Selasa, April 15, 2014
0
JAKARTA-(IDB) : Sebuah laporan dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang dirilis pada Senin, 14 April 2014, menyebutkan bahwa total belanja militer dunia telah turun setidaknya 1,9 persen dibandingkan tahun lalu.

Dikutip dari Al Jazeera, menurut data SIPRI, total belanja militer dunia mencapai US$ 1,75 triliun. Penurunan ini terutama terjadi karena pemotongan pengeluaran Amerika Serikat 7,8 persen dan penghematan belanja militer yang dilakukan Eropa.

Namun demikian, AS masih menyumbang 37 persen dari keseluruhan pengeluaran militer dunia. Menurut lembaga ini, AS telah mengeluarkan dana US$ 640 miliar untuk belanja militer, diikuti oleh Cina US$ 188 miliar, Rusia US$ 87,7 miliar, dan Arab Saudi US$ 67 miliar.

Mengomentari hal ini, Direktur SIPRI Sam Perlo-Freeman menilai besarnya dana yang dianggarkan untuk militer merupakan pemborosan pendapatan sumber daya alam, pendominasian rezim-rezim otokratis, dan memicu perlombaan senjata regional.

Sementara anggaran militer AS dan Eropa menurun, anggaran militer yang dikeluarkan negara-negara Timur Tengah dan Afrika justru meningkat. Secara keseluruhan, pengeluaran militer Timur Tengah meningkat 4 persen dan Afrika meningkat 8,3 persen pada tahun 2013.

Belanja Militer Arab Saudi Membengkak

Pengeluaran belanja militer negara-negara Timur Tengah terus meningkat, tak terkecuali Arab Saudi. Menurut Stockholm International Peace Research Institute, belanja militer Saudi telah menjadi anggaran terbesar keempat di dunia.

Menurut laporan Al Jazeera, Senin, 14 April 2014, Saudi telah menghabiskan anggaran sebesar US$ 67 miliar. Angka ini naik 14 persen dibandingkan tahun 2012 lalu sehingga Saudi kini menempati posisi keempat sebagai negara dengan anggaran militer terbesar setelah Inggris, Jepang, dan Prancis.

Adapun negara dengan anggaran militer terbesar adalah Amerika Serikat (US$ 640 miliar), Cina (US$ 188 miliar), dan Rusia (US$ 87,7 miliar).

Secara keseluruhan, pengeluaran Timur Tengah untuk militer telah meningkat 4 persen pada tahun 2013 menjadi US$ 150 miliar. Peningkatan terbesar dilakukan oleh Bahrain yang mencapai 26 persen dan Iran yang mencapai 27 persen.

Belanja Militer Asia Dan Afrika Naik Tajam

Laporan terbaru menunjukkan belanja militer sejumlah negara, termasuk Rusia dan Cina, meningkat tajam. Tren sama terlihat di Afrika dan Timur Tengah, di mana minyak dan gas mendorong investasi.

Total belanja militer global mencapai 1,7 triliun Dolar pada tahun 2013, turun hampir 2 persen dari tahun sebelumnya. Meski nilai investasi angkatan bersenjata turun secara keseluruhan, ini bukan berarti tanda perlambatan pengembangan militer global, demikian ditekankan Institut Riset Perdamaian Internasional di Stockholm (SIPRI) hari Senin (14/04/14).

Menurut laporan terbaru keluaran SIPRI, penurunan 2 persen diakibatkan perubahan anggaran militer Amerika Serikat, negara dengan anggaran belanja militer terbesar di dunia. Pemotongan anggaran Washington berujung pada penurunan sebesar 7,8 persen dari tahun sebelumnya, turun menjadi 640 miliar Dolar. Penarikan pasukan dari Irak dan berkurangnya operasi di Afghanistan juga berperan dalam berkurangnya anggaran AS.

Sementara, anggaran belanja militer Cina, Rusia dan Arab Saudi melonjak antara tahun 2012 dan 2013. Beijing menginvestasikan 7,4 persen lebih bagi militernya, membawa angka total anggaran menuju 188 miliar Dolar. Arab Saudi naik dari peringkat tujuh menjadi peringkat empat di tingkat global. Tahun 2013, pengeluaran militer Arab Saudi menjadi 67 miliar Dolar, naik 14 persen dari tahun sebelumnya.

Laporan ini mendasarkan angka-angkanya dari pembelian senjata dan alat militer, juga biaya upah serta operasi militer.

Asia - Afrika Memimpin

Perancis, Inggris, Jerman, Jepang, India dan Korea Selatan juga berada di peringkat teratas. Laporan SIPRI juga memperlihatkan penguatan belanja militer di Afrika, Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dan Timur Tengah seraya negara-negara barat mengurangi pengeluaran. Kepala program belanja militer SIPRI, Sam Perlo-Freeman, mengatakan ada lebih dari satu faktor penyebab.

"Dalam sejumlah kasus, penyebabnya cukup alamiah yakni pertumbuhan ekonomi atau bentuk respon terhadap kebutuhan keamanan," jelas Perlo-Freeman. "Dalam kasus lain, ini menandakan pemborosan hasil pemasukan sumber daya alam, dominasi rezim otoriter atau lomba persenjataan di tingkat regional."

Afrika - dipimpin oleh negara-negara kaya minyak dan gas bumi seperti Aljazair dan Angola - memimpin dari kawasan lain pada tahun 2013 dengan total kenaikan pengeluaran sebesar 8,3 persen dari tahun sebelumnya. Sementara Asia, seiring penguatan militer Cina, ditambah perebutan wilayah dengan negara-negara tetangga, mendorong Jepang, Filipina dan Vietnam ikut belanja lebih.

Rusia Lampaui AS

SIPRI menaruh Rusia di peringkat tiga, menginvestasikan persentase yang lebih besar dari GDP atau produk domestik bruto-nya bagi militer tahun 2013, mengalahkan AS untuk pertama kalinya dalam sedekade terakhir. Moskow menghabiskan 4,1 persen dari GDP untuk angkatan bersenjatanya, sedikit lebih banyak dari Washington yang mengeluarkan 3,8 persen dari GDP untuk sektor yang sama.

Namun kepala program belanja militer SIPRI Perlo-Freeman mengingatkan bahwa melambatnya pertumbuhan ekonomi dapat membalikkan tren ini.

"Target membangun kemampuan militer semakin dipandang mendesak oleh Moskow sejak Perang Georgia tahun 2008, yang menguak kekurangan serius pada teknologi dan kesiapan militer Rusia," ungkapnya.

"Namun ekonomi adalah faktor kunci, terutama menyangkut harga minyak dan gas bumi," tambahnya. "Banyak pengamat yakin bahwa Rencana Persenjataan Negara di Rusia didasarkan pada proyeksi ekonomi yang terlalu optimis, sehingga faktor ini dapat menghambat laju peningkatan belanja militer."

Pengerahan pasukan oleh Moskow di sepanjang perbatasan dengan Ukraina menimbulkan kekhawatiran pemimpin negara-negara barat, yang berupaya meredam ketegangan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemerintahan transisi di Kiev. Laporan SIPRI mencatat bahwa ancaman agresi militer Rusia juga dapat mempengaruhi belanja militer Uni Eropa, yang selama ini menurun akibat krisis zona Euro.




Sumber : Tempo

0 komentar:

Posting Komentar