JKGR-(IDB) : Di tengah-tengah memanasnya suhu politik di Laut China Selatan, tiba-tiba saja Jepang membuat gebrakan dengan membeli sekelompok pulau yang tengah disengketakan dengan China. Pemerintah Jepang membeli tiga dari lima pulau di gugusan Senkaku yang selama ini disewa dari Keluarga Kurihara, seharga 26 juta dolar AS. Keluarga Kurihara membeli pulau yang tidak berpenghuni ini pada tahun 1972 dari keluarga Jepang lainnya.
Pemerintah China langsung bereaksi keras. Presiden China Hu Jintao memperingatkan pembelian tiga pulau itu oleh Jepang bersifat ilegal. Bahkan Perdana Menteri Wen Jiabao menegaskan tidak akan membiarkan sejengkalpun tanah Diayou yang kaya sumber daya alam dan gas bumi, lepas ke negara lain.
“Pulau ini bagian yang melekat pada China dan ini masalah kedaulatan wilayah”, ujar Perdana Menteri China. Untuk itu pemerintah China mengirim kapal patrolinya.
Tahukah anda, apa reaksi Jepang atas gertakan China tersebut ?. Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda, dengan dinginnya mengatakan: “Kekuatan militer China di wilayah sengketa adalah tantangan yang harus dihadapi”.
Tentu China tidak menyangka respon dari Jepang seberani itu. Dengan kata lain Jepang telah bersiap untuk merespon dan memukul kekuatan militer China jika masuk ke gugus kepulauan Senkaku, China menyebutnya Diayou.
Sebagai seorang bushido, ucapan PM Jepang Yoshihiko Noda tentu bukan hanya gertak sambal. Militer Jepang pun tidak ragu ragu menangkap sekelompok aktivis China yang mendarat di pulau sengketa tersebut.
Kini bola berada di tangan China. Sejauh mana kapal patroli mereka berani mengganggu gugus kepulauan Senkaku.
Saya sedang membayangkan. Kapan militer Indonesia bisa berbicara segagah Jepang, saat wilayah NKRI diklaim atau diganggu oleh negara lain. Nyali besar seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, tentu harus didukung oleh kemampuan militer yang kuat.
Jika tidak, nasibnya akan seperti Filiphina yang bersengketa dengan China di laut China Selatan atas pulau / gugusan karang Karang Scarborough.
Awalnya militer Filipina menangkapi nelayan China yang melaut di sekitar Karang Scarborough. Namun tindakan itu direspon China dengan mengirim gugusan kapal perang yang besar dan membuat militer Filiphina mundur. “Mereka benar-benar ingin menguji apa sebuah negara kecil seperti Filipina dapat melawan negara raksasa,” ujar Mayor Ego Loel tak berdaya.
Kisah konflik Filiphina – China mirip konflik Jepang – China, namun berakhir berbeda. Hal itu menunjukkan tindakan militer atau aksi militer sebuah negara harus disesuaikan dengan kemampuan militer mereka, jika tidak mau konyol atau dipermalukan oleh negara lain.
Lalu apa yang terjadi akibat konflik antara Jepang dan China ?
Amerika Serikat meminta China dan Jepang untuk tidak meningkatkan ketegangan menyangkut sengketa kepulauan yang diklaim kedua negara, dan memperingatkan ketegangan antara kedua negara itu akan berdampak pada global.
“Ini adalah arena ekonomi global dan pertikaian jangan diperbesar. Semua pemimpin harus mencurahkan perhatian secara jujur,” ujar Asisten Menlu AS Kurt Campbell di Washington.
“Kita memiliki banyak pilihan dalam mempertahankan perdamaian dan stabilitas. Kita yakin bahwa dialog damai dan pemeliharaan perdamaian. Stabilitas adalah sangat penting terutama dalam situasi kini.”
AS mengatakan pihaknya tidak akan berpihak dalam sengeketa wilayah itu, kendatipun Jepang satu sekutu dekat mereka.
Walaupun diperingatkan oleh AS, namun China tetap saja bergerak. Selasa 11 September 2012, dua kapal pengintai China mulai berada di sekitar Pulau Diaoyu, yang disengketakan dengan Jepang.
Sumber dari China Marine Surveillance (CMS) mengatakan keberadaan dua kapal itu untuk menjaga kedaulatan China di sekitar wilayah tersebut, sekaligus mengantisipasi berbagai kemungkinan menyusul pernyataan Pemerintah Jepang, yang membeli pulau tersebut.
Sikap China ini langsung direspon oleh Jepang. Rabu 12 September 2012, Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda memerintahkan Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) untuk sepenuhnya siap menghadapi keadaan darurat, terutama terkait dengan masalah sengketa pulau dengan China.
Noda meninjau penjaga kehormatan JSDF di dalam Departemen Pertahanan, dan kemudian menghadiri pertemuan komandan senior JSDF, didampingi Menteri Pertahanan Satoshi Morimoto. Noda menyampaikan pidato kepada sekitar 180 komandan senior JSDF pada pertemuan tersebut.
Dalam pidato itu, Noda mengatakan ketidakpastian atas lingkungan keamanan di sekitar Jepang meningkat ke peringkat tertinggi karena aktivitas militer negara-negara di sekitarnya, termasuk Korea Utara, China dan Rusia, menjadi lebih aktif, sehingga JSDF harus memantau dan menganalisis negara-negara itu dengan ketat. Dia terutama menyebutkan bahwa China telah semakin aktif di laut sekitarnya.
Kini situasi konflik di pulau Senkaku memasuki titik terpanas. Jepang siap merespon segala tindakan dari militer China, jika menganggu atau memasuki gugus kepulauan Senkaku. Semoga tidak terjadi perang China dan Jepang yang notabene kekuatan ekonomi kedua dan ketiga di dunia. Jika perang terjadi, sudah pasti imbas ekonomi akan dirasakan oleh seluruh dunia.
Terlepas persoalan konflik itu, gaya Jepang dalam merespon ancaman China terlihat cool dan keren. Semakin keren dan berwibawa karena Jepang tidak mencoba menarik-narik atau melibatkan Amerika Serikat dalam konflik (seperti yang biasa dilakukan Israel). Jepang memilih tampil tegak berdiri di kaki sendiri.
Sumber : JKGR
Ketegasan pemimpin suatu negara memang harus ditujukkan walo di wilayah sengketa sekalipun. Fakta kenunjukkan sikap pemimpin yg lunak dan se-akan2 bijaksana justru menjadikan keadaan semakin merugikan, spt. munculnya pelanggaran wilayah, pelecehan harga diri, dll.
BalasHapusdalam konteks ini ketegasan pemimpin saja tidak cukup, harus di ikuti dengan pembangunan militer yang kuat. tanpa militer yang kuat dan peralatan tempur yang kuat, ketegasan pemimpin cuma dianggap angin lewat oleh negara yang bersengketa
BalasHapus