ASEAN – Filipina Dan Vietnam
JKGR-(IDB) : Asia Tenggara, beranggotakan 10 negara, lebih dari 650 juta penduduk
dengan lebih dari setengahnya adalah usia produktif, berisikan sumber
daya alam dan sumber daya energi melimpah. Diiringi pertubuhan ekonomi
yang terus menanjak dan potensi pasar yang terus berkembang, ASEAN
adalah the rising stars of the world.
Tidak ada yang meragukan betapa menariknya ASEAN di mata dunia,
dilihat dari sisi manapun ASEAN tetaplah menggairahkan bagi para pelaku
kepentingan dunia. Dengan ekonomi yang terus tumbuh dan segala sumber
daya alamnya, siapa yang tidak tertarik?! Secara sederhana dapat
digambarkan, meningkatnya ekonomi ASEAN akan secara otomatis
meningkatkan pendapatan perkapita. Jika pendapatan perkapita meningkat
maka daya beli dan tingkat konsumsi juga akan meningkat. Bila daya beli
dan konsumsi meningkat, dengan 650 juta penduduknya berikut potensi
belanja negara pada semua sektor. Maka bisa dibayangkan betapa
menggiurkan potensi pasar ASEAN bagi industri dunia, laksana putri
cantik pujaan segala bangsa.
ASEAN juga dikaruniai dengan bumi yang kaya sumber daya alam
berharga, mulai dari bermacam macam barang tambang sampai dengan aneka
sumber energi. Ditengah krisis energi dunia dan kelesuan ekonomi Eropa
dan Amerika, tak ayal jika mata negara – negara besar tertuju pada
ASEAN. Permasalahannya, perhatian yang berlebih dari negara besar akan
cenderung melahirkan konflik yang tercipta dari tarik menarik
kepentingan baik itu horisontal maupun vertikal. Hal ini secara tidak
langsung akan mendorong negara – negara kawasan untuk mempersenjatai
diri demi melindungi kepentingannya sehingga mendorong terciptanya rasa
ketidak percayaan antar sesama negara kawasan, yang pada praktiknya
kemudian dimanfaatkan oleh para pihak ketiga. Jika saja ASEAN dapat
lebih solid serta bersatu dalam satu pikiran dan tujuan, ASEAN akan
menjadi kekuatan ekonomi yang bahkan mampu menyaingi NATO.
Cepat atau lambat ASEAN perlu memandang ke dalam diri mereka sendiri
dan berfokus pada diri sendiri dalam rangka mendorong kemajuan bersama.
Jalan menuju kesana telah dirintis dengan menciptakan perjanjian
kerjasama “Masyarakat Ekonomi ASEAN” yang akan dilakasanakan pada 2015
mendatang. MEA sendiri dirancang untuk dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi ASEAN, menciptakan pasar regional yang berfokus kedalam, menarik
investasi masuk serta meningkatkan daya saing ASEAN pada persaingan
global. MEA adalah bentuk kesadaran diri ASEAN atas kekuatan yang
dimilikinya serta sebentuk upaya untuk mewujudkan potensi tersebut.
Pertanyaannya adalah, apa pengaruh MEA pada dunia, serta antara ekonomi
ASEAN yang bersatu dan ekonomi ASEAN yang terpecah manakah yang lebih
menguntungkan bagi para negara besar?
Bisa dipastikan MEA akan memberikan dampak langsung pada ekonomi
dunia serta akan menjadi salah satu pilar yang ikut menopang stabilitas
ekonomi dunia. Sejauh mana keberhasilan negara – negara ASEAN menggiring
wacana MEA akan ikut mempengaruhi dinamika politik kawasan dan
sekitarnya. Sebab soliditas kerjasama antar negara ASEAN akan secara
otomatis ikut meningkatkan daya tawar politik ASEAN pada dunia. Yang
pada akhirnya dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik terkait yaitu
LCS.
Pada praktiknya akan tergantung pada sejauh mana ASEAN mampu
memanfaatkan Amerika dan negara besar lainnya untuk menjadi penyeimbang
RRC, dan sejauh mana ASEAN dapat bertahan dari intervensi yang memecah
belah. Tentu saja akan ada ongkos yang harus dikeluarkan untuk tujuan
itu, hal ini bisa dilihat dari sikap Amerika dan Eropa yang cenderung
‘wait and see’ atas LCS. Pada intinya ASEAN harus dapat memainkan
perannya agar tidak terus menjadi bahan permainan pihak luar.
Filipina bersama Vietnam berhadap hadapan secara langsung dengan RRC
terkait sengketa LCS, kedua negara ini adalah yang pertama kali akan
merasakan imbas LCS. Ditengah aksi diam dunia langkah agresif RRC telah
menempatkan keduanya pada posisi yang sulit. Sangat jelas terlihat
negara besar tengah memainkan peran “bad cop good cops” untuk memperoleh
keuntungan diantara kesempitan kondisi ASEAN. Tujuannya pun sudah
jelas, baik sang ‘bad cop’ maupun ‘good cops’ menginginkan “share” atas
harta yang terkandung di perut bumi ASEAN.
Secara militer negara – negara ASEAN bukanlah lawan seimbang bagi RRC
dan mereka yang kaya tapi lemah akan cenderung ditindas dan
dimanfaatkan, yang demikian itu sudah hukum alam. Mengetahui
keterbatasan dirinya dan didorong oleh ikatan sejarah, Filipina
memutuskan untuk merangkul Amerika sebagai sekutu dalam menghadapi RRC.
Tak hanya itu, Filipina juga berusaha merangkul kerjasama sesama negara
ASEAN dalam menghadapi RRC terutama Indonesia dan Vietnam.
Dengan
Vietnam Filipina lebih condong mengharapkan terciptanya kerjasama
militer antara kedua negara, mengingat secara geografis Vietnam adalah
tetangga yang paling dekat di LCS dan berbagi nasib yang sama pula.
Sementara itu tercapainya kesepakatan terkait perbatasan antara
Indonesia dan Filipina yang telah berlarut larut selama 20 tahun
terakhir. Adalah sebuah bahasa eksplisit dari Filipina untuk meminta
bantuan pada Indonesia terkait konflik LCS. Tidak disangkal lagi bahwa
sanya Indonesia memiliki peran yang sangat penting sebagai mediator dan
stabilisator kawasan.
Dalam kaitannya dengan Indonesia bisa dikatakan hubungan Filipina –
Indonesia berada pada level moderat. Secara potensi Filipina memandang
Indonesia lebih menjanjikan dibanding Vietnam atau negara ASEAN lainnya.
Hal ini bisa dilihat minat Filipina untuk membeli produk – produk
militer Indonesia dan terutama kecenderungan Filipina untuk mengikuti
“jejak” Indonesia.
Sebuah sinyalemen yang mengisyaratkan rasa
kepercayaan dan keinginan untuk merapat sebagai sahabat NKRI. Namun
langkah pendekatan Filipina terhadap Indonesia masih terkesan ragu –
ragu dan tidak sepenuh hati. Hal tersebut dapat dilihat dari keputusan
Filipina untuk menerima kembali kehadirian militer Amerika di Mindanao
yang ditengarai membawa “misi ganda”. Namun patut diduga pula bahwa dari
keputusan tersebut Filipina juga mengharapkan paket bantuan militer
dari Amerika dan sekutu sebagaimana yang telah diterima Indonesia.
Dapat dipastikan Filipina tidak akan dapat berbuat banyak jika harus berhadapan langsung dalam konflik senjata dengan RRC.
Keputusan Filipina untuk menerima kembali kehadiran militer Amerika
adalah solusi paling realistis untuk menambal kelemahan militernya. Oleh
karenanya kedatangan armada Amerika di Mindanao disambut bak selayaknya
angin segar bagi paru – paru Filipina. Yang kemudian menjadi pertanyaan
adalah, jika konflik benar – benar meletus apakah Amerika akan benar –
benar mau membantu Filipina menghadapi RRC?
Jawaban atas pertanyaan ini
akan bergantung pada, seberapa besar nilai ekonomis yang terkandung
dalam zona LCS yang dimiliki Filipina dapat menambal biaya perang yang
harus dikeluarkan oleh Amerika untuk mempertahankan Filipina. Atau jika
Manila dapat memberikan penawaran yang menguntungkan sebagai bayaran
atas jasa perlindungan paman Sam. Dalam hal ini, syarat “status
sementara” bagi keberadaan pangkalan Amerika di Mindanao mencerminkan
kehati – hatian Filipina dalam mengambil sikap. Agaknya Filipina tidak
ingin seperti lepas dari mulut singa lalu jatuh kemulut buaya.
Selama ini Filipina masih begitu disibukkan dengan aksi pemberontakan
bangsa Moro, sementara musuh berbadan besar telah berdiri didepan
pintu. Filipina tidak akan mungkin mampu menghadapi sang agresor dengan
tenang selama didalam rumahnya sendiri masih menyisakan pekerjaan yang
banyak. Harapan bagi Filipina adalah berdamai dengan siapa saja yang
bisa diajak berdamai dan menggandeng siapa saja yang bersedia diajak
berkawan, sebagaimana yang telah dicontohkan dengan jelas oleh
Indonesia.
Karena secara ekonomi dan militer Filipina tidak memiliki
kekuatan yaang mantap, maka untuk saat ini strategi politik yang paling
tepat bagi Filipina adalah “many friends but share only one common
enemy”. Jika Manila mampu merangkul bangsa Moro maka itu akan menjadi
doping yang mantap bagi rasa percaya diri Filipina. Yang dibutuhkan
hanyalah sedikit dukungan dan asistensi Indonesia, dan jika Filipina
dapat mendapatkan dukungan yang lebih luas lagi dari Indonesia. Maka itu
akan semakin lebih baik lagi bagi jaminan probabilitas keberhasilan
Filipna dalam melewati konflik LCS.
Sementara itu tetangga Filipina di sebelah barat yaitu Vietnam juga
mengalami masalah yang kurang lebih serupa, bahkan mungkin lebih
memusingkan. Dalam sejarahnya Vietnam sudah sangat kenyang dengan
pendudukan, invasi dan agresi asing. Kisah perjalanan Vietnam ditulis
penuh dengan cerita ‘perjuangan’ yang heroik dan berdarah darah dalam
upayanya melawan asing, dan melawan China adalah termasuk dalam
rangkaian kisah perjuangannya.
Friksi antara Vietnam – China pertama
kali terjadi pada 1979 ketika Vietnam memutuskan menghukum rezim ‘Pol
Pot’ yang melakukan pembersihan etnis Viet di Kamboja. Rezim Khmer Merah
Kamboja sendiri memiliki hubungan yang dekat dengan RRC, oleh karenanya
Tiongkok merasa perlu mempertahankan sekutunya yang tinggal satu di
Indochina. Selain itu upaya RRC lebih didorong karena rasa sakit atas
tindakan Vietnam yang seperti melupakan segala bantuan Tiongkok pada
perjuangan Vietnam merebut kemerdekaannya dari Perancis. Jadilah aksi
hukum menghukum ini perang besar Indochina ketiga yang berlarut – larut
dari 1979 – 1989.
Secara geografis Vietnam berbagi perbatasan darat dan laut dengan
RRC, menjadikan Vietnam benar – benar bertatapan langsung dengan RRC
dalam konflik LCS. Jika konflik benar – benar meletus maka baku hantam
diantara milliter kedua negara akan terjadi di darat, laut dan udara.
Mesikupun perdamaian antara Vietnam dan RRC telah dicapai pada 1990,
kedua negara masih memendam rasa ketidak percayaan antara satu sama
lain.
Untuk menanggapi perkembangan militer RRC, walaupun secara
terbatas, dalam dua dasawarsa terakhir Vietnam telah melakukan pembelian
alut sista besar besaran pada Rusia. Dari rombongan Su-30 di udara
hingga kawanan kapal selam Kilo Class di laut. Dari jauh hari Vietnam
telah menyadari bahwa dendam berdarah Tiongkok tidak akan hilang begitu
saja melalui sebuah perjanjian damai. Klaim RRC atas LCS yang didasarkan
pada catatan zaman kerajaan ribuan tahun di masa lampau semakin
menguatkan kecurigaan Vietnam.
Sejak digelarnya kebijakan ‘Do Moi’ pada 1986 yang menjadikan sistem
ekonomi Vietnam lebih terbuka dan liberal. Tingkat pertumbuhan ekonomi
Vietnam melonjak drastis hingga menduduki peringkat tertinggi kedua
didunia setelah China.
GDP Vietnam tidak lagi bertumpu pada pertanian
semata, namun telah berkembang pada sektor – sektor industri lainnya
sehingga mengundang arus investasi asing masuk. Indonesia pun tidak
ketinggalan berinvestasi di Vietnam, yang terbaru dan terbesar adalah
pembangunan pabrik semen milik PT.Semen Gresik (persero)Tbk.
Menjadikan
Indonesia sebagai salah satu relasi penting bagi Vietnam dalam kerja
sama ekonomi, dan Vietnam mengapresiasinya dengan menjadikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi kedua selain bahasa Inggris, bahasa
Jepang dan bahasa Mandarin. Lebih jauh lagi hubungan antara Indonesia
dan Vietnam telah terbentuk sejak 1986 dan hingga sakarang Vietnam
memandang Indonesia sebagai “saudara tua” yang dihormati.
Tercapainya
kesepakatan pada 2003 terkait perbatasan bernilai strategis di antara
kedua negara menjadi momentum terbesar hubungan baik Indonesia dan
Vietnam. Namun hubungan yang bersifat khusus seperti dalam bidang
kemiliteran tidak ditemukan jejak yang signifikan diantara kedua negara.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwasanya Vietnam juga mengharapkan
hubungan itu dari Indonesia,..
Salah satu yang patut diperhatikan dalam perindustrian Vietnam adalah
investor asing yang berinvestasi pada industri pertambangan strategis
seperti minyak dan REM, dimana sebagian besar dari sektor strategis itu
digeluti oleh para investor Jepang. Dalam hal ini industri pertambangan
REM adalah yang paling penting dan krusial bagi Jepang sebab bersentuhan
langsung dengan industri elektronik teknologi tinggi di main land
Jepang. REM sendiri adalah bahan baku utama dalam pembuatan chip- chip
komputer.
Dengan banyaknya industri strategis Jepang yang beroperasi di
Vietnam dan sehubungan dengan semakin memanasnya hubungan Vietnam – RRC
terkait LCS. Timbul pertanyaan yaitu, apakah Jepang akan membiarkan
Vietnam jatuh pada RRC dengan resiko kehilangan industri vitalnya? Jika
melihat GDP Vietnam yang baru berkisar pada angka $300 miliar dengan
anggaran pertahanan pada kisaran 2,5% – 3%, lalu menghubungkannya dengan
aktifitas belanja militer Vietnam. Muncul lagi pertanyaan, dari mana
Vietnam mendapatkan dana tambahan belanja militernya?
Sejarah Vietnam yang penuh dengan peperangan melawan asing agaknya
telah terbawa hingga masa kini, ada semacam rasa ketidak percayaan
kepada pihak luar yang kental pada diri Vietnam. Hingga kini tidak
ditemukan aliansi strategis antara Vietnam dan pihak luar, yang ada
hanyalah hubungan kedekatan yang bersifat mutual atau simbolis. Terkait
dengan LCS hampur bisa dipastikan Vietnam akan menolak untuk mendekati
atau didekati oleh Amerika, karena sejarah tidak berbohong dan masih
pula menyisakan luka.
Sementara Rusia sendiriterlihat lebih berpihak
kepada RRC serta memberi kesan kuat ‘cuci tangan’ dari LCS. Maka
sebagaimana Filipina, peluang terbesar Vietnam ada pada kerjasama antar
negara kawasan. Dan meskipun rasa percaya diri Vietnam sangat tinggi,
namun sendirian saja mempertahankan Paracel dari China kecil sekali
kemungkinannya bagi Vietnam untuk berhasil. Mungkin Vietnam harus mulai
belajar menurunkan ambisinya dan bersikap lebih rendah hati, sebab sifat
keras kepala dan harga diri buta tidak akan memberikan apapun.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh Vietnam adalah dengan menarik
pihak luar untuk ikut masuk ke dalam konflik tanpa harus Vietnam sendiri
yang mengundangnya. Yaitu dengan memainkan kartu diplomasi dan
kepentingan ekonomi sebagai alat untuk “memaksakan” bantuan atau dengan
melebarkan skala konflik agar menyebar di seluruh kawasan sehingga
negara kawasan mau tidak mau akan ikut terlibat.
Dengan langkah tersebut
Vietnam akan dapat memaksa pihak ketiga untuk masuk kedalam konflik
tanpa harus membayar ongkos bantuan, dan strategi ini sangat mungkin
dilakukan oleh Vietnam mengingat potensi Vietnam untuk menjadi negara
pertama yang akan terlibat dalam konflik terbuka dengan RRC.
Skenario ini tentu saja akan sangat berdampak pada Indonesia sebab
posisi Natuna yang menjorok ke utara sangat rawan terkena imbas konflik.
Terlebih lagi dengan adanya rencana TNI untuk menempatkan pangkalan
militer di Natuna, satu saja langkah yang salah maka Indonesia akan ikut
berenang dalam riak konflik LCS. Selain menarik Indonesia masuk
kedalam, Vietnam juga dapat menarik Malaysia serta menarik Amerika
melalui Filipina. Dengan melebarkan konflik ke banyak negara maka tidak
akan mudah bagi RRC untuk menduduki LCS tanpa perjuangan, sekaligus
memastikan RRC tidak akan keluar dari LCS tanpa berdarah darah.
Sumber : JKGR
Kl menurut sy kita harus bantu philipina, kasihan dia.. habis itu baru kita invasi malaysia hehehe buat pelajaran..
BalasHapusSaya sangat setuju kita bangun militer yg kuat. Tpi tidak untuk menginvasi negara lain. Masih ada ribuan pulau yg butuh pembangunan dan tentu perlu perlindungan yg kuat. Laut dan udara harus kuat. Ngarep SU-35 dan Kilo/Amur meski baru ngimpi....?
BalasHapus