang melakukan pembersihan etnis Viet di Kamboja. Rezim Khmer Merah Kamboja sendiri memiliki hubungan yang dekat dengan RRC, oleh karenanya Tiongkok merasa perlu mempertahankan sekutunya yang tinggal satu di Indochina. Selain itu upaya RRC lebih didorong karena rasa sakit atas tindakan Vietnam yang seperti melupakan segala bantuan Tiongkok pada perjuangan Vietnam merebut kemerdekaannya dari Perancis. Jadilah aksi hukum menghukum ini perang besar Indochina ketiga yang berlarut – larut dari 1979 – 1989.


Secara geografis Vietnam berbagi perbatasan darat dan laut dengan RRC, menjadikan Vietnam benar – benar bertatapan langsung dengan RRC dalam konflik LCS. Jika konflik benar – benar meletus maka baku hantam diantara milliter kedua negara akan terjadi di darat, laut dan udara. Mesikupun perdamaian antara Vietnam dan RRC telah dicapai pada 1990, kedua negara masih memendam rasa ketidak percayaan antara satu sama lain. 

Untuk menanggapi perkembangan militer RRC, walaupun secara terbatas, dalam dua dasawarsa terakhir Vietnam telah melakukan pembelian alut sista besar besaran pada Rusia. Dari rombongan Su-30 di udara hingga kawanan kapal selam Kilo Class di laut. Dari jauh hari Vietnam telah menyadari bahwa dendam berdarah Tiongkok tidak akan hilang begitu saja melalui sebuah perjanjian damai. Klaim RRC atas LCS yang didasarkan pada catatan zaman kerajaan ribuan tahun di masa lampau semakin menguatkan kecurigaan Vietnam.


Protester holds a placard which reads, "nation first" while marching during an anti-China protest on a street in Hanoi

Sejak digelarnya kebijakan ‘Do Moi’ pada 1986 yang menjadikan sistem ekonomi Vietnam lebih terbuka dan liberal. Tingkat pertumbuhan ekonomi Vietnam melonjak drastis hingga menduduki peringkat tertinggi kedua didunia setelah China. 

GDP Vietnam tidak lagi bertumpu pada pertanian semata, namun telah berkembang pada sektor – sektor industri lainnya sehingga mengundang arus investasi asing masuk. Indonesia pun tidak ketinggalan berinvestasi di Vietnam, yang terbaru dan terbesar adalah pembangunan pabrik semen milik PT.Semen Gresik (persero)Tbk. 

Menjadikan Indonesia sebagai salah satu relasi penting bagi Vietnam dalam kerja sama ekonomi, dan Vietnam mengapresiasinya dengan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua selain bahasa Inggris, bahasa Jepang dan bahasa Mandarin. Lebih jauh lagi hubungan antara Indonesia dan Vietnam telah terbentuk sejak 1986 dan hingga sakarang Vietnam memandang Indonesia sebagai “saudara tua” yang dihormati. 

Tercapainya kesepakatan pada 2003 terkait perbatasan bernilai strategis di antara kedua negara menjadi momentum terbesar hubungan baik Indonesia dan Vietnam. Namun hubungan yang bersifat khusus seperti dalam bidang kemiliteran tidak ditemukan jejak yang signifikan diantara kedua negara. Namun tidak menutup kemungkinan bahwasanya Vietnam juga mengharapkan hubungan itu dari Indonesia,..


Salah satu yang patut diperhatikan dalam perindustrian Vietnam adalah investor asing yang berinvestasi pada industri pertambangan strategis seperti minyak dan REM, dimana sebagian besar dari sektor strategis itu digeluti oleh para investor Jepang. Dalam hal ini industri pertambangan REM adalah yang paling penting dan krusial bagi Jepang sebab bersentuhan langsung dengan industri elektronik teknologi tinggi di main land Jepang. REM sendiri adalah bahan baku utama dalam pembuatan chip- chip komputer. 

Dengan banyaknya industri strategis Jepang yang beroperasi di Vietnam dan sehubungan dengan semakin memanasnya hubungan Vietnam – RRC terkait LCS. Timbul pertanyaan yaitu, apakah Jepang akan membiarkan Vietnam jatuh pada RRC dengan resiko kehilangan industri vitalnya? Jika melihat GDP Vietnam yang baru berkisar pada angka $300 miliar dengan anggaran pertahanan pada kisaran 2,5% – 3%, lalu menghubungkannya dengan aktifitas belanja militer Vietnam. Muncul lagi pertanyaan, dari mana Vietnam mendapatkan dana tambahan belanja militernya?


Sejarah Vietnam yang penuh dengan peperangan melawan asing agaknya telah terbawa hingga masa kini, ada semacam rasa ketidak percayaan kepada pihak luar yang kental pada diri Vietnam. Hingga kini tidak ditemukan aliansi strategis antara Vietnam dan pihak luar, yang ada hanyalah hubungan kedekatan yang bersifat mutual atau simbolis. Terkait dengan LCS hampur bisa dipastikan Vietnam akan menolak untuk mendekati atau didekati oleh Amerika, karena sejarah tidak berbohong dan masih pula menyisakan luka. 

Sementara Rusia sendiriterlihat lebih berpihak kepada RRC serta memberi kesan kuat ‘cuci tangan’ dari LCS. Maka sebagaimana Filipina, peluang terbesar Vietnam ada pada kerjasama antar negara kawasan. Dan meskipun rasa percaya diri Vietnam sangat tinggi, namun sendirian saja mempertahankan Paracel dari China kecil sekali kemungkinannya bagi Vietnam untuk berhasil. Mungkin Vietnam harus mulai belajar menurunkan ambisinya dan bersikap lebih rendah hati, sebab sifat keras kepala dan harga diri buta tidak akan memberikan apapun.


image

Salah satu langkah yang dapat ditempuh Vietnam adalah dengan menarik pihak luar untuk ikut masuk ke dalam konflik tanpa harus Vietnam sendiri yang mengundangnya. Yaitu dengan memainkan kartu diplomasi dan kepentingan ekonomi sebagai alat untuk “memaksakan” bantuan atau dengan melebarkan skala konflik agar menyebar di seluruh kawasan sehingga negara kawasan mau tidak mau akan ikut terlibat. 

Dengan langkah tersebut Vietnam akan dapat memaksa pihak ketiga untuk masuk kedalam konflik tanpa harus membayar ongkos bantuan, dan strategi ini sangat mungkin dilakukan oleh Vietnam mengingat potensi Vietnam untuk menjadi negara pertama yang akan terlibat dalam konflik terbuka dengan RRC.

Skenario ini tentu saja akan sangat berdampak pada Indonesia sebab posisi Natuna yang menjorok ke utara sangat rawan terkena imbas konflik. Terlebih lagi dengan adanya rencana TNI untuk menempatkan pangkalan militer di Natuna, satu saja langkah yang salah maka Indonesia akan ikut berenang dalam riak konflik LCS. Selain menarik Indonesia masuk kedalam, Vietnam juga dapat menarik Malaysia serta menarik Amerika melalui Filipina. Dengan melebarkan konflik ke banyak negara maka tidak akan mudah bagi RRC untuk menduduki LCS tanpa perjuangan, sekaligus memastikan RRC tidak akan keluar dari LCS tanpa berdarah darah.




Sumber : JKGR

2 komentar:

  1. Kl menurut sy kita harus bantu philipina, kasihan dia.. habis itu baru kita invasi malaysia hehehe buat pelajaran..

    BalasHapus
  2. Saya sangat setuju kita bangun militer yg kuat. Tpi tidak untuk menginvasi negara lain. Masih ada ribuan pulau yg butuh pembangunan dan tentu perlu perlindungan yg kuat. Laut dan udara harus kuat. Ngarep SU-35 dan Kilo/Amur meski baru ngimpi....?

    BalasHapus