Senin, Oktober 20, 2014
1
JKGR-(IDB) : Tak terasa, sudah sepuluh tahun Bapak Jend. TNI (Purn.) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden kita dan siang ini akan Lengser keprabon secara TERHORMAT tercatat dilembaran Sejarah Indonesia.


Beliau lahir di Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, Indonesia, 9 September 1949;(umur 65 tahun) dari pasangan Raden Soekotjo dan Siti Habibah. Dari silsilah ayahnya dapat dilacak hingga Pakubuwana serta memiliki hubungan dengan trah Hamengkubuwana II. Beliau adalah Presiden Indonesia ke-6 yang menjabat sejak 20 Oktober 2004. 

Beliau, bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, terpilih dalam Pemilu Presiden 2004 dan berhasil melanjutkan pemerintahannya untuk periode kedua dengan kembali memenangkan Pemilu Presiden 2009, bersama Wakil Presiden Boediono. Sejak era reformasi dimulai, Bpk Susilo Bambang Yudhoyono merupakan Presiden Indonesia pertama yang menyelesaikan masa kepresidenan selama lima tahun dan berhasil terpilih kembali untuk periode kedua dan kembali menyelesaikan masa baktinya selama Lima Tahun.


Bpk Yudhoyono yang dipanggil “Sus” oleh orangtuanya dan populer dengan panggilan “SBY”, melewatkan sebagian masa kecil dan remajanya di Pacitan. Ia merupakan seorang pensiunan militer. Selama di militer beliau lebih dikenal sebagai Bambang Yudhoyono. Karier militernya terhenti ketika ia diangkat Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada tahun1999, dan tampil sebagai salah seorang pendiri Partai Demokrat.


Pangkat terakhir Bapak Susilo Bambang Yudhoyono adalah Jenderal TNI sebelum pensiun pada 25 September 2000. Pada Pemilu Presiden 2004, keunggulan suaranya dari Presiden Megawati Soekarnoputri membuatnya menjadi presiden pertama yang terpilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat Indonesia. Hal ini dimungkinkan setelah melalui amandemen UUD 1945.


Lengser Keprabon

image Lengser keprabon, madeg pandito adalah kata-kata yang populer dari Alm Bapak Suharto saat diucapkan di depan orang-orang Golkar, partai Bpk Suharto sendiri.


Arti lengser keprabon bagi Bpk Suharto adalah mengundurkan diri secara sukarela dari kedudukan presiden. Sedangkan madeg pandito, maksudnya ialah: Sebagai orang tua yang bijaksana, tinggal di sebuah “pertapaan” dan selalu bersedia memberi nasihat kepada siapa pun yang membutuhkan.


Dulu Pak Harto ketika ditanya, mengatakan nanti kalau tidak lagi jadi presiden, akan Madeg pandito ratu, yang kalau diartikan keinginan beliau pensiun untuk menjadi penasehat, pandito atau pendeta adalah tempat memohon nasihat.


Tujuan yang sangat mulia, sayang takdir berkata lain, takdir yang bukan digariskan oleh Tuhan, namun takdir yang diciptakan oleh karma-karma kita sebelumnya. Tidak ada takdir yang tak dapat diubah, semuanya dapat dirubah dengan karma, untuk mendapat takdir yang bagus harus dengan memupuk karma baik yang setara.


Dalam tradisi timur, Seorang Ratu (Raja) setelah masa grahasta (bekuasa/berpolitik) ada step selanjutnya menjadi wanaprasta (bertapa) atau melepaskan ikatan dengan duniawi, setelah dapat lepas dari hal tersebut baru kemudian masuk ke step Sanyasin atau pendeta, di sini tugasnya pendeta hanya melayani masyarakat dengan nasihat-nasihat.


Titik rawannya adalah saat di step wanaprasta, apakah bisa seorang pemimpin (Manusia) meninggalkan ikatan duniawi?


Madeg Pandito Ratu

image Dalam tradisi politik Jawa, Raja adalah pusat segala kekuasaan. Prajurit (tentara) tidak punya kekuasaan politis apa pun karena ia hanya merupakan ubo rampe (pelengkapan) dan pendukung kekuasaan sang raja. Meskipun begitu, mungkin tidak bisa kita mengatakan bahwa tentara mengambil jarak dari kekuasaan. Bagaimanapun, posisi tentara lekat pada, dan memang bagian dari, kekuasaan itu sendiri.


Satu-satunya kekuatan yang jelas mengambil jarak dari kekuasaan cuma seorang Pandito. Strukturnya menjadi jelas: Ratu (raja) berumah di kraton, sedangkan Pandito (empu, resi) berumah di luar Kraton, di luar struktur kekuasaan raja. Dalam batas tertentu, Pandito merupakan Ratu (raja) dalam bentuk dan struktur kekuasaan yang lain.


Oleh karena itu, mereka ogah dikratonkan. Sebab, mereka sudah punya kraton sendiri, yakni padepokan kecil yang dihuni bersama para cantrik. Dengan kata lain, sebagai subordinasi kraton (pusat), padepokan memperoleh porsi kekuasaan justru karena pandito tidak berkuasa secara real.


Wilayah kekuasaan Pandito adalah dunia moral. Sebagai sebuah sistem tersendiri, padepokan punya otonomi penuh. Bagaimana strategi dan cara-cara sang resi memerintah wilayahnya, Raja tak bisa campur tangan. Pendek kata, Pandito merdeka. Bahkan untuk urusan moral, ia adalah raja (panutan) bagi sang raja. Bila kedaulatan pandito dilanggar, suara pandito tak lagi didengar raja, ini pertanda bahwa kraton berada dalam ambang kehancuran.


Dengan kata lain, dunia Pandito dan ratu berbeda. Corak kekuasaan pandito tidak sama dengan kekuasaan Ratu. Pemisahan kekuasaan pandito-ratu adalah ibarat pemisahan badan dari roh. Raja adalah badan. Pandito roh.


Dalam kaitan ini, orang tak bisa mengatakan yang satu lebih penting daripada yang lain. Benar bahwa peran Pandito-Ratu bisa saja hadir dalam satu sosok pribadi yang sama. Namun peran itu harus dijalankan pada waktu yang berbeda. Dalam tradisi Jawa, umumnya penggeseran itu dimulai dari Ratu ke Pandito. Tidak pernah ada presendence yang sebaliknya: seorang Pandito kemudian menjadi Ratu. Yang ada ialah Ratu yang lengser kalenggahan (meninggalkan alam ramai) untuk Mandito (menjadi pandito), dan tinggal di lereng-lereng gunung, bersama para cantrik seperti disebutkan di atas. Resi Begawan Abiyoso, pandito sakti yang membuka padepokan di Sapta Arga, itu dulunya seorang raja agung binatara di Astina.


Transformasi dari ratu ke pandito bukan transformasi psikologis. Ia, dengan kata lain, merupakan sebuah laku batin, ketika kebutuhan untuk hidup asketik dirasa telah tiba saatnya untuk dipenuhi. Laku batin seperti ini lebih merupakan kecenderungan pribadi. Artinya, ia tidak bisa diprogramkan, tidak bisa dimassalkan. Dengan kata lain, ia merupakan sebuah panggilan hati. Dan panggilan seperti itu datangnya selalu kelak, setelah orang menjadi tua, setelah berhenti dari jabatan, setelah jenuh dengan kekuasaan. Atau setelah tak lagi tahan menghadapi kerasnya benturan dalam dunia politik dan kemiliteran.


Ada jadinya motif-motif melarikan diri dari kenyataan itu untuk mencoba hidup dengan selubung roh dan jubah panjang. Namun banyak pula orang yang menempuh hidup asketik sebagai pandito dengan kesadaran bahwa mandito adalah pilihan terbaik. Dan bahwa dengan mandito ia bisa memberikan sumbangan lebih besar bagi masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Menuju Indonesia Jaya


imageIbu Megawati “menyerahkan”kekuasaan kepada orang lain, bukan trah Soekarno, hanya rakyat biasa dari pinggir bengawan Solo, orang itu bernama Bpk Joko Widodo. Bisa diartikan Ibu Megawati begitu menyadari bahwa pada saatnya harus lengser keprabon dan Madeg Pandhito.


Laku madeg Pandito yang dilakukan ibu Megawati, mengingatkan kepada Sosok Ratu Kalinyamat. Seorang Ratu yang mempunyai nama asli Retno Kencono, pernah memimpin Jepara yang berpusat di Kalinyamat. Jepara adalah salah satu daerah kekuasaan Demak. Saat saat terakhir keruntuhan Demak terjadi chaos karena perebutan kekuasaan antara Haryo Penangsang dan Ratu Kalinyamat.


Atas kesadaran penuh, Ratu Kalinyamat meninggalkan segala gemerlap dan kemewahan kerajaan, memilih laku Madeg Pandito yang sangat terkenal dengan sebutan “ Laku Topo Wudo Sinjang Rambut”, di Lereng Gunung Donorojo. Kerajaan Demak dan Jepara diserahkan kepada adik Iparnya bernama Joko Tingkir bergelar sultan Hadi Wijoyo suami Ratu Mas Cempaka, putri ayahnya Sultan Trenggono.


“Laku topo wudo sinjang rambut” adalah Ratu Kalinyamat mengamalkan konsep zuhud dengan penuh ketawakalan dan kesabaran. Dengan keikhlasan yang tulus dan tekat yang kuat Ratu Kalinyamat rela meninggalkan gemerlap kehiduan dunia, melepas segala atribut kebesaran sebagai seorang ratu menjadi seorang pertapa dan melepas semua kemewahan dunia fana dalam Rangka memohon pertolongan kepada Allah.


Madeg pandhito adalah kebiasaan raja raja Jawa ketika sudah sepuh. Biasanya mereka mewariskan kerajaan kepada putera mahkota kemudian pergi meninggalkan kerajaan, menyendiri bertapa di sebuah kuil yang dibangun dilereng gunung, untuk konsentrasi memohon kepada Allah.


Jika Ratu Kalinyamat memilih menyerahkan kekuasaan Demak dan Jepara kepada JOKO TINGKIR maka Ibu Megawati memilih menyerahkan Kekuasaan Pemerintahan Indonesia kepada Bpk JOKO WIDODO.


Joko Tingkir berhasil mengendalikan chaos di Demak dengan menumpas Haryo penangsang. Kemudian Joko Tingkir memindahkan ibukota Demak ke Pajang dan menjadi raja dengan gelar Sultan Hadi Wijoyo.


Mungkinkah jalan Pak Joko Widodo akan seperti Joko Tingkir yang sukses mengemban amanah Ratu Kalinyamat “ Ratu yang Madeg Pandito” ? Semoga …


Semoga Bapak Joko Widodo dijadikan sebagai Pemimpin yang amanah setelah menjadi Presiden RI. Dan Dibimbing oleh Ibu Megawati dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono setelah Madeg Pandito dan dibimbing oleh Pandito lainnta dan diimbangi oleh Peran Pak Prabowo Soebianto sebagai penyeimbang di luar Pemerintahan untuk menuju Indonesia Jaya Amin.



Sumber : JKGR

1 komentar:

  1. Dilihat ya website kami :http://www.3teria.com/

    dan fanpage kami : https://www.facebook.com/pages/3teria/763405933747637

    BalasHapus