IRIB-(IDB) : Kabar baik muncul dari rangkaian pertemuan 10 negara Asia Tenggara Jumat kemarin. Harapan terciptanya perdamaian di perbatasan Thailand-Kamboja yang bergolak dan bersimbah darah selama tiga tahun terakhir bersemi kembali.
Kedua negara akhirnya menyetujui kerangka acuan (TOR) yang diajukan Indonesia mengenai pengiriman peninjau ke daerah perbatasan dua negara yang disengketakan.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, selaku Ketua ASEAN, Indonesia berusaha memediasi konflik yang telah merenggut belasan prajurit tewas dan ratusan rakyat diungsikan itu. Namun, upaya tersebut beberapa kali menemui jalan buntu salah satu pihak menolaknya.
"Kamboja sudah mengirimkan pernyataan formal melalui nota diplomatik bahwa mereka menyetujui TOR yang diajukan Indonesia. Thailand juga menyatakan setuju namun belum secara formal," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa setelah mengadakan pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya di sela-sela KTT ASEAN di Balai Sidang Jakarta.
Yang menjadi fokus sekarang, demikian Marty, adalah bagaimana merealisasikan komitmen Thailand dan Kamboja mengenai pengiriman peninjau ke daerah perbatasan.
"Seperti yang Anda tahu, Thailand memiliki pemahaman sendiri mengenai suasana kondusif yang diinginkan, begitu juga dengan Kamboja. Jadi dalam dua hari ini, saya mungkin akan bertemu dengan menlu dua negara untuk mencoba menemukan titik temu mengenai pengiriman tim peninjau Indonesia ke perbatasan," ujarnya seraya menyatakan penghargaannya kepada Thailand dan Kamboja yang berkomitmen untuk meneruskan jalan diplomasi guna memecahkan masalah perbatasan.
Selama ini negara-negara Asia Tenggara sepakat menyelesaikan persengketaan perbatasan di antara mereka secara bilateral, namun perseteruan Thailand-Kamboja telah berubah menjadi konflik terbuka yang berujung pada jatuhnya korban tewas.
Tahun ini saja, setelah saling baku tembak secara hebat pada Febuari 2011, kedua negara mengulanginya kembali pada penghujung April 2011.
Lalu, setiap kali baku tembak terjadi kedua belah pihak saling tuding mengenai siapa yang memulai aksi pamer senjata itu. Hal itu setidaknya yang memberi Indonesia ide untuk menempatkan tim peninjau di perbatasan.
Perseteruan perbatasan di antara 10 negara ASEAN --Brunei, Kamboja, Indonesia, Filipina, Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam, Singapura dan Malaysia-- memang bukan hanya Thailand dan Kamboja. Bahkan beberapa waktu lalu Indonesia berseteru sengit dengan Malaysia akibat masuknya kapal aparat Malaysia ke perairan Indonesia untuk menangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia.
Namun, perseteruan perbatasan yang berujung dengan pertumpahan darah sejak penandatanganan Traktat Persahabatan dan Kerjasama (TAC) ASEAN baru terjadi antara Thailand dan Kamboja dalam tiga tahun terakhir.
Insiden itu cukup mencoreng citra ASEAN yang selalu mempromosikan TAC mereka ke dunia sebagai traktat yang mengikat 10 negara Asia Tenggara dalam suatu persahabatan dan niat bersama menjaga kedamaian kawasan sehingga membedakan dari sejumlah kawasan. ASEAN mengklaim dalam 40 tahun terakhir kawasannya relatif damai, tidak digoncang konflik terbuka, apalagi peperangan.
Pada 24 Febuari 1976, TAC ditandatangani oleh para pemimpin ASEAN saat itu yaitu Soeharto (Indonesia), Lee Kuan Yew (Singapura), Ferdinand Marcos (Filipina), Datuk Hussein Onn (Malaysia) dan Kukrit Pramoj (Thailand). Anggota ASEAN yang lain yaitu Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar bergabung pada 25 Juli 2998.
Lalu pada Juli 2009, TAC ditandatangani pula oleh sekitar 16 negara mitra ASEAN, termasuk penandatanganan TAC pada 22 Juli 2009 oleh Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.
Berdasarkan TAC, negara-negara bertekad menyelesaikan segala bentuk perselisihan dengan cara damai demi menjaga perdamaian dan persahabatan di antara rakyat Asia Tenggara, selaras dengan Piagam PBB.
Suara Sipil
Kelompok masyarakat sipil Thailand dan Kamboja yang hadir dalam Konferensi Masyarakat Sipil ASEAN (ACSC)/Forum Rakyat ASEAN (APF) menginginkan ASEAN lebih berperan dalam mengatasi sengketa perbatasan diantara negara-negara mereka.
Ketua Badan Adhoc Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Kamboja Thun Saray berharap ASEAN, khususnya Indonesia ikut menemukan solusi atau minimal menciptakan gencatan senjata di perbatasan.
"Konflik sudah terjadi mulai 2008, kemudian berhenti dan pecah lagi dan kali ini semakin buruk, sejauh yang kami ketahui ada ini sekitar 6.000 orang dari kedua negara harus mengungsi," ungkapnya.
Menurut Saray, konflik perbatasan itu telah membuat anak-anak tidak bisa bersekolah, warga tidak lagi bebas beraktivitas, kesulitan mendapat pangan dan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Seorang aktivis lain dari Yayasan Sukarelawan untuk Generasi Muda di Wilayah Mekong Supawadee Petrat mengungkapkan, masyarakat di perbatasan hidup dalam kondisi ketakutan. Pemerintah kedua negara, katanya, harus mendengar pihak lain demi menyelesaikan masalah itu. Ia bahkan menilai akar masalah konflik itu adalah politik internasl di dua negara.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pendukung Hak Asasi Manusia Thailand Somsri Hananustasuk mengatakan perbatasan seharusnya tidak lagi menjadi masalah karena ASEAN akan menjadi satu komunitas.
"Dari sudut pandang masyarakat sipil, perbatasan seharusnya tidak lagi menjadi masalah karena kita nantinya akan menjadi satu komunitas dan perbatasan akan kehilangan artinya," ucapnya.
Kelompok masyarakat sipil tersebut mengeluarkan tiga rekomendasi untuk ASEAN.
Pertama, meminta pemerintah Thailand dan Kamboja memberikan perhatian lebih kepada kesulitan yang dialami rakyat kedua negara di perbatasan dan sesegera mungkin memberi mereka bantuan.
Kedua, mendesak gencatan senjata permanen dan meminta pemantau dari ASEAN diturunkan di sepanjang perbatasan demi menjaga gencatan senjata itu.
Ketiga, ASEAN harus mendukung tindakan masyarakat sipil kawasan untuk membawa perdamaian di wilayah sengketa itu.
Peninjau
Peninjau
TOR ajuan Indonesia mengenai pengiriman peninjau ke daerah perbatasan dua negara yang disengketakan akhirnya disepakati kedua pihak bersengketa. Marty berharap TOR segera dilaksanakan.
Ia menilai penundaan pengiriman tim peninjau Indonesia ke perbatasan Thailand-Kamboja akan berdampak negatif pada upaya perdamaian dua negara tersebut.
"Penundaan akan memunculkan kemungkinan untuk terjadinya konflik lagi di perbatasan. Ini yang kita ingin hindari. Maka dari itu perlu ada tim peninjau independen di perbatasan," kata Marty.
Menurutnya, jumlah personel tim peninjau tidak akan terlalu banyak, hanya 15 orang di sisi wilayah Thailand dan 15 orang di wilayah Kamboja.
Penempatan tim peninjau, tambahnya, juga membantu menumbuhkan kesalingpercayaan Thailand dan Kamboja.
Mengenai penolakan Kamboja atas permintaan Thailand agar Kamboja menarik pasukannya dari wilayah sengketa sebelum tim peninjau Indonesia diterjunkan ke sana, Marty mengatakan "Thailand dan Kamboja memiliki pandangannya masing-masing mengenai hal tersebut".
Thailand, menurut Marty, akan secara resmi mengundang tim peninjau dari Indonesia jika beberapa syarat disetujui, antara lain meminta Kamboja menarik pasukannya dari beberapa wilayah tertentu.
'
Marty menjelaskan, isu penarikan pasukan bisa dibicarakan di tingkat Komite Jenderal Perbatasan Thailand-Kamboja (GBC).
'
Marty menjelaskan, isu penarikan pasukan bisa dibicarakan di tingkat Komite Jenderal Perbatasan Thailand-Kamboja (GBC).
"Mungkin tidak bisa diselesaikan dalam dua hari KTT ASEAN disini. Tapi saya yakin ada titik temu asalkan ada kemauan politik," ujarnya.
Sengketa perbatasan itu berawal dari satu peta yang dikeluarkan pada 1908 oleh kartografer Prancis untuk menetapkan perbatasan Thailand-Kamboja, ketika Kamboja masih di bawah koloni Prancis.
Prancis mengatakan, perbatasan harus diputuskan menurut garis batas air di sepanjang jarak Gunung Dongrak, dalam peta mereka candi Preah Vihear terletak di ketinggian 525 meter, dengan jalan turun berada di wilayah Kamboja, dan sebagian lainnya di wilayah Thailand.
Thailand kehilangan candi itu pada 1962 ketika sengketa kepemilikan candi itu dibawa ke Pengadilan Internasional di Den Haag. Pengadilan memutuskan candi itu milik Kamboja, namun sengketa garis perbatasan masih terus berlangsung hingga sekarang.
Sengketa itu merebak kembali pada 2008 ketika Kamboja mengusulkan candi yang terletak dalam kompleks seluas 4,6 kilometer itu sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO. Meskipun ditentang Thailand, usulan tersebut disetujui UNESCO pada 7 Juli 2008.
Saat ini, tentara kedua negara saling berhadapan di seberang perbatasan mereka di sekitar candi Prear yang berada di antara provinsi Si Sa Khet dan Phrea Vihear, sekitar 400 kilometer timur laut Bangkok.
Sumber: Irib
0 komentar:
Posting Komentar