ARC-(IDB) : Badan SAR Nasional akhirnya menjatuhkan pilihannya atas pengadaan
helikopter terbaru mereka. Badan SAR memutuskan membeli helikopter dari
PT.Dirgantara Indonesia alias PT.DI. Namun yang mengejutkan adalah,
helikopter itu adalah dari jenis AS-365N3+ Dauphin. Jadi nantinya PT.DI
lah yang akan membuat 2 buah helikopter Dauphin untuk Basarnas.
Kepastian jenis helikopter itu sendiri sudah dikonfirmasi Humas PT.DI.
Dalam kontrak senilai hampir 270 Miliar rupiah tersebut, PT.DI
akan membuat 2 buah heli Dauphin. Dengan pengadaan ini, komitmen
Basarnas menggunakan produk dalam negeri terlihat jelas. Satu hal yang
patut diacungi jempol. PT.DI sendiri sudah memiliki MoU dengan
Eurocopter untuk memproduksi heli buatan eropa tersebut.
Namun demikian, dalam kontrak pengadaan, Pabrikan Agusta juga masuk
sebagai cadangan. Apabila, PT.DI wanprestasi, maka helikopter dari
Agusta akan masuk mengisi arsenal Basarnas.
Di Indonesia, heli Dauphin telah dipakai oleh Polisi Udara. Heli
sejenis juga dipakai oleh US Coast Guard dan berperan sebagai heli SAR.
Dengan demikian, Heli Dauphin dipastikan cocok dan tangguh untuk operasi
SAR.
Pemberdayaan Sang Pengawal Pantai
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki bentang garis pantai
terpanjang di dunia. Sayangnya, koordinasi pengamanan aset tersebut
masih sangat lemah, atau bahkan boleh dibilang tumpang tindih.
Faktanya, garis pantai dan perairan litoral yang dicakupnya memiliki
potensi dan ancaman yang besar. Banyaknya sumber daya alam bahari di
perairan litoral adalah kekayaan alam terbarukan yang sepatutnya dijaga
untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Di sisi lain, ancaman yang bisa
menyelusup lewat perairan pun juga tak kalah banyak. Pembajakan kapal
dagang, teroris yang menggunakan pantai yang tak terjaga untuk
menyelundupkan orang dan senjata, sampai yang paling sering terjadi,
penyelundupan narkotika. Kata orang, belajarlah sampai negeri Cina, maka
kami sajikan pengalaman Amerika Serikat dengan kesatuan US Coast Guard
dalam menanggulangi salah satu masalah terbesar yang terjadi di perairan
litoral, yaitu penyalahgunaan narkotika.
Penyalahgunaan narkotika merupakan akar kejahatan terbesar yang ada
di seluruh dunia. Berdasarkan laporan PBB, nilai narkotika yang
diperdagangkan di muka bumi ini mencapai USD 400 miliar setahunnya, jauh
melebihi anggaran Departemen Pertahanan AS. Masalahnya, nyaris setengah
dari jumlah tersebut mengalir ke AS sebagai negara makmur dan bebas.
Berbagai upaya sudah dilakukan AS untuk memberantas peredaran narkoba
ini, mulai dari operasi khusus anti narkotik di tanah AS yang
dilaksanakan DEA (Drug Enforcement Agency), sampai melancarkan operasi
pemberantasan kokain di Kolombia dengan meminjam tangan pemerintah
melalui proyek ambisius Plan Colombia. Sayangnya, pengaruh kartel dan
pemberontak yang dibiayai obat bius disana terlalu kuat untuk diberantas
tuntas. Apalagi para penyelundup punya seribu satu macam cara untuk
menyelundupkan obat bius ke ranah AS, mulai dari pesawat bermesin
tunggal, powerboat, sampai kapal selam rakitan lokal.
Dari ketiga moda transportasi tersebut, powerboat menjadi pilihan
utama para penyelundup narkotik. Dengan bodi terbuat dari fiberglas
yang ringan, powerboat yang dipasangi mesin berdaya 800PK bisa melesat
dengan kecepatan mencapai 50 knot, apalagi banyak pelapis dan interior
kapal yang dilolosi untuk memperingan bobot sekaligus menampung lebih
banyak paket narkotik. Di mata Coast Guard, kapal-kapal yang dijuluki
go-fast boat ini adalah momok yang terhitung menyebalkan. Kapal patroli
kelas Cutter yang menjadi tulang punggung USCG terlalu lambat dan besar
untuk mengejar powerboat narkotik. Kalaupun berhasil mengejar, powerboat
akan melakukan manuver evasif dengan cara meliuk-liuk dalam kecepatan
tinggi menggunakan mesinnya yang berdaya besar. Kalau sudah lepas,
rata-rata penyelundup akan mengejek awak Cutter dengan
melambai-lambaikan tangannya.
Untuk menghentikan para penyelundup yang merajarela, USCG kemudian
melancarkan operasi rahasia yang disebut operasi New Frontier mulai
tahun 1999. Sesuai dengan namanya, USCG ingin membuka cakrawala baru
dalam cara penanganan para penyelundup. Jawabannya ditemukan dalam
kombinasi apik helikopter dan heavy sniper rifle Barrett M82A3 yang
tergabung dalam Helicopter Interdiction Tactical Squadron (HITRON).
Skuadron rahasia ini merekrut pilot-pilot dan penembak runduk
berpengalaman dari berbagai angkatan, mulai dari penembak runduk USMC
sampai eks pilot 160th SOAR. Mereka semua tergabung dalam skema bertitel
AUF (Airborne Use of Force), yang berhak menggunakan kekuatan letal
yang dianggap perlu untuk menghentikan aliran narkoba ke daratan AS.
Pada awalnya, HITRON diperlengkapi dengan senapan Robar .50, namun
kemudian mereka beralih ke M82A3/M107 karena kecepatan tembaknya mampu
menandingi manuver go-fast boat yang super lincah. Untuk helikopter,
dipilih HH-65 Dolphin (AS365 Dauphin) MH-90 Enforcer dan MH-68 Stingray
yang dimodifikasi khusus dengan dudukan bagi Barrett M82A3. Dudukannya
sendiri berupa sebuah tali sling yang terpasang melintang di pintu
helikopter. Terbuat dari nilon super tebal, kedua ujung sling dikunci
dengan karabiner ke pintu pesawat. Sementara M82A3 dikaitkan ke sling
dengan menggunakan cincin tebal yang ditambahkan ke bawah bipod.
Into the Action
Pagi itu, 16 Agustus 1999, penembak jitu Charlie Hopkins sedang
menyiapkan M82A3nya di dalam ruang senjata. Ia ada di markas HITRON di
USCG base Jacksonville, Florida. Posisi markas ini sangat strategis,
karena dari sini, heli dapat mencakup jalur yang biasa dipergunakan
penyelundup saat membawa barang dagangannya dari wilayah-wilayah kantong
di Kolombia atau Meksiko.
Pria eks marinir berusia 32 tahun asal
Winslow, Maine, ini dijuluki “El Diablo” (sang iblis) oleh
rekan-rekannya karena memperoleh kotak senapan bernomor 999 saat
pembagian jatah senjata. Sepuluh butir peluru AMAX dipasangnya satu
persatu ke dalam kotak magasen tanpa terburu-buru. Ia tahu, sedikit
goresan dari dinding magasen saja, trayektori pelurunya akan berubah.
Setelah memasang magasen ke senapan, giliran EOTech 552 yang jadi
perhatiannya. Boleh dibilang, hanya penembak jitu HITRON yang
memasangkan red dot sight ke sebuah senapan yang sebenarnya mampu
menjangkau jarak 2.000 meter dengan mudah. Pasangan ini adalah sebuah
keniscayaan, mengingat go-fast boat sering membuat manuver ekstrim yang
mendekati atau menjauhi heli USCG dengan tiba-tiba.
Bila memakai
teleskop, alamat mustahil untuk dapat membidik musuh yang berkecepatan
amat tinggi tersebut, apalagi sempat menyetel perbesarannya. Akan
tetapi, kemunculan M82A3 sedikit banyak mengubah taktik penggelaran.
Karena menganut sistem semi otomatis, maka teleskop semacam Leupold M3
kini tidak diharamkan nangkring di atasnya. Kalaupun misi AUF harus
dilaksanakan pada malam hari, sudah ada laser penjejak tak kasat mata
AN/PEQ-2 TPIAL yang nangkring di atas senapan, siap mengarahkan
tembakan.
Setelah membuka selubung, ditekannya tombol on. Sang iblis ingin
memastikan, nyala retikula EOTechnya masih cukup terang, menandakan
bahwa baterainya masih bisa bertahan untuk operasi kali ini. Setelah
puas memastikan bahwa posisi retikula EOTech tidak berubah dari saat
terakhir kali ia menembakannya, ia menaruh M82A3 dan beralih ke FN
M240B, senapan mesin sedang kaliber 7,62 mm yang telah menggantikan M60
di jajaran militer AS baru-baru ini. Dibukanya cover tray M240, dan ia
memasukkan untaian sabuk peluru dan memastikan bahwa pemasangannya sudah
benar. Hopkins kemudian berjalan keluar, membawa kedua senjata maut
itu.
Sementara itu, pilot Dan Roberts bersama kopilotnya sedang melakukan
final check atas HH-65 Dolphin yang menjadi tunggangannya sehari-hari.
Tidak salah pula USCG memperkerjakan Roberts, yang punya pengalaman 17
tahun sebagai pilot AL AS. Selesai mengelilingi heli, ia duduk di kokpit
dan mulai menyalakan mesin.
Bunyi putaran baling-baling yang
lamat-lamat dengan cepat berubah menjadi dengungan halus saat Dolphin
telah mencapai tenaga puncak. Ia melihat Hopkins yang sudah mengenakan
helm menenteng Barrett dengan gagang pembawa pada tangan kanannya,
sementara M240 dipanggul di bahu kirinya.
Bobot gabungan kedua senjata
ini nyaris mencapai 50 kg, namun Hopkins sama sekali tidak
terengah-engah. M82A3 dikunci pada dudukannya, sementara M240 cukup
disandarkan pada kursi. Setelah Hopkins mengencangkan sabuk di kursi
penumpang, Roberts segera power up dan lepas landas ke arah teluk
Florida. Kanal radio yang dibukanya segera dipenuhi trafik dari Cutter
dan juga CN-235-330MSR yang terbang tinggi.
Hari ini ia beruntung,
Cutter menangkap keberadaan sebuah go-fast boat, 200 mil ke arah timur.
Roberts memacu Stingray secepat mungkin. “Bersiaplah” ujar Roberts ke
Hopkins melalui radio, yang dibalas dengan acungan jempol dari belakang.
Dengan kecepatan 350mpj, tidak butuh waktu lama buat heli untuk
mencapai perkiraan posisi penyelundup. Laut yang tenang hari itu amat
membantu, sisa-sisa jejak buih kapal masih terlihat jelas di permukaan.
Nun
di horison, sebuah titik bergerak makin lama makin terlihat besar. Tak
salah lagi, ini pasti perahu penyelundup. Roberts menurunkan ketinggian
Dolphin sampai hanya 20 meter di atas permukaan air, dan melakukan
pendekatan tepat sejajar dari arah belakang. Manuvernya sangat cepat dan
agresif. Dari ketinggian serendah itu, ia bisa melihat awak go-fast
boat panik, tapi tidak berusaha mengurangi laju kapal. Hopkins sendiri
bersiap-siap ke arah pintu kiri, menyiapkan M82A3nya.
Mengharapkan penyelundup berhenti begitu saja sama seperti berharap
hujan lebat turun di Sahara, dan Roberts tahu betul hal itu. Ia membawa
helikopternya ke sisi kanan. Kali ini ia tidak main-main. Kopilotnya
menyalakan lampu sinyal yang berkelip-kelip biru, dan memencet tombol
megafon. “Stop the vessel!” diikuti ucapan dalam bahasa Spanyol, “Pare
su Barco esta es la Guarda Costa!!” (Hentikan kapal, ini Coast Guard!).
Untuk sejenak, para penyelundup terdiam, mungkin memikirkan efek kalimat
yang diucapkan dalam bahasa ibunya sendiri. Tapi keheningan ini tidak
berlangsung lama, karena kemudian mulai terlihat bungkusan-bungkusan
plastik tebal dilemparkan ke luar kapal-para penyelundup sedang berusaha
menghilangkan barang bukti.
Melalui interkom, Roberts berseru, “weapons
check!” yang dijawab kokangan M240B oleh Hopkins. “Commence firing!”
M240B beraksi duluan, memuntahkan salvo 30 peluru yang mendarat di tepat
di depan lambung go-fast boat. Tembakan Hopkins membentuk larikan garis
lurus, sebuah prestasi mengingat kencangnya angin dan getaran dari
mesin helikopter. Tapi rupanya para penyelundup bernyali tinggi.
Pengemudinya malah menambah laju dan berusaha bermanuver ke arah kiri,
menjauh dari heli.
Hopkins memasang kunci M240 dan meletakkannya di
sandaran kursi. Ia beralih ke M82A3nya dan mulai membidik dengan EOTech
552. Window of opportunitynya semakin mengecil bersamaan dengan makin
menjauhnya kapal. Tapi sang iblis ini sangat yakin, seyakin nyala
bulatan titik EOTech yang menyasar mesin Yamaha go-fast. Hanya perlu
satu elusan telunjuk Hopkins pada pelatuk M82A3, dan peluru yang sudah
ada di kamar terpantik dan meletus dengan kecepatan tinggi.
Sang iblis
merasakan sensasi hentakan akibat tembakan senjata andalannya, namun
matanya tetap mampu mengikuti retikula EOTech. Benda yang dari mata
Hopkins tinggal seukuran kotak sepatu itu terhantam telak pada tembakan
pertama. Peluru melesat menembus casing mesin, menghantam blok mesin dan
merusaknya. Hopkins bisa melihat pecahan-pecahan mesin melayang di
udara. Helikopter masih tetap dalam posisi hover, berkat upaya Roberts
menstabilkan Dolphin agar Hopkins memperoleh sudut tembakan terbaik.
Dengan
dua mesin tertinggal, kapal penyelundup mulai melambat. Hopkins tidak
mau lagi memberi kesempatan. Masing-masing mesin yang tersisa dihadiahi
pula dengan peluru .50 in yang kembali menjebol dan menghentikan
jalannya mesin. Para pembajak yang menyadari bahwa nasib baik telah
meninggalkan mereka, hanya bisa mengangkat tangan sebagai pertanda
menyerah. Hopkins tidak mengalihkan bidikan M82A3nya sampai Cutter USCG
tiba di lokasi. Kokain yang sempat dibuang, dikumpulkan kembali. Para
penyelundup tak akan mungkin berkelit, karena semua kejadian terekam
dalam kamera helikopter. Setelah semua tersangka ditahan, kapal go-fast
itu diledakkan dan ditenggelamkan, menyusul nasib rekan-rekan sejawatnya
yang telah menjadi rumpon ikan karena berani melanggar wilayah perairan
AS dan membawa narkotika.
The After Effect
Jika ingin membandingkan, tentu pilihan akan jatuh kepada penembak
runduk militer dengan heavy sniper rifle yang mampu memberikan efek
mematikan pada personel lawan. Cerita mereka terkesan lebih heroik dan
menegangkan.
Namun bagaimanapun juga, para penembak jitu HITRON USCG harus pula diberi aplaus. Bayangkan, menembak blok mesin sebuah kapal yang berkecepatan sangat tinggi, dimana meleset sedikit saja, maka tangki bensin yang akan jadi korban dan alih-alih malah jiwa para penyelundup yang jadi santapan api.
Padahal sebagai institusi sipil semi militer, adalah haram hukumnya bagi USCG untuk menggunakan pendekatan kekerasan sebagai jalan pertama penyelesaian masalah. Apalagi, selama perjuangan rahasianya selama satu dasawarsa, para penembak jitu HITRON telah berhasil menyita kokain berjumlah 150 ton senilai US$9 miliar, atau 20% dari total narkotik yang berhasil diungkap dan ditangkap oleh seluruh agensi federal AS.
Selain itu, secara total, HITRON berhasil menyelesaikan 130 kasus, atau 130 kapal berhasil dihentikan tanpa satupun korban dari pihak penyelundup. Ini semua tentu tidak terlepas dari keakuratan sistem senjata M82A3 yang tak kenal kompromi.
Dan yang terpenting, apa yang dilakukan oleh penembak jitu HITRON telah mampu memberikan efek yang sangat nyata bagi tatanan kehidupan masyarakat banyak, karena ketika peredaran narkotik dapat dibendung, maka tingkat kejahatan akibat pengaruh narkotik dengan sendirinya akan turun.
Sementara itu, tanpa mengecilkan peran penembak runduk militer, setiap peluru yang mereka keluarkan sebagai penuntut nyawa lawan, belum tentu akan mendatangkan manfaat bagi rakyat negara sang penarik pelatuk seperti halnya para penembak jitu HITRON yang ada di garda terdepan pemberantasan narkotik AS.
Namun bagaimanapun juga, para penembak jitu HITRON USCG harus pula diberi aplaus. Bayangkan, menembak blok mesin sebuah kapal yang berkecepatan sangat tinggi, dimana meleset sedikit saja, maka tangki bensin yang akan jadi korban dan alih-alih malah jiwa para penyelundup yang jadi santapan api.
Padahal sebagai institusi sipil semi militer, adalah haram hukumnya bagi USCG untuk menggunakan pendekatan kekerasan sebagai jalan pertama penyelesaian masalah. Apalagi, selama perjuangan rahasianya selama satu dasawarsa, para penembak jitu HITRON telah berhasil menyita kokain berjumlah 150 ton senilai US$9 miliar, atau 20% dari total narkotik yang berhasil diungkap dan ditangkap oleh seluruh agensi federal AS.
Selain itu, secara total, HITRON berhasil menyelesaikan 130 kasus, atau 130 kapal berhasil dihentikan tanpa satupun korban dari pihak penyelundup. Ini semua tentu tidak terlepas dari keakuratan sistem senjata M82A3 yang tak kenal kompromi.
Dan yang terpenting, apa yang dilakukan oleh penembak jitu HITRON telah mampu memberikan efek yang sangat nyata bagi tatanan kehidupan masyarakat banyak, karena ketika peredaran narkotik dapat dibendung, maka tingkat kejahatan akibat pengaruh narkotik dengan sendirinya akan turun.
Sementara itu, tanpa mengecilkan peran penembak runduk militer, setiap peluru yang mereka keluarkan sebagai penuntut nyawa lawan, belum tentu akan mendatangkan manfaat bagi rakyat negara sang penarik pelatuk seperti halnya para penembak jitu HITRON yang ada di garda terdepan pemberantasan narkotik AS.
Sumber : ARC
Ehm hubungannya mau dauphin apa ya?...
BalasHapusbuat basarnas, semoga dengan ditambahnya 2 heli ini membuat basarnas mampu menyelamatkan jiwa lebih banyak lagi.
BalasHapuskapan indonesia punya coast guard? negara laut ga ada coast guard? apa kata dunia??
BalasHapusBelum tahu dia kalau disini sudah ada Bakorkamla sebagai cikal bakal Indonesia Coast Guard. Jadi dunia berkata bahwa di Indonesia sudah ada gitu, wkwkwkwk
BalasHapusmikirin israel.. mikirin palestina... mereka aja nggak ada yang mikirin kita. *PREETT*
BalasHapusLumayan dah dari pada gak punya
BalasHapusYa pikirin aja masalah dalam negeri dan berbenah diri, malu m negara tetangga yg udah maju.
BalasHapusSuatu kemunduran utk PTDI. Harusnya dia dan pemerintah konsisten untuk hanya pengadakan Bell 412EP untuk heli angkut sedang. Jangan gado2 ada Blackhawk, ada Dauphine. Secara bisnis, penjualan pesawat harus mencapai level Break Even Point dlm jml kuantitas yg besar. Shg seluruh elemen kedirgantaraan pemerintah harus mendukung mensukseskan tercapainya BEP Bell 412EP.
BalasHapus