Minggu, Mei 08, 2011
0
IRIB-(IDB) : "Bersatu lebih dalam kata-kata, ketimbang realitasnya," tulis Japan Times dalam editorialnya seminggu setelah KTT ASEAN di Hua Hin, Thailand, dua tahun silam.
Analis media Jepang itu masih relevan hingga kini.

Buktinya, Thailand dan Kamboja terus saja jual beli peluru demi mempersengketakan Kuil Preah Vihear di perbatasan kedua negara.

Bilveer Singh dari S. Rajaratman School of International Studies, Universitas Teknologi Nanyang, menyebut konflik perbatasan Thailand-Kamboja menjadi pertaruhan dan kredibilitas ASEAN.

Tak hanya Thailand dan Kamboja, Indonesia dan Malaysia juga acap bersitegang soal perbatasan laut mereka. Hanya karena Indonesia menahan diri, maka keisengan Malaysia tak berujung menjadi konflik terbuka seperti Thailand-Kamboja.

Hampir semua anggota ASEAN menghadapi konflik perbatasan dengan sesama anggota ASEAN, termasuk Malaysia dan Thailand, Myanmar dengan Thailand, Laos dengan Vietnam, dan banyak lagi.

Sementara Singapura acap dikeluhkan, termasuk Indonesia, karena menjadi "pelabuhan" modal-modal domestik skala besar yang seharusnya diparkir di dalam negeri. Negeri ini juga acap menjadi "tempat suaka" dana-dana hasil penyimpangan keuangan.

Joe Studwell dalam "Asian Godfather" menyebut Singapura telah mengganti peran Swiss sebagai tempat penampungan modal-modal tak jelas dan uang panas.

Di matra ekonomi, sejumlah negara ASEAN merintih oleh ekspansi ekonomi China dalam selubung ACFTA (Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China), namun nyaris tidak ada upaya bersama yang signifikan guna menghadapinya. Sebaliknya, ASEAN mengundang kekuatan pengimbang lain seperti AS, Jepang dan Uni Eropa, bukan menguatkan langkah bersama.

Tak hanya Indonesia, Vietnam dikabarkan mengaduh oleh membanjirnya produk China. "Sekitar 90 persen defisit perdagangan Vietnam berasal dari perdagangan yang senjang dengan China," kata Tran Dinh Thien, Kepala Vietnam Institute of Economics pada Agustus 2010.

Menurut Anh Le Tran, analis ekonomi dari Institut Teknologi Massachusetts, kekhawatiran membanjirnya produk China membuat industri domestik Vietnam terpukul. Dua tahun lalu, ketika CAFTA belumlah diaplikasikan, defisit perdagangan dengan China mencapai 11 miliar dolar AS atau 91 persen dari total defisit Vietnam.

"Produk impor China mengancam perkembangan industri dalam negeri Vietnam," tulis Anh Le Tran dalam Asia Times.

Demikian pula Filipina, apalagi Indonesia. Dari data terakhir, kendati neraca perdagangan Filipina surplus, namun negara kepulauan itu juga diserbu masif oleh barang-barang luar, mesti belum tentu dari China.

ASEAN juga didera sejumlah persoalan intra-ASEAN lain, termasuk perlombaan senjata dan ketidaksatuan sikap dalam sengketa di Laut China Selatan.

Respons Bersama

Pada semua gambaran masalah yang dikemukakan di atas, nyaris tak ada kata `bersatu` dalam ASEAN, bahkan Thailand menolak mekanisme ASEAN untuk konfliknya dengan Kamboja.

Hubungan intra-ASEAN memang terlihat dekat secara emosional, namun ASEAN tak memiliki kekuatan memaksa atau mekanisme bersama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan antarmereka.

Mendiang profesor politik dari London School of Economics and Political Sciences (LSE), Michael Leifer, pernah mengatakan ASEAN menghadapi masalah dalam memberi respons bersama karena organisasi ini tak membangun mekanisme penyelesaian sengketa secara formal. Organisasi kawasan ini, katanya, lebih tertarik menciptakan milieu (lingkungan) kawasan yang bisa mengelola dan mencegah konflik.

Pernyataan Liefer 14 tahun silam itu masih relevan, terutama ketika memotret dimensi keamanan ASEAN.

Tak heran jika analis Thailand, Kavi Chongkittavorn, dalam The Nation Februari lalu, ASEAN memerlukan kerangka pikir baru dalam menyelesaikan konflik intra-ASEAN.

"ASEAN mesti membentuk mekanisme penyelesaian sengketa di dalam tubuhnya sendiri. Mekanisme penyelesaikan sengketa ekonomi memang sudah lama terbentuk, tapi tidak pernah ada mekanisme yang menyangkut sengketa-sengketa yang dapat menciptakan bentrok senjata," kata Chongkittavorn.

Khusus sengketa Kamboja-Thailand, ASEAN --tak hanya Indonesia yang kedapatan giliran memimpin--, mesti proaktif mendamaikan kedua negara, setidaknya menciptakan gencatan senjata. Itu semata demi kredibilitas dan bentuk baru ASEAN yang lebih reponsif dan proaktif.

"Ini lebih kepada peran keamanan ASEAN di kawasan ini, di mana kekeliruan melangkah akan bermakna kemungkinan kembalinya kawasan ini ke kebiasaan lama menggunakan senjata dalam mengatasi perbedaan," kata Bilveer Singh.

Sejumlah kalangan lainnya bahkan bersisian dengan editorial Japan Times atau asumsi Michael Leifer mengenai karakteristik dasar ASEAN seperti telah disebut tadi.

Salah satu yang bersetuju dengan itu --dan mungkin salah satu yang paling skeptis-- adalah pakar dari Singapura, Narayanan Ganesan, yang sekarang profesor politik pada Universitas Hiroshima, Jepang.

"ASEAN bukanlah komunitas keamanan, dan bukan pula komunitas ekonomi," katanya pedas.
Disebut bukan komunitas keamanan karena organisasi ini tak mengenal persepsi ancaman bersama sebagaimana biasa ada pada komunitas keamanan, padahal ini fundamental. Ketegangan bilateral di antara anggota-anggotanya telah mencegah ASEAN dalam mendapatkan fundamental itu.

Tapi, masih mengutip Ganesan, ASEAN juga bukan komunitas ekonomi karena agenda ekonomi semua anggota ASEAN lebih didasari nasionalisme ekonomi, ketimbang insentif kawasan. Sejumlah anggota ASEAN malah belakangan mengkapitalisasi nasionalisme ekonominya itu demi memperkuat legitimasi rezim.

Indonesia Tambatan ASEAN

Pada isu termutakhir, yaitu aspirasi memasyarakatkan ASEAN dalam sekitar 500 juta penduduk ASEAN, lewat `people to people`, juga baru pada tahap "omong-omong." Sejumlah kalangan malah menilainya elitis.

Sejumlah tokoh di negara-negara ASEAN mengungkapkan keprihatinan itu, diantaranya seperti dirangkum Kepala Riset AMIC, Singapura, Kalinga Seneviratne November tahun lalu di satu jurnal online. Beberapa kalangan di ASEAN mengkritik fakta di balik konsep `people to people` itu.

"Adalah mengecewakan rakyat di kawasan ini tidak saling mengetahui negara-negara (ASEAN) lainnya," kata Pham Thuy Trang, produser berita internasional VTV Vietnam.

Trang menyingkap kekhawatiran publik mengenai kemampuan ASEAN membumikan konsep-konsep tingkat tinggi yang kadang membuat masyarakat kawasan tidak bisa merabanya.

"Kita perlu menggelar kegiatan-kegiatan spontan bilaman kita serius ingin membangun sebuah masyarakat, kita perlu bergerak jauh dari sekedar pemerintah ke pemerintah," kata Viswa Sadasivam, seorang eksekutif media Singapura.

Seorang pakar media dari Malaysia menambahkan cerita berikut, "Kita selama ini berbagai sejarah dan asal usul, namun pertanyaannya adalah mengapa tiba-tiba sekarnag kita merasa tidak berkaitan satu sama lain."

Seluruh gambaran di atas adalah dimensi-dimensi masalah yang menantang Indonesia guna dipecahkan. Apalagi, diam-diam Indonesia sebenarnya menjadi tumpuan harapan negara-negara ASEAN lain dalam menyelesaikan sengketa.

Indonesia, kata Kavi, memahami dengan amat baik realitas ASEAN, bahkan sebelum gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto, Indonesia selalu bisa membawa semua skema ekonomi dan politik ke dalam kerjasama.

Indonesia sekarang semestinya tertantang oleh klaim ini, sekaligus menjawab skeptisme intra-ASEAN sendiri sebagai organisasi yang lebih banyak menawarkan konsep, ketimbang resolusi konflik dan mempromosikan langkah bersama.

"Tak ada ketua ASEAN yang memiliki rencana komprehensif dan ambisius demi ASEAN, kecuali Indonesia," kata Kavi Chongkittavorn.

Indonesia mesti membuktikan pernyataan, harapan dan tantangan Kavi ini, karena inilah aspirasi umum ASEAN tentang posisi Indonesia. Dan jawaban Indonesia itu akan ditunggu pekan ini di KTT ASEAN. 

Sumber: Irib

0 komentar:

Posting Komentar