Rabu, April 25, 2012
0
Surutnya Pamor AS di Asia Pasifik

JAKARTA-(IDB) : Dalam sepuluh tahun ke depan, Amerika Serikat (AS) merencanakan pengurangan anggaran pertahanan dan keamanannya sekitar US$500 miliar. China melihatnya sebagai kemunduran AS di Asia. Mengapa?

Pemerintahan Presiden Barack Obama sudah menegaskan untuk berkomitmen mempertahankan kredibilitas militer AS di Asia-Pasifik, dan 2.500 marinir AS sudah ditempatkan di Australia, sementara AS juga meningkatkan postur militernya di Filipina.

Namun Beijing menilai, dengan kemerosotan ekonomi AS, maka kekuatan militer Washington di Asia-Pasifik bakal terus mengalami penurunan secara relatif, sehingga ada peluang bagi China untuk memperbesar pengaruh dan proyeksi kekuatan militernya di Asia.

Bahwa kebangkitan ekonomi China dan meningkatnya kekuatan militer Beijing yang sudah lama diperkuat dengan senjata nuklir, makin membuat RRC lebih asertif dan percaya diri. Di Asia selatan, India dan Pakistan terus bersaing, begitu juga India dan China, dua kekuatan besar yang memperlihatkan rivalitas sengit di Asia.

Program nuklir Pakistan memperoleh dukungan dari China, sementara Pakistan juga merupakan sekutu AS dalam menjaga stabilitas dan memerangi terorisme di kawasan Asia Selatan, dimana Afghanistan masih menjadi masalah keamanan regional.

‘’Melihat dinamika di Asia-Pasifik, sungguh kehadiran AS di kawasan Asia Pasifik sangat penting dan krusial,’’ kata Prof Neil Joeck di Universitas California Berkeley pekan lalu.

Persoalan keamanan di Asia makin sensitif sebab ada kecenderungan kuat bahwa dalam waktu dekat, demikian Dr. Jia Xiudong dari China Institute of International Affairs, Taiwan akan menjadi sasaran berikut untuk ditekanBeijing agar mau reunifikasi.

Setelah Hong Kong, giliran Taiwan menjadi target dalam waktu dekat bagi Beijing yang sudah lama mengincar Taiwan agar berada di bawah kendali kekuasaan RRC. ‘’Beijing melihat AS bersikap ambigu dalam upaya mencegah Beijing untuk mengambil alih Taiwan,’’ ungkap Jia Xuidong.

Tak mengherankan jika China terus memperkuat militernya untuk mengambil alih Taiwan dalam orbit kekuasaan dan kedaulatannya. Berdasar studi SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute, 2010), China merupakan negara Asia dengan anggaran militer terbesar.

Pada 2000, militer China menghabiskan US$90 miliar dan pada 2010, meningkat menjadi US$120 miliar dengan 2,3 juta tentara. Angkatan daratnya merupakan kekuatan paling besar di dunia. Tahun ini anggaran militer Beijing mencapai US$160 miliar. 

Kenaikan anggaran militer Chian telah mempengaruhi tata tertib regional Asia Timur dan berdampak pada keamanan Jepang, demikian laporan Japan Ministry of Defence. Pada 2010, Jepang melaporkan bahwa RRC meningkatkan intensitas aktivitas militernya di perairan dekat Jepang dan Tokyo mengungkapkan keprihatinan atas kurangnya transparansi mengenai strategi pertahanan nasionalnya dan kurangnya transparansi aktivitas militer Beijing di kawasan Asia timur.

Pada September 2010 terjadi ketegangan antara China dan Jepang atas Kepulauan Senkaku/Diaoyu yang menyingkapkan potensi konflik kedua negeri bertetangga ini. Pada September 2010 itu Tokyo menahan seorang kapten kapal RRC di ibukota Okinawa, Naha, dengan tuduhan kapten kapal Bejing itu melanggar kedaulatan hukum Jepang.

Namun Beijing menuntut pembebasannya, dengan cara menyerang balik yakni menangkap empat karyawan Fujita Corporation di Provinsi Hebei, China, dan malah dalam lawatan Perdana Menteri Wen Jibao ke New York, ia menegaskan China akan mengambil langkah lebih lanjut terhadap Jepang jika Tokyo tidak membebaskan kapten kapal tersebut (BBC News,2010). Jepang akhirnya membebaskan kapten kapal China itu.

Tindakan China itu menimbulkan dua dampak terhadap Jepang yakni: Pertama, Tokyo mengumukan Haluan Pertahanan Baru pada Desember 2010 sebagai respons atas meningkatnya anggaran militer China dan kiprahnya di kawasan.

Kedua, Jepang memutuskan untuk lebih erat bekerjasama dengan AS, dimana Jepang kemudian menegaskan bahwa merupakan hubungan bilateral dengan AS paling penting untuk menjamin keamanan Jepang, dan kehadiran militer AS di Jepang menjadi sangat diperlukan, dan Jepang harus mematuhi Perjanjian Keamanan AS-Jepang (Mainichi Daily News, 2011).

Di dekat Selat Taiwan, ternyata China mengembangkan armada laut yang diperkuat dengan kapal selam yang memiliki jarak tembak 2100 Km sehingga mampu memberlakukan strategi ‘’anti-access area denial’’ , suatu strategi penolakan dan penangkalan terhadap kehadiran militer AS, yang memaksa marinir/AL AS berada di luar kawasan Selat Taiwan dan Pasifik Barat jika terjadi aksi militer China atas Taiwan.

China juga mencegah AL AS dari operasi dekat Taiwan dan akan mencegah dukungan kekuatan laut AS bagi Jepang jika terjadi benturan militer Jepang-China (Japan Times, 2008).

Surutnya kehadiran militer AS di Asia seiring menurunnya ekonomi AS, telah membuka peluang dan ruang bagi RRC bermanuver dan bergerak lebih leluasa di Asia, seirama dengan menguatnya ekonomi China. 

Sumber : Inilah

0 komentar:

Posting Komentar