JAKARTA-(IDB) : Gudang senjata dan amunisi di Markas Komando Pasukan Katak TNI AL kawasan barat meledak, Rabu pagi, dengan korban jiwa seorang personel TNI AL dan 86 yang lain luka-luka.

Markas pasukan khusus itu ada di "pulau" Pondok Dayung, sejarak sekitar 100 meter dari daratan Pelabuhan Tanjungpriok.

TNI AL menyatakan, gudang senjata di Markas Komando Pasukan Katak TNI AL itu berisikan senjata dan amunisi ringan, bukan untuk keperluan pertempuran yang "berat". Satu peluru mortir kaliber 60 milimeter diketahui melesat keluar hingga keluar kompleks markas militer itu.

Sebetulnya, bagaimana persyaratan teknis dan pengelolaan serta standar keamanan gudang senjata dan amunisi? TNI AL dan matra-matra lain TNI memiliki aturan dan instansi yang khusus dan terkait menangani hal itu, di antaranya Dinas Pengamanan TNI AL.

Secara teknis, amunisi adalah bahan peledak yang dipergunakan untuk keperluan militer; ada senyawa kimia peledak dan pendorong proyektil jika itu menyangkut peluru dalam berbagai kaliber. Atau semata-mata bahan peledak dengan detonator sebagai pemicunya.

Dalam nomenklatur pengamanan gudang bahan peledak, pemerintah telah menetapkan persyaratan fisik bangunan gudang itu, di antaranya lolos persyaratan administratif (perizinan, gambar teknis dan lingkungan, dan lokasi), pencantuman jenis dan tipe bahan peledak, dan buku panduan serta pelatihan tata cara penanganan bahan peledak.

Kapasitas tampung gudang senjata juga harus dipaparkan secara tegas karena jumlah, tipe, dan jenis bahan peledak memerlukan penanganan yang berbeda-beda. Bahan peledak dari berbagai tipe, di antaranya TNT (umum mengenal sebagai dinamit), C4, hingga RDX, harus diimbuhi detonator sebagai pemicu ledakan.

Tanpa detonator, bahan-bahan peledak itu tidak akan meledak dan menimbulkan efek sebagaimana diinginkan operator (militer). Tentang detonator ini, aturan pemerintah mensyaratkan lokasi penyimpanan yang berbeda antara detonator dan bahan peledaknya.

Dari itu semua, di dalam gudang bahan peledak dan amunisi, pengelola harus menyediakan indikator temperatur, tanda-tanda yang jelas tentang larangan merokok, komunikasi dengan telefon genggam, menimbulkan api atau percikan listrik, dan jalur keluar-masuk serta evakuasi.

Tidak kalah penting sarana pemadaman kebakaran dan pencegahan kebakaran serta penanggulangan efek ledakan. Semua ini menjadi hal-hal pokok yang diperiksa inspektur penanganan gudang senjata/amunisi.

Penjagaan secara fisik, juga persyaratan lain yang penting dan harus ada buku panduan khusus tentang ini, dan penjaga ditempatkan di bangunan lain di luar gudang senjata dan amunisi itu.

Mengingat bahan peledak merupakan senyawa kimia dengan sifat kimia yang labil, maka hal-hal yang mendorong perubahan sifat kimia itu harus dinihilkan. Itulah sebabnya, lampu penerangan genggam dan permanen harus bebas percikan listrik atau api.

Peraturan tentang ini ada yang khusus, di antaranya bahan peledak berbahan dasar amonium nitrat dan ANFO, bahwa gudang bahan peledak dengan kapasitas di atas 5.000 kilogram harus dilengkapi alat pemadam api otomatis yang diinstalasi di luar ruangan dengan sumber air bertekanan.

Masih ada pengaturan khusus tentang bahan peledak peka detonator, secara fisik bangunan harus berbasis bahan tidak mudah terbakar, atap seringan mungkin, dinding pejal, lubang ventilasi memadai, dipasangi alat penangkal petir dengan kabel resistensi lebih kecil dari 5 Ohm, dan tanpa ekspose besi terbuka.

Jika itu tentang bahan peledak yang harus disimpan dalam wadah logam khusus, maka wadah logam tertutup itu harus terbuat dari plat baja setebal paling tidak tiga milimeter, dilengkapi ventilasi, dilapisi kayu di bagian dalam, dan kedap air. Juga dihubungkan dengan alat penangkal petir.

Seorang personel militer Indonesia yang kerap berurusan dengan bahan peledak, menyatakan, gudang-gudang senjata dan amunisi buatan Belanda sangat ideal. Hampir semuanya dibangun di bawah tanah lebih dalam dari tiga meter.

Di atas bangunan gudang amunisi itu, disamarkan dengan pepohonan dan dibangun juga tanggul-tanggul penangkal "lompatan" amunisi yang diperkirakan bisa terjadi jika mereka meledak. Gudang-gudang senjata dan amunisi warisan Belanda itu juga bertemperatur stabil dingin dan tidak lembab.

Bahkan untuk penerangan, mereka tidak memakai pancaran bola lampu listrik; melainkan pantulan cermin-cermin yang sudutnya diatur sedemikian rupa sehingga memecah-mecah arah pancaran cahaya matahari sedemikian rupa pada saat pintu dibuka.

Jaman berubah, keperluan akan gudang-gudang senjata dan amunisi itu berubah dan bertambah banyak. Apapun itu, standar keamanan dan pengamanan harus semakin ditingkatkan karena karakteristik bahan peledak dan amunisi masa kini kian canggih dan sensitif.

"Pulau" Pondok Dayung di mana Markas Komando Pasukan Katak TNI AL kawasan barat sebetulnya sudah cukup jauh dari lingkungan sekitarnya. Bangunan-bangunan eks penjajahan Belanda juga masih dimanfaatkan sebagai sarana perkantoran, asrama, dan gudang-gudang instalasi TNI AL.

Namun rupanya, derap pembangunan fisik di lingkungan Pelabuhan Tanjungpriok lebih cepat ketimbang kondisi pengamanan yang telah diperhitungkan Belanda pada masa itu. Jadilah kawasan Pondok Dayung dan sekitarnya menjadi lebih padat (pekerja) sekaligus meningkatkan resiko.

TNI AL telah menempatkan pasukan khususnya di sana sejak dulu, di "habitat" yang sangat sesuai dengan keperluan operasi tempur dan perang mereka. Azazi personel Komando Pasukan Katak TNI AL adalah operasi oleh unit-unit kecil dengan kemampuan tempur dan bertahan hidup luar biasa.

Mirip dengan Navy SEAL-nya Angkatan Laut Amerika Serikat, mereka harus berlatih banyak hal, mulai dari terjun payung militer, intelijen, insersi lewat lubang tabung torpedo kapal selam, merakit dan menjinakkan bahan peledak, hingga demolisi bawah air, dan banyak lagi.