Jumat, November 22, 2013
5
SIDNEY-(IDB) : Menteri Imigrasi Australia, Scott Morrison yakin usahanya dalam menghalangi imigran gelap tetap berjalan tanpa bantuan Indonesia. Menurutnya, sistem yang dibangun oleh kementeriannya tidak bergantung pada kerjasama dengan negara lain.


Dalam pidato mingguannya, Jumat (22/11), Morrison mengakui peran besar Indonesia dalam menghalau imigran gelap yang ingin masuk ke Australia melalui jalur laut atau yang dikenal dengan istilah 'manusia perahu'. Ia menegaskan bahwa Australia akan selalu berterimakasih dan mendukung Indonesia atas usahanya tersebut.


Ia pun percaya kerjasama yang terbangun selama ini saling menguntungkan kedua negara. "Tapi saya hanya ingin menegaskan bahwa operasi kami dirancang untuk tidak bergantung pada satu tolak ukur atau satu mitra saja," kata Morrison seperti dilansir dari The Australian, Jumat (22/11).


Pernyataan ini dilontarkannya menanggapi keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan kerjasama dengan Australia terkait pencegahan penyelundupan manusia (people smuggling). Sejak September tahun ini, sekitar 1.150 manusia perahu telah dicegah menyebrang ke Australia. Sebagian besar pencari suaka tersebut ditangkap oleh kepolisian Indonesia.


Berdasarkan pengalaman sebelumnya, akhir tahun selalu menjadi puncak kedatangan imigran gelap. Menurut Morrison, November tahun lalu tercatat 2.630 imigran masuk ke Negeri Kanguru itu.

Namun, ia tetap yakin mampu mengatasi masalah tersebut tanpa Indonesia. "Percayalah kami akan melawan, menghentikan para penyelundup di setiap titik mulai dari asal sampai tujuan," tegasnya.

Pemerintah Tak Perlu Cegah Pencari Suaka ke Australia

Aparat kepolisian serta aparat Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tak perlu mencegah atau menangkap imigran gelap pencari suaka yang akan menuju Australia sebagai implementasi perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan melepas para pencari suaka yang ditahan di rumah tahanan Imigrasi dan memfasilitasi meninggalkan Indonesia. 

Demikian diungkapkan Wakil Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Choirul Anam dan Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, di Jakarta, Kamis (21/11/2013). ”Dengan penghentian kerja sama penanganan imigran gelap itu, aparat biarkan saja orang-orang (imigran gelap) yang memiliki hak untuk menentukan tujuan akhir,” kata Choirul. 

Selama ini, menurut Choirul, aparat kepolisian atau Imigrasi mencegah atau menangkap imigran gelap ke Australia atas dasar kerja sama dengan Australia. Seperti diberitakan, sebelum ada penjelasan resmi atas kasus penyadapan Australia terhadap para pejabat tinggi Indonesia, termasuk Ibu Negara, Presiden Yudhoyono memutuskan menghentikan sementara kerja sama intelijen dan militer, termasuk penanganan imigran gelap ke Australia. 

Hendardi menambahkan, pemerintah bahkan perlu melepaskan para imigran gelap itu dari tahanan. Menurut dia, keberadaan mereka di tahanan Imigrasi selama ini menjadi beban Pemerintah Indonesia dan menimbulkan dampak sosiologis. 

Waspadai Hibah
 
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, di Jakarta, Kamis, menyerukan agar Indonesia mengevaluasi dan menghentikan sejumlah hibah luar negeri yang terkait dengan dukungan teknologi informasi, terutama hibah dari Australia, karena semua itu membuat Indonesia rentan penyadapan. 

Ray mencontohkan, sejak Pemilu 1999, lembaga donor Australia gencar memberikan donasi untuk keperluan pemilu. Ray mengatakan, dana-dana asing itu melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang awalnya dimaksudkan untuk mendanai sistem teknologi informasi (TI) Komisi Pemilihan Umum (KPU). ”Kita menolak pihak asing yang mengelola TI KPU, kita curiga mengapa mereka ngotot ingin mengurus TI pemilu kita?” katanya. 

Menurut peneliti politik Burhanuddin Muhtadi, yang sedang menyelesaikan studi doktornya di Australian National University (ANU), masyarakat dan partai-partai politik di Australia saat ini terbelah dalam menyikapi skandal penyadapan ini. 

”Sampai sekarang, rakyat Australia masih terbelah soal perlunya meminta maaf kepada Indonesia atau tidak terkait dengan penyadapan intelijen negara itu. Begitu juga dengan partai politik di parlemen,” kata peneliti politik yang baru saja tiba dari Australia, di Jakarta, kemarin.

Pemimpin oposisi Australia, Bill Shorten, mengatakan, Pemerintah Australia seharusnya mempertimbangkan cara Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang segera melakukan kontak pribadi dengan Kanselir Jerman Angela Merkel saat penyadapan terhadap telepon pribadi Merkel terungkap. 

Sikap Australia yang tak sesuai harapan Indonesia tersebut diperkeruh dengan pernyataan penasihatnya, Mark Textor, yang kicauannya di Twitter dinilai menghina Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang disebut mirip bintang film porno. 

Marty menyatakan hinaan atas dirinya tersebut merupakan bentuk keputusasaan Australia. ”Bobot pernyataan seperti itu tidak perlu ditanggapi. Itu menunjukkan keputusasaan mereka,” ujar Marty, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis.

Polri Hentikan Kerja Sama 'People Smuggling' Dengan Australia



Kepolisian RI menghentikan kerja sama penanganan people smuggling (imigran gelap) dengan Australia sebagai respons atas penyadapan Negeri Kanguru itu terhadap Presiden RI dan sejumlah orang dekatnya. 


Hal itu disampaikan Kepala Kepolisian Jenderal Sutarman di Markas Kepolisian Daerah Bali, Jumat 22 November 2013. "Kita harus hentikan dulu sementara sambil menunggu keputusan lebih lanjut," kata Sutarman. 



Penghentian kerja sama itu, lanjut Sutarman, merupakan tindak lanjut kebijakan Presiden.



Jenderal Sutarman mengatakan bahwa kebijakan menyikapi kemelut soal penyadapan oleh Australia itu sudah jelas disampaikan presiden. 

"Data tentang penyadapan tidak ada di kami. Tetapi, kebijakan tentang penyadapan yang disampaikan oleh presiden sudah jelas," kata dia.



Kendati begitu, Sutarman mengakui jika institusinya memiliki kerja sama di bidang lain dengan Australia seperti pendidikan dan pelatihan. 
"Kerja sama lain seperti pendidikan dan pelatihan tidak mungkin kita hentikan," ujarnya.


Kerja sama lain antara Autralia dan Polri saat ini adalah berupa peralatan dan perlengkapan milik Polri. Barang-barang tersebut adalah Jakarta Center for Law Enforcement (JCLEC) yang terletak di Semarang. Program penanggulangan trans national crime, trafficking in person, dan terorisme, semua itu dibantu oleh Australia.


Polri dan Australian Federal Police (AFP) juga memiliki program pelatihan dan dukungan laboratorium cyber crime Bareskrim dan laboratorium DNA di Cipinang guna pengungkapan kasus.




Sumber : JPNN

5 komentar:

  1. Saya jadi bingung soal IMIGRAN GELAP ini ,,,,

    Bangsa AUSTRALIA yang asli itu seharusnya adalah BANGSA ABORIGIN !!!
    Yang Imigran GELAP itukan nenek moyangnya TONI ABBOT ??? benar nggak??
    Jadi sebenarnya pengungsi dari AFGANISTAN dan dari IRAK yang ke AUSTRALIA itu statusnya sama dengan bangsanya TONI ABBOT ??? benar nggak ???

    Ya memang seharusnya kita batalkan kerja sama dengan si TONI ABBOT ,,, kita seharusnya bekerja sama dengan Bangsa Australia yang ASLI yaitu dengan Bangsa ABORIGIN untuk menangani IMIGRAN GELAP yaitu dari Irak, Afgan, Srilangka, Somalia dandari asalnya neneknya TONI ABBOT ,,,, benar nggak ???

    BalasHapus
  2. Betuh tuh!!, imigran skrg dilepas ajah, apa untungnya jg nangkapin imigran ke ausie imbalannya hibah malah disadap, chckck, kasihan indonesiaku!! ausie yg kau anggap teman malah tdk menganggapmu musuh, tapi rusky disana adalah teman yang cocok untukmu. ausie? buang ke tong sampah!!...

    BalasHapus
  3. mereka sudah nantang , meraka bilang tampa indonesia bisa menangani pengungsi . kita indonesia sekali kali musti prihatin bantu pengungsi bikin iklan di pakistan afganistan atau irak , hidup layak dan layak huni pulau australia bangsa indonesia siap bantu lewat jalur laut hanya 30 mennit sajaa.... pasti ampun ampun aparat penjaga pantai ausi kedatangan jutaan pengungsi manusia perahu .iyaa...toh !

    BalasHapus