JAKARTA-(IDB) : Pemerintah Singapura berkomitmen kuat memulangkan para kriminal asal Indonesia yang melarikan diri ke negara kota itu selama ada permintaan dari Pemerintah RI dan ada bukti bahwa yang bersangkutan sedang didakwa dan apalagi divonis pengadilan, kata seorang menteri Singapura.

"Ada proses yang bisa berlaku tanpa Perjanjian Ekstradisi. Selama ada `request` (permintaan) dari Pemerintah RI bahwa orang itu ada di Singapura dan sedang dihadapkan di pengadilan, kenapa kita ingin mempertahankan orang-orang itu?" kata Menteri Muda Urusan Luar Negeri Singapura, Masagos Zulkifli, Rabu.

Kepada wartawan Indonesia yang mengunjungi Kementerian Luar Negeri sehubungan dengan program kunjungan ke Singapura itu, ia mengatakan, para penjahat Indonesia yang bisa dipulangkan adalah mereka yang sudah didakwa pengadilan dengan bukti-bukti.

Namun, kalau warga negara Indonesia itu baru disangka atau hanya disebut-sebut media massa diduga terlibat dalam kasus kejahatan di negaranya, pihak terkait Singapura belum bisa membantu, katanya.

ANTARA mencatat, Singapura merupakan negara tetangga yang paling sering dijadikan tujuan pelarian banyak orang Indonesia yang tersangkut kasus korupsi. Yang paling terakhir adalah Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang dituduh terlibat kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games 2011.

Pada pertemuan itu, Menteri bernama lengkap Masagos Zulkifli Bin Masagos Mohamad ini sempat menyinggung tentang Perjanjian Ekstradisi dan Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan (DCA).

Menurut dia, kedua perjanjian yang sudah disepakati pemerintah kedua negara itu "merupakan satu paket" yang prosesnya kini menunggu ratifikasi parlemen.

Bagi Singapura, proses ratifikasi paket perjanjian tersebut bukanlah hal yang sulit mengingat pemerintah berkuasa didukung oleh mayoritas kursi di parlemen, kata menteri yang pernah tinggal di Ujung Pandang (kini Makassar) dari 1996 hingga 1998 itu.

"Setelah disetujui oleh kabinet, (paket perjanjian itu) dapat langsung diratifikasi oleh parlemen," kata menteri yang juga anggota Parlemen Singapura dari Partai Aksi Rakyat (PAP) kelahiran 16 April 1963 ini.

Berbeda dengan kondisi di Singapura, proses ratifikasi terhadap kedua perjanjian itu di Indonesia memerlukan waktu mengingat sistim politik di Indonesia menganut "separation of power" (pemisahan kekuasaan), kata Masagos.

Terkait dengan DCA, ia mengatakan, perjanjian itu tidak hanya baik buat Singapura tetapi juga buat Indonesia, dan pihaknya "sangat berkomitmen pada perjanjian yang sudah disepakati, katanya.

Dalam bagian lain penjelasannya, Masagos Zulkifli juga mengingatkan pentingnya kerja sama yang lebih solid, erat dan nyata di antara negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mewujudkan Komunitas ASEAN 2015 dan mengimbangi kemajuan China.

Kerja sama yang erat di tingkat pemerintah dan rakyat ASEAN itu harus benar-benar berjalan dan "tidak sekadar simbolik saja", katanya.

Indonesia dan Singapura merupakan dua dari 10 negara anggota ASEAN disamping Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Fillipina, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.