JAKARTA-(IDB) : Untuk memperkuat dan memodernisasi pertahanan serta teknologi alat utama
sistem senjata (Alutsista) yang dimiliki TNI, pemerintah terkendala
masalah anggaran yang dinilai masih jauh dari ideal. Khusus untuk TNI
AU, harus diakui pembangunan pertahanan matra udara ini ini cukup
tertinggal, baru dimulai ketika Indonesia membeli pesawat tempur Sukhoi
Su-30 dari Rusia.
Sejujurnya, TNI AU baru membangun kekuatannya ketika membeli sukhoi. Bicara apa yang dilakukan TNI AU lebih kepada bagaimana mengidealkan apa yang sudah ada, yang sudah tidak dipakai dihapus, baru mengembangkan alutsista dalam konteks yang lebih luas. Menurut analisa saya, ini hanya kepada masalah anggaran, ungkap pengamat pertahanan Muradi, ketika dihubungi itoday, Rabu (2/1).
Untuk itu, disahkannya Undang-Undang Industri Pertahanan menurut Muradi menjadi titik awal yang cukup baik. Sebab dengan adanya Undang-Undang Industri Pertahanan, TNI memiliki dasar pijakan yang lebih kuat untuk pengajuan penguatan agar menjadi yang lebih baik.
Sedangkan mengenai adanya kekhawatiran perubahan kebijakan bidang pertahanan pasca 2014 nanti, dosen FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini menilai, tetap optimis. Pasalnya, hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
Tidak cuma di Indonesia, di negara manapun pasti terjadi, seperti di Australia ketika partai buruh yang menang, maka anggaran pertahanan seret, jelasnya.
Untuk itu, Muradi menekankan pentingnya keberadaan roadmap pertahanan, bagaimana road map pertahanan bisa dijadikan sebagai eksistensi Indonesia di Asia Tenggara.
Saya rasa ini adalah masalah bagaimana pimpinan politik Indonesia bisa dipengaruhi oleh road map pertahanan. Jika sudah memiliki road map, maka tidak akan jadi masalah, ujarnya.
Menurut saya pribadi, memang harus ditegaskan, dimana kemenhan tidak lagi menunggu lampu hijau politik, tetapi harus berani menyodorkan roadmap langkah-langkah modernisasi pertahanan. Dengan adanya UU Industri pertahanana dan nantinya jika RUU Kamnas disahkan, maka memperkuat roadmap, dan pembangunan pertahanan Indonesia tidak lagi tambal sulam tapi harus bersifat integrastif, tambah Muradi.
Sejujurnya, TNI AU baru membangun kekuatannya ketika membeli sukhoi. Bicara apa yang dilakukan TNI AU lebih kepada bagaimana mengidealkan apa yang sudah ada, yang sudah tidak dipakai dihapus, baru mengembangkan alutsista dalam konteks yang lebih luas. Menurut analisa saya, ini hanya kepada masalah anggaran, ungkap pengamat pertahanan Muradi, ketika dihubungi itoday, Rabu (2/1).
Untuk itu, disahkannya Undang-Undang Industri Pertahanan menurut Muradi menjadi titik awal yang cukup baik. Sebab dengan adanya Undang-Undang Industri Pertahanan, TNI memiliki dasar pijakan yang lebih kuat untuk pengajuan penguatan agar menjadi yang lebih baik.
Sedangkan mengenai adanya kekhawatiran perubahan kebijakan bidang pertahanan pasca 2014 nanti, dosen FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini menilai, tetap optimis. Pasalnya, hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
Tidak cuma di Indonesia, di negara manapun pasti terjadi, seperti di Australia ketika partai buruh yang menang, maka anggaran pertahanan seret, jelasnya.
Untuk itu, Muradi menekankan pentingnya keberadaan roadmap pertahanan, bagaimana road map pertahanan bisa dijadikan sebagai eksistensi Indonesia di Asia Tenggara.
Saya rasa ini adalah masalah bagaimana pimpinan politik Indonesia bisa dipengaruhi oleh road map pertahanan. Jika sudah memiliki road map, maka tidak akan jadi masalah, ujarnya.
Menurut saya pribadi, memang harus ditegaskan, dimana kemenhan tidak lagi menunggu lampu hijau politik, tetapi harus berani menyodorkan roadmap langkah-langkah modernisasi pertahanan. Dengan adanya UU Industri pertahanana dan nantinya jika RUU Kamnas disahkan, maka memperkuat roadmap, dan pembangunan pertahanan Indonesia tidak lagi tambal sulam tapi harus bersifat integrastif, tambah Muradi.
Sumber : Itoday
Bukan hanya masalah anggaran saja yang jadi kendala, namun kita juga belum punya industri pendukung industri Alutsista. Contoh kecil pabrik ban pesawat, ban panser, bahkan paku rivet pesawat saja masih impor.
BalasHapusjangankan Indonesia
BalasHapusspanyol yg punya air bus aja masih impor komponen akar sayap dan sayap pesawat dari PIDI
ban pesawat, kepala pesawat impor german
di spanyol hanya membuat rangka badan saja
semua gk mesti ada pabriknya gan
pembangunan pesawat kita masih itunggan jari per tahun
gk kayak boeng bisa puluhan per tahun
ya kagak ape2 kalo emaang beneran buat alutista mah asal jangan anggaran dibeliin mobil dinas mewah aje...kacian wajib pajak rakyat kecil ya gaji kecil & kagak punya remunerasi
BalasHapus