JAKARTA-(IDB) : Pemerintah Indonesia tidak mempermasalahkan rencana penempatan pesawat pengintai jarak jauh (drone) Amerika Serikat di Australia. Penambahan kekuatan militer itu dinilai bukan ancaman bagi kedaulatan Indonesia.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Hartind Asrin menegaskan, penempatan drone AS di Kepulauan Cocos, Australia, tidak berpengaruh pada Indonesia. Meski secara jarak berdekatan, hal tersebut bukan berarti kedaulatan bangsa terancam. ”Itu merupakan keputusan diplomatik antara Australia dan AS. Karena berada di luar wilayah RI, tentu bukan hak kita untuk campur tangan.
Tidak ada pengaruhnya itu,” kata Asrin di Jakarta kemarin Rencana penambahan kekuatan militer AS di Australia bukan sekali terjadi.Sebelumnya negara adidaya itu berencana menempatkan personel marinir di Darwin.Ketika itu, Indonesia juga merespons dengan menyatakan rencana tersebut bukan sebuah ancaman bagi kedaulatan RI. Kendati demikian,Asrin sepakat perlu ada peningkatan kekuatan intelijen untuk mengantisipasi segala kemungkinan.
”Itu memang demikian. Intelijen harus selalu waspada,”sebut dia. Australia merespons positif rencana AS menggunakan Kepulauan Cocos sebagai pangkalan militer.Menurut Menteri Pertahanan Australia Stephen Smith,Kepulauan Cocos merupakan opsi jangka panjang dalam kedekatan Washington dan Canberra. “Tapi,Cocos bukan tempat ideal saat ini. Kita akan melakukan beberapa hal seperti peningkatan fasilitas dan infrastruktur, khususnya lapangan terbang,”ujarnya kepada ABC.
Menurut dia, biaya pembangunan fasilitas itu menelan anggaran sekitar 75 juta—100 juta dolar Australia (Rp689,43—919,24 miliar). Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengingatkan intelijen untuk lebih waspada dan mengantisipasi kemungkinan adanya ancaman dari luar. Sebab, dengan Australia mengizinkan AS menggunakan wilayahnya untuk pengoperasian drone, posisi Indonesia semakin terawasi oleh negara Paman Sam itu. ”Pengintaiannya memang menggunakan sistem penginderaan jarak jauh, jadi kita sulit memprotesnya.
Tapi,jauh sebelum inipun AS sudah melakukan pengintaian melalui satelit angkasa,” kata Hasanuddin di Gedung DPR. Menurut dia, selama peralatan tersebut terpasang di luar wilayah teritorial Indonesia, tak ada aturan yang dilanggar. ”Dan ini bukan masalah. Hanya kita menjadi terbuka diawasi mereka,”ujarnya. Australia mengklaim, penambahan kekuatan militer AS adalah bagian misi perdamaian.
Namun oleh banyak kalangan langkah itu dianggap sebagai upaya nyata meningkatkan kehadiran AS di Asia Pasifik. Dipastikan, upaya itu membuat khawatir China. Peneliti dari Akademi Ilmu Sosial di China Fan Jishe mengungkapkan, cukup sulit memprediksi rencana AS untuk memantau Laut China Selatan dengan pesawat tanpa awak. Padahal,pangkalan AS di Guam telah melaksanakan peran pemantauan itu.
“Apalagi, China juga tidak ingin terlibat dalam konfrontasi militer di wilayah ini.Posisi Australia sangat sulit karena sebagai sekutu utama AS dan mitra dagang terbesar China,” kata Jishe dikutip People Daily,kemarin. Dalam pandangan Fu Mengzi,peneliti hubungan ASChina di Institut Kajian Hubungan Internasional Kontemporer, peningkatan jumlah militer AS tidak menguntungkan bagi perdamaian. Untuk saat itu, kata dia, tidak ada ketegangan di antara kekuatan besar di Asia Pasifik.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Hartind Asrin menegaskan, penempatan drone AS di Kepulauan Cocos, Australia, tidak berpengaruh pada Indonesia. Meski secara jarak berdekatan, hal tersebut bukan berarti kedaulatan bangsa terancam. ”Itu merupakan keputusan diplomatik antara Australia dan AS. Karena berada di luar wilayah RI, tentu bukan hak kita untuk campur tangan.
Tidak ada pengaruhnya itu,” kata Asrin di Jakarta kemarin Rencana penambahan kekuatan militer AS di Australia bukan sekali terjadi.Sebelumnya negara adidaya itu berencana menempatkan personel marinir di Darwin.Ketika itu, Indonesia juga merespons dengan menyatakan rencana tersebut bukan sebuah ancaman bagi kedaulatan RI. Kendati demikian,Asrin sepakat perlu ada peningkatan kekuatan intelijen untuk mengantisipasi segala kemungkinan.
”Itu memang demikian. Intelijen harus selalu waspada,”sebut dia. Australia merespons positif rencana AS menggunakan Kepulauan Cocos sebagai pangkalan militer.Menurut Menteri Pertahanan Australia Stephen Smith,Kepulauan Cocos merupakan opsi jangka panjang dalam kedekatan Washington dan Canberra. “Tapi,Cocos bukan tempat ideal saat ini. Kita akan melakukan beberapa hal seperti peningkatan fasilitas dan infrastruktur, khususnya lapangan terbang,”ujarnya kepada ABC.
Menurut dia, biaya pembangunan fasilitas itu menelan anggaran sekitar 75 juta—100 juta dolar Australia (Rp689,43—919,24 miliar). Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin mengingatkan intelijen untuk lebih waspada dan mengantisipasi kemungkinan adanya ancaman dari luar. Sebab, dengan Australia mengizinkan AS menggunakan wilayahnya untuk pengoperasian drone, posisi Indonesia semakin terawasi oleh negara Paman Sam itu. ”Pengintaiannya memang menggunakan sistem penginderaan jarak jauh, jadi kita sulit memprotesnya.
Tapi,jauh sebelum inipun AS sudah melakukan pengintaian melalui satelit angkasa,” kata Hasanuddin di Gedung DPR. Menurut dia, selama peralatan tersebut terpasang di luar wilayah teritorial Indonesia, tak ada aturan yang dilanggar. ”Dan ini bukan masalah. Hanya kita menjadi terbuka diawasi mereka,”ujarnya. Australia mengklaim, penambahan kekuatan militer AS adalah bagian misi perdamaian.
Namun oleh banyak kalangan langkah itu dianggap sebagai upaya nyata meningkatkan kehadiran AS di Asia Pasifik. Dipastikan, upaya itu membuat khawatir China. Peneliti dari Akademi Ilmu Sosial di China Fan Jishe mengungkapkan, cukup sulit memprediksi rencana AS untuk memantau Laut China Selatan dengan pesawat tanpa awak. Padahal,pangkalan AS di Guam telah melaksanakan peran pemantauan itu.
“Apalagi, China juga tidak ingin terlibat dalam konfrontasi militer di wilayah ini.Posisi Australia sangat sulit karena sebagai sekutu utama AS dan mitra dagang terbesar China,” kata Jishe dikutip People Daily,kemarin. Dalam pandangan Fu Mengzi,peneliti hubungan ASChina di Institut Kajian Hubungan Internasional Kontemporer, peningkatan jumlah militer AS tidak menguntungkan bagi perdamaian. Untuk saat itu, kata dia, tidak ada ketegangan di antara kekuatan besar di Asia Pasifik.
Sumber : Sindo
0 komentar:
Posting Komentar