Jumat, Maret 28, 2014
3
BEIJING-(IDB) : Kerjasama saling membutuhkan antara Airbus dan China menghasilkan pembangunan pabrik perawatan akhir pesawat Airbus di China. Dari tahun ke tahun jumlah produksinya terus meningkat.



Membangun sebuah pabrik perakitan pesawat dengan tenaga lokal tentu saja tidak mudah. Namun China sudah membuktikan mampu membangun dan mengoperasikannya sampai sekarang.



Adalah pabrik perakitan akhir pesawat Airbus yang didirikan di area industri Tianjin Binhai, sebuah zona pembangunan industri baru tingkat negara. Pabrik  Final Asembly Line China (FALC) tersebut dimiliki oleh Airbus 51% dan Konsorsium China 49% yang terdiri dari Tianjin Trade Zone(TJFTZ) dan China Aviation Industry Corporation(AVIC).



Dukungan Pemerintah


Pembangunan pabrik manufaktur Airbus satu-satunya di luar Eropa ini terlaksana dorongan Pemerintah China. Adalah Perdana Menteri China Wen Jiabao yang sengaja berkunjung ke kantor pusat Airbus di Toulouse, Perancis pada 4 Desember 2005. Jiabao membawa juga Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China (NDRC) untuk menandatangani Kesepakatan Kerjasama (Memorandum of Understanding/MoU) mengenai Penguatan Kerjasama Industri antara industri penerbangan sipil China dan Airbus.



Lewat serangkaian pertemuan dan perjanjian yang didukung penuh oleh Pemerintah China, pada 15 Mei 2007 pembangunan konstruksi pabrik ini pun dimulai. Pendirian pabrik di China ini meliputi pembangunan hanggar khusus, gedung perkantoran, pusat pengiriman dan berbagai fasilitas terkait, termasuk sistem penyediaan listik, gas, air dan bahan bakar. Selain itu juga terdapat pusat pelatihan, pusat perbaikan (service center), dan engineering center.



Luas kompleks FALC mencakup 590.000 meter persegi dan luas bangunan keseluruhan mencakup 114.000 meter persegi. Dan pada Juli 2008, FALC resmi beroperasi.



Tak hanya Pemerintah China, Pemerintah Jerman juga mendukung langkah pabrik ini. Pada 31 Agustus 2012, Kanselir Jerman Angela Merkel dan PM China Wen Jiabao memimpin pertemuan besar yang dihadiri oleh 1.000 orang di Tianjin untuk merayakan penyelesaian pesawat jenis A320 ke-100 yang dibuat di FALC.



Saling Menguntungkan


Menurut   General Manager Airbus (Tianjin) Final Assembly Co. Ltd, Andreas Ockel, kerjasama antara Airbus dan Negara China itu sebenarnya saling menguntungkan. Menurutnya, China adalah pasar terbesar kedua setelah Amerika Serikat bagi Airbus. “Hingga akhir tahun 2013, sudah ada 1.001 pesawat Airbus berbagai jenis yang dioperasikan oleh maskapai di China,” ujarnya.



Sejak tahun 2006 hingga sekarang, Airbus telah mengirimkan 756 pesawatnya berbagai jenis ke maskapai di China. Jumlah ini jauh lebih banyak dibanding yang dikirim ke AS (177 unit), Inggris Raya (163 unit), Jerman (158 unit), Rusia (236 unit), Uni Emirat Arab (121 unit) dan Turki (95 unit).



Pada tahun 2013, China juga mencetak rekor dalam hal penyerapan peawat airbus yaitu sebanyak 133 pesawat (21%) dari total 626 pesawat yang diproduksi Airbus.



Kualitas Setara Eropa


FALC di Tianjin ini dibangun dengan konsep state-of-art situs perakitan akhir di Hamburg, Jerman. Pesawat tersebut dirakit dan dikirim di Cina menggunakan standar yang sama dengan pesawat yang dirakit dan dikirim di Eropa. “Di sini semua copy paste dengan yang ada di Hamburg,” ujar Andreas Ockel lagi. Saat ini FALC merakit pesawat A319 dan A320.



Cara kerja pabrik manufaktur ini sebenarnya sederhana. Komponen pesawat dari berbagai negara yang dipesan oleh Airbus, dikapalkan menuju China. Sekedar diketahui, beberapa komponen pesawat tidak diproduksi di Eropa. Misalnya pintu pesawat dibuat dari pabrik di India. Sedangkan struktur sayap dibuat di Xiang, China.



Komponen-komponen pesawat tersebut kemudian dirakit secara paralel selama waktu 25 hari dengan melibatkan 150 pekerja. Ditambah dengan berberapa macam pekerjan seperti misalnya pengecatan, instalasi mesin, tes mesin serta tes penerbangan maka dari tahap awal perakitan hingga siap dikirim ke pelanggan memakan waktu 45-50 hari.



Namun karena dikerjakan secara paralel, pabrik ini bisa memproduksi 4 pesawat per bulan atau 46 pesawat per tahun. Kapasitas produksi ini akan dipertahankan hingga tahun 2016 untuk kemudian dievaluasi lagi.

Saat Angkasa mengunjungi pabrik manufaktur ini pada akhir Februari lalu, terlihat jajaran enam bodi pesawat sedang dalam perakitan di hanggar utama. Sayangnya pada hari Sabtu tersebut, tidak banyak pekerja yang masuk kerja.



Memang jumlah karyawan di FALC tidak terlalu banyak. Setidaknya ada 300 karyawan terlatih dari China dan 130 karyawan ekspatriat. Jumlah karyawan ekspatriat akan dikurangi secara perlahan hingga habis sama sekali, digantikan karyawan dari China.



Ke 300 karyawan China tersebut sebelumnya telah mendapat pelajaran dasar aeronautika dan bahasa Inggris. Mereka juga telah melakukan on job training di pabrik pesawat di Hamburg. Selain itu mereka juga telah mendapatkan pelatihan dan pendampingan kualifikasi dari para teknisi terlatih dari para ekspatriat tersebut.



Merambah Luar Negeri


Sejak tahun 2012, produk pesawat dari pabrik manufaktur China ini mulai merambah luar China. Adalah AirAsia, grup maskapai yang pertama menerima pesawat tersebut. Sebelumnya semua pesawat rakitan pabrik ini hanya diserap dan dioperasikan oleh 12 maskapai penerbangan China. Yaitu  Sichuan Airlines, Beijing Capital Airlines, Shenzhen Airlines, China Eastern Airlines, Juneyao Airlines, Spring Airlines, China Southern Airlines, West Air, Lucky Air, Tianjin Airlines, Air China dan Tibet Airlines. Hingga saat ini, 160 pesawat Airbus  telah dibuat dan dikirimkan oleh FALC.



Menurut CEO AirAsia Malaysia, Aireen Omar, AirAsia mendapat pesawat ini dari perusahaan penyewaan pesawat ICBC. “Pada saat itu kapasitas produksi di dua pabrik Eropa, Toulouse dan Hamburg sedang penuh. Jadi kita dapat dari pabrik ini,” ujarnya.



Pesawat yang dikirim pada 7 Desember 2012 lalu itu kemudian diserahkan pada Indonesia AirAsia dan mendapat registrasi PK-AZA.  Menurut Aireen, pesawat tersebut sudah melakukan operasional dengan mulus, sama seperti saudara-saudaranya yang dibuat di Eropa. Hingga 6 Februari 2014, usia pesawat PK-AZA sudah mencapai 4382 jam terbang (flight hours) dan 2848 take off- landing (cycles).



Dengan adanya pabrik perakitan di China ini, Airbus juga tidak akan kesulitan menyuplai pelanggannya yang berada  di Asia Pasifik. Menurut perkiraan Airbus yang dipublikasikan pada bulan Februari lalu, pasar Asia Pasifik masih merupakan pasar yang terbesar dalam 20 tahun mendatang.



Maskapai penerbangan di kawasan ini akan menerima pengiriman 10.940 pesawat penumpang dan kargo mulai dari tahun 2013 sampai dengan 2032. Total nilainya mencapai 1,8 triliun dolar AS atau 37 % dari seluruh pengiriman pesawat di seluruh dunia. Jumlah tersebut melebihi Eropa, Amerika Utara, dan Timur Tengah.


Untuk pangsa pasar pesawat penumpang, jumlah armada pesawat yang dioperasikan oleh maskapai di Asia Pasifik diprediksi akan meningkat sebanyak dua kali lipat. Yaitu dari 4.960 pesawat saat ini menjadi 12.130 pesawat. Hal ini berdasarkan pada pertumbuhan lalu lintas tahunan yang lebih tinggi dari rata-rata, atau sebesar 5,8%. Serta untuk penggantian hampir sebanyak 3.770 pesawat yang masih beroperasi sampai dengan hari ini.





Sumber : Angkasa

3 komentar:

  1. Memang China sangat menguntungkan untuk tempat investor.Banyak kemudahan untuk investor ,energi dan lahan mereka gampang dan murah.Perizinan juga gampang,tenaga kerja tidak ada demo.Coba bandingkan dengan Indonesia????

    BalasHapus
  2. Kalau kita nkri hanya di jadikan market pasar , karna pusat dan kawan kawan sennang mentahnya sajaa...malas bergerak , airbus dan boeing paham bettul urusan biokrasi di indonesia tidak bituh loby loby nanar untuk membungkam diplomat negara , hasil nya anda nilai sendiri dalam jamgka 5 tahun kedepan lion dan garuda bakal kedatangan 500 pesawat besar , sedang tampa alih tehnologi alaa china dan airbus .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus ada uu ala alutsita yg mengharuskan bila pembelian teknologi sipil kualitas/kuantitas tertentu dibarengi dg alih teknologi. Koordinator dlm urusan ini adl kemenrindag atau kemen
      bumn. Saat ini aturan setoff pembelian pesawat sdh ada dimana mis.nya garuda beli sekian unit dari boing maka bbrp bag pesawat diproduksi pt di. Mamun aturan ini mnrt sy cuma uang recehnya sj blm menyumbang industri yg lbh besar lagi.
      Kalau konsumsi konsumsi indonesia sdh sedmk besar seharusnya daya tawar memaksa prinsipal TOT ke republik ini jg semakin besar. Yg perlu disiapkan dr skr adl infrastruktur/suprastruktur, energi dan sdm pendukung.

      Hapus