JAKARTA-(IDB) : Menteri
Luar Negeri RI Marty Natalegawa menyambut baik usulan Menlu Filipina
Albert del Rosario soal upaya meredakan ketegangan di Laut China
Selatan. Usulan itu, berupa seruan agar semua pihak menahan diri
(moratorium) untuk tidak membangun atau mengolah apa pun di Laut China
Selatan yang sedang dipersengketakan sejumlah negara, bukanlah hal baru.
Marty mengatakan, moratorium yang disebut "action-triple plan" itu sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia selama 10 tahun terakhir untuk mencari solusi konflik sengketa wilayah di Laut China Selatan.
Marty menyampaikan hal itu usai menerima kunjungan Menlu Kanada John Baird di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Selasa, 5 Agustus 2014. Melalui moratorium itu, Pemerintah Filipina meminta semua aktivitas yang dapat memicu ketegangan di Laut China Selatan untuk dihentikan. Langkah ini, sebagai bagian dari tiga rencana pertemuan mengenai keamanan yang akan digelar di Myanmar pekan ini.
Inisiatif yang digagas oleh Pemerintah Filipina, kata Marty, sesuai dengan Deklarasi Perilaku (DOC) terkait Laut China Selatan yang diadopsi tahun 2002 silam.
"Hal itu sesuai dengan rencana Pemerintah Indonesia untuk membahas isu ini dalam pertemuan KTT Menlu se-ASEAN dan beberapa negara sahabat di Myanmar. Kami mencoba menyampaikan kepada semua pihak agar menahan diri dan kini, harus ditunjukkan makna menahan diri itu seperti apa," ujar Marty.
Aksi menahan diri, lanjut Marty, bisa saja dilakukan secara sukarela. Namun, idealnya aksi menahan diri itu disetujui oleh semua pihak yang bersengketa di Laut China Selatan.
"Namun, jika melalui mekanisme persetujuan bersama tidak bisa ditempuh, maka bisa saja sikap menahan diri dilakukan secara unilateral secara serius. Hal itu, nantinya bisa diinformasikan oleh satu pihak ke pihak lainnya," kata mantan Perwakilan Tetap RI di PBB itu.
Ketika ditanya apakah China termasuk salah satu pihak yang bersedia untuk menahan diri dan mengikuti moratorium yang digagas oleh Filipina, Marty mengatakan Negeri Tirai Bambu sudah sejak awal turut serta dalam komitmen tersebut.
"Sejak awal, pihak China menurut saya seharusnya sudah menahan diri, karena ini semua kembali kepada komitmen di tahun 2002 silam. Namun, yang diperlukan saat ini yaitu jika semua negara bisa berkontribusi dalam konflik ini, maka hal tersebut akan menjadi momen positif," kata dia.
Dia pun berharap, hasil dari pertemuan KTT Menlu se-ASEAN di Myanmar bisa memberikan kontribusi signifikan dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan.
Marty mengatakan, moratorium yang disebut "action-triple plan" itu sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia selama 10 tahun terakhir untuk mencari solusi konflik sengketa wilayah di Laut China Selatan.
Marty menyampaikan hal itu usai menerima kunjungan Menlu Kanada John Baird di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Selasa, 5 Agustus 2014. Melalui moratorium itu, Pemerintah Filipina meminta semua aktivitas yang dapat memicu ketegangan di Laut China Selatan untuk dihentikan. Langkah ini, sebagai bagian dari tiga rencana pertemuan mengenai keamanan yang akan digelar di Myanmar pekan ini.
Inisiatif yang digagas oleh Pemerintah Filipina, kata Marty, sesuai dengan Deklarasi Perilaku (DOC) terkait Laut China Selatan yang diadopsi tahun 2002 silam.
"Hal itu sesuai dengan rencana Pemerintah Indonesia untuk membahas isu ini dalam pertemuan KTT Menlu se-ASEAN dan beberapa negara sahabat di Myanmar. Kami mencoba menyampaikan kepada semua pihak agar menahan diri dan kini, harus ditunjukkan makna menahan diri itu seperti apa," ujar Marty.
Aksi menahan diri, lanjut Marty, bisa saja dilakukan secara sukarela. Namun, idealnya aksi menahan diri itu disetujui oleh semua pihak yang bersengketa di Laut China Selatan.
"Namun, jika melalui mekanisme persetujuan bersama tidak bisa ditempuh, maka bisa saja sikap menahan diri dilakukan secara unilateral secara serius. Hal itu, nantinya bisa diinformasikan oleh satu pihak ke pihak lainnya," kata mantan Perwakilan Tetap RI di PBB itu.
Ketika ditanya apakah China termasuk salah satu pihak yang bersedia untuk menahan diri dan mengikuti moratorium yang digagas oleh Filipina, Marty mengatakan Negeri Tirai Bambu sudah sejak awal turut serta dalam komitmen tersebut.
"Sejak awal, pihak China menurut saya seharusnya sudah menahan diri, karena ini semua kembali kepada komitmen di tahun 2002 silam. Namun, yang diperlukan saat ini yaitu jika semua negara bisa berkontribusi dalam konflik ini, maka hal tersebut akan menjadi momen positif," kata dia.
Dia pun berharap, hasil dari pertemuan KTT Menlu se-ASEAN di Myanmar bisa memberikan kontribusi signifikan dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan.
Sambutan Eropa
Usulan moratorium itu diajukan oleh Pemerintah Filipina hari ini. Dia menyebut, Filipina akan mengajukan moratorium agar semua pihak bersengketa di LCS bisa menahan diri.
Hal tersebut disambut baik oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton. Dalam kunjungan selama dua hari di Filipina, usulan moratorium yang disampaikan Filipina konstruktif, komprehensif dan positif.
"Ini merupakan pendekatan cepat bagi situasi di Laut China Selatan yang kian memburuk. Tidak akan ada pihak mana pun yang mendebat Anda untuk memiliki hak untuk mengeluarkan moratorium dan mengelola ketegangan di kawasan," ungkap Ashton.
Dengan adanya moratorium ini, Filipina meminta China agar tidak lagi melakukan aktivitas pengeboran di dekat area yang tengah disengketakan. Kantor berita Reuters edisi hari ini melansir China membangun rig pengeboran minyak di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Vietnam pada Mei lalu.
Pada bulan ini, China telah memindahkan rig tersebut. Selain Filipina, negara lain yang juga bersengketa dengan China terkait wilayah di Laut China Selatan yakni Brunei, Malaysia, Vietnam dan Brunei.
Bahkan, Taiwan pun turut mengklaim sebagian wilayah di kawasan tersebut.
Sumber : Vivanews
0 komentar:
Posting Komentar