Jumat, Desember 14, 2012
8
ARC-(IDB) : Badan SAR Nasional akhirnya menjatuhkan pilihannya atas pengadaan helikopter terbaru mereka. Badan SAR memutuskan membeli helikopter dari PT.Dirgantara Indonesia alias PT.DI. Namun yang mengejutkan adalah, helikopter itu adalah dari jenis AS-365N3+ Dauphin. Jadi nantinya PT.DI lah yang akan membuat 2 buah helikopter Dauphin untuk Basarnas. Kepastian jenis helikopter itu sendiri sudah dikonfirmasi Humas PT.DI.


Dalam kontrak senilai hampir 270 Miliar rupiah tersebut, PT.DI akan membuat 2 buah heli Dauphin. Dengan pengadaan ini, komitmen Basarnas menggunakan produk dalam negeri terlihat jelas. Satu hal yang patut diacungi jempol. PT.DI sendiri sudah memiliki MoU dengan Eurocopter untuk memproduksi heli buatan eropa tersebut.


Namun demikian, dalam kontrak pengadaan, Pabrikan Agusta juga masuk sebagai cadangan. Apabila, PT.DI wanprestasi, maka helikopter dari Agusta akan masuk mengisi arsenal Basarnas.

Di Indonesia, heli Dauphin telah dipakai oleh Polisi Udara. Heli sejenis juga dipakai oleh US Coast Guard dan berperan sebagai heli SAR. Dengan demikian, Heli Dauphin dipastikan cocok dan tangguh untuk operasi SAR.

Pemberdayaan Sang Pengawal Pantai




Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki bentang garis pantai terpanjang di dunia. Sayangnya, koordinasi pengamanan aset tersebut masih sangat lemah, atau bahkan boleh dibilang tumpang tindih.

Faktanya, garis pantai dan perairan litoral yang dicakupnya memiliki potensi dan ancaman yang besar. Banyaknya sumber daya alam bahari di perairan litoral adalah kekayaan alam terbarukan yang sepatutnya dijaga untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Di sisi lain, ancaman yang bisa menyelusup lewat perairan pun juga tak kalah banyak. Pembajakan kapal dagang, teroris yang menggunakan pantai yang tak terjaga untuk menyelundupkan orang dan senjata, sampai yang paling sering terjadi, penyelundupan narkotika. Kata orang, belajarlah sampai negeri Cina, maka kami sajikan pengalaman Amerika Serikat dengan kesatuan US Coast Guard dalam menanggulangi salah satu masalah terbesar yang terjadi di perairan litoral, yaitu penyalahgunaan narkotika.

Penyalahgunaan narkotika merupakan akar kejahatan terbesar yang ada di seluruh dunia. Berdasarkan laporan PBB, nilai narkotika yang diperdagangkan di muka bumi ini mencapai USD 400 miliar setahunnya, jauh melebihi anggaran Departemen Pertahanan AS. Masalahnya, nyaris setengah dari jumlah tersebut mengalir ke AS sebagai negara makmur dan bebas. Berbagai upaya sudah dilakukan AS untuk memberantas peredaran narkoba ini, mulai dari operasi khusus anti narkotik di tanah AS yang dilaksanakan DEA (Drug Enforcement Agency), sampai melancarkan operasi pemberantasan kokain di Kolombia dengan meminjam tangan pemerintah melalui proyek ambisius Plan Colombia. Sayangnya, pengaruh kartel dan pemberontak yang dibiayai obat bius disana terlalu kuat untuk diberantas tuntas. Apalagi para penyelundup punya seribu satu macam cara untuk menyelundupkan obat bius ke ranah AS, mulai dari pesawat bermesin tunggal, powerboat, sampai kapal selam rakitan lokal.

Dari ketiga moda transportasi tersebut, powerboat menjadi pilihan utama para penyelundup narkotik. Dengan bodi terbuat dari fiberglas yang ringan, powerboat yang dipasangi mesin berdaya 800PK bisa melesat dengan kecepatan mencapai 50 knot, apalagi banyak pelapis dan interior kapal yang dilolosi untuk memperingan bobot sekaligus menampung lebih banyak paket narkotik. Di mata Coast Guard, kapal-kapal yang dijuluki go-fast boat ini adalah momok yang terhitung menyebalkan. Kapal patroli kelas Cutter yang menjadi tulang punggung USCG terlalu lambat dan besar untuk mengejar powerboat narkotik. Kalaupun berhasil mengejar, powerboat akan melakukan manuver evasif dengan cara meliuk-liuk dalam kecepatan tinggi menggunakan mesinnya yang berdaya besar. Kalau sudah lepas, rata-rata penyelundup akan mengejek awak Cutter dengan melambai-lambaikan tangannya.


Untuk menghentikan para penyelundup yang merajarela, USCG kemudian melancarkan operasi rahasia yang disebut operasi New Frontier mulai tahun 1999. Sesuai dengan namanya, USCG ingin membuka cakrawala baru dalam cara penanganan para penyelundup. Jawabannya ditemukan dalam kombinasi apik helikopter dan heavy sniper rifle Barrett M82A3 yang tergabung dalam Helicopter Interdiction Tactical Squadron (HITRON). Skuadron rahasia ini merekrut pilot-pilot dan penembak runduk berpengalaman dari berbagai angkatan, mulai dari penembak runduk USMC sampai eks pilot 160th SOAR. Mereka semua tergabung dalam skema bertitel AUF (Airborne Use of Force), yang berhak menggunakan kekuatan letal yang dianggap perlu untuk menghentikan aliran narkoba ke daratan AS.

Pada awalnya, HITRON diperlengkapi dengan senapan Robar .50, namun kemudian mereka beralih ke M82A3/M107 karena kecepatan tembaknya mampu menandingi manuver go-fast boat yang super lincah. Untuk helikopter, dipilih HH-65 Dolphin (AS365 Dauphin) MH-90 Enforcer dan MH-68 Stingray yang dimodifikasi khusus dengan dudukan bagi Barrett M82A3. Dudukannya sendiri berupa sebuah tali sling yang terpasang melintang di pintu helikopter. Terbuat dari nilon super tebal, kedua ujung sling dikunci dengan karabiner ke pintu pesawat. Sementara M82A3 dikaitkan ke sling dengan menggunakan cincin tebal yang ditambahkan ke bawah bipod.

Into the Action

Pagi itu, 16 Agustus 1999, penembak jitu Charlie Hopkins sedang menyiapkan M82A3nya di dalam ruang senjata. Ia ada di markas HITRON di USCG base Jacksonville, Florida. Posisi markas ini sangat strategis, karena dari sini, heli dapat mencakup jalur yang biasa dipergunakan penyelundup saat membawa barang dagangannya dari wilayah-wilayah kantong di Kolombia atau Meksiko. 

Pria eks marinir berusia 32 tahun asal Winslow, Maine, ini dijuluki “El Diablo” (sang iblis) oleh rekan-rekannya karena memperoleh kotak senapan bernomor 999 saat pembagian jatah senjata. Sepuluh butir peluru AMAX dipasangnya satu persatu ke dalam kotak magasen tanpa terburu-buru. Ia tahu, sedikit goresan dari dinding magasen saja, trayektori pelurunya akan berubah. 

Setelah memasang magasen ke senapan, giliran EOTech 552 yang jadi perhatiannya. Boleh dibilang, hanya penembak jitu HITRON yang memasangkan red dot sight ke sebuah senapan yang sebenarnya mampu menjangkau jarak 2.000 meter dengan mudah. Pasangan ini adalah sebuah keniscayaan, mengingat go-fast boat sering membuat manuver ekstrim yang mendekati atau menjauhi heli USCG dengan tiba-tiba. 

Bila memakai teleskop, alamat mustahil untuk dapat membidik musuh yang berkecepatan amat tinggi tersebut, apalagi sempat menyetel perbesarannya. Akan tetapi, kemunculan M82A3 sedikit banyak mengubah taktik penggelaran. 

Karena menganut sistem semi otomatis, maka teleskop semacam Leupold M3 kini tidak diharamkan nangkring di atasnya. Kalaupun misi AUF harus dilaksanakan pada malam hari, sudah ada laser penjejak tak kasat mata AN/PEQ-2 TPIAL yang nangkring di atas senapan, siap mengarahkan tembakan.


Setelah membuka selubung, ditekannya tombol on. Sang iblis ingin memastikan, nyala retikula EOTechnya masih cukup terang, menandakan bahwa baterainya masih bisa bertahan untuk operasi kali ini. Setelah puas memastikan bahwa posisi retikula EOTech tidak berubah dari saat terakhir kali ia menembakannya, ia menaruh M82A3 dan beralih ke FN M240B, senapan mesin sedang kaliber 7,62 mm yang telah menggantikan M60 di jajaran militer AS baru-baru ini. Dibukanya cover tray M240, dan ia memasukkan untaian sabuk peluru dan memastikan bahwa pemasangannya sudah benar. Hopkins kemudian berjalan keluar, membawa kedua senjata maut itu.


Sementara itu, pilot Dan Roberts bersama kopilotnya sedang melakukan final check atas HH-65 Dolphin yang menjadi tunggangannya sehari-hari. Tidak salah pula USCG memperkerjakan Roberts, yang punya pengalaman 17 tahun sebagai pilot AL AS. Selesai mengelilingi heli, ia duduk di kokpit dan mulai menyalakan mesin. 

Bunyi putaran baling-baling yang lamat-lamat dengan cepat berubah menjadi dengungan halus saat Dolphin telah mencapai tenaga puncak. Ia melihat Hopkins yang sudah mengenakan helm menenteng Barrett dengan gagang pembawa pada tangan kanannya, sementara M240 dipanggul di bahu kirinya. 

Bobot gabungan kedua senjata ini nyaris mencapai 50 kg, namun Hopkins sama sekali tidak terengah-engah. M82A3 dikunci pada dudukannya, sementara M240 cukup disandarkan pada kursi. Setelah Hopkins mengencangkan sabuk di kursi penumpang, Roberts segera power up dan lepas landas ke arah teluk Florida. Kanal radio yang dibukanya segera dipenuhi trafik dari Cutter dan juga CN-235-330MSR yang terbang tinggi.

 Hari ini ia beruntung, Cutter menangkap keberadaan sebuah go-fast boat, 200 mil ke arah timur. Roberts memacu Stingray secepat mungkin. “Bersiaplah” ujar Roberts ke Hopkins melalui radio, yang dibalas dengan acungan jempol dari belakang. Dengan kecepatan 350mpj, tidak butuh waktu lama buat heli untuk mencapai perkiraan posisi penyelundup. Laut yang tenang hari itu amat membantu, sisa-sisa jejak buih kapal masih terlihat jelas di permukaan.

Nun di horison, sebuah titik bergerak makin lama makin terlihat besar. Tak salah lagi, ini pasti perahu penyelundup. Roberts menurunkan ketinggian Dolphin sampai hanya 20 meter di atas permukaan air, dan melakukan pendekatan tepat sejajar dari arah belakang. Manuvernya sangat cepat dan agresif. Dari ketinggian serendah itu, ia bisa melihat awak go-fast boat panik, tapi tidak berusaha mengurangi laju kapal. Hopkins sendiri bersiap-siap ke arah pintu kiri, menyiapkan M82A3nya.

Mengharapkan penyelundup berhenti begitu saja sama seperti berharap hujan lebat turun di Sahara, dan Roberts tahu betul hal itu. Ia membawa helikopternya ke sisi kanan. Kali ini ia tidak main-main. Kopilotnya menyalakan lampu sinyal yang berkelip-kelip biru, dan memencet tombol megafon. “Stop the vessel!” diikuti ucapan dalam bahasa Spanyol, “Pare su Barco esta es la Guarda Costa!!” (Hentikan kapal, ini Coast Guard!). 

Untuk sejenak, para penyelundup terdiam, mungkin memikirkan efek kalimat yang diucapkan dalam bahasa ibunya sendiri. Tapi keheningan ini tidak berlangsung lama, karena kemudian mulai terlihat bungkusan-bungkusan plastik tebal dilemparkan ke luar kapal-para penyelundup sedang berusaha menghilangkan barang bukti. 

Melalui interkom, Roberts berseru, “weapons check!” yang dijawab kokangan M240B oleh Hopkins. “Commence firing!” M240B beraksi duluan, memuntahkan salvo 30 peluru yang mendarat di tepat di depan lambung go-fast boat. Tembakan Hopkins membentuk larikan garis lurus, sebuah prestasi mengingat kencangnya angin dan getaran dari mesin helikopter. Tapi rupanya para penyelundup bernyali tinggi. Pengemudinya malah menambah laju dan berusaha bermanuver ke arah kiri, menjauh dari heli. 

Hopkins memasang kunci M240 dan meletakkannya di sandaran kursi. Ia beralih ke M82A3nya dan mulai membidik dengan EOTech 552. Window of opportunitynya semakin mengecil bersamaan dengan makin menjauhnya kapal. Tapi sang iblis ini sangat yakin, seyakin nyala bulatan titik EOTech yang menyasar mesin Yamaha go-fast. Hanya perlu satu elusan telunjuk Hopkins pada pelatuk M82A3, dan peluru yang sudah ada di kamar terpantik dan meletus dengan kecepatan tinggi. 

Sang iblis merasakan sensasi hentakan akibat tembakan senjata andalannya, namun matanya tetap mampu mengikuti retikula EOTech. Benda yang dari mata Hopkins tinggal seukuran kotak sepatu itu terhantam telak pada tembakan pertama. Peluru melesat menembus casing mesin, menghantam blok mesin dan merusaknya. Hopkins bisa melihat pecahan-pecahan mesin melayang di udara. Helikopter masih tetap dalam posisi hover, berkat upaya Roberts menstabilkan Dolphin agar Hopkins memperoleh sudut tembakan terbaik.


Dengan dua mesin tertinggal, kapal penyelundup mulai melambat. Hopkins tidak mau lagi memberi kesempatan. Masing-masing mesin yang tersisa dihadiahi pula dengan peluru .50 in yang kembali menjebol dan menghentikan jalannya mesin. Para pembajak yang menyadari bahwa nasib baik telah meninggalkan mereka, hanya bisa mengangkat tangan sebagai pertanda menyerah. Hopkins tidak mengalihkan bidikan M82A3nya sampai Cutter USCG tiba di lokasi. Kokain yang sempat dibuang, dikumpulkan kembali. Para penyelundup tak akan mungkin berkelit, karena semua kejadian terekam dalam kamera helikopter. Setelah semua tersangka ditahan, kapal go-fast itu diledakkan dan ditenggelamkan, menyusul nasib rekan-rekan sejawatnya yang telah menjadi rumpon ikan karena berani melanggar wilayah perairan AS dan membawa narkotika.
The After Effect
Jika ingin membandingkan, tentu pilihan akan jatuh kepada penembak runduk militer dengan heavy sniper rifle yang mampu memberikan efek mematikan pada personel lawan. Cerita mereka terkesan lebih heroik dan menegangkan. 

Namun bagaimanapun juga, para penembak jitu HITRON USCG harus pula diberi aplaus. Bayangkan, menembak blok mesin sebuah kapal yang berkecepatan sangat tinggi, dimana meleset sedikit saja, maka tangki bensin yang akan jadi korban dan alih-alih malah jiwa para penyelundup yang jadi santapan api. 

Padahal sebagai institusi sipil semi militer, adalah haram hukumnya bagi USCG untuk menggunakan pendekatan kekerasan sebagai jalan pertama penyelesaian masalah. Apalagi, selama perjuangan rahasianya selama satu dasawarsa, para penembak jitu HITRON telah berhasil menyita kokain berjumlah 150 ton senilai US$9 miliar, atau 20% dari total narkotik yang berhasil diungkap dan ditangkap oleh seluruh agensi federal AS. 

Selain itu, secara total, HITRON berhasil menyelesaikan 130 kasus, atau 130 kapal berhasil dihentikan tanpa satupun korban dari pihak penyelundup. Ini semua tentu tidak terlepas dari keakuratan sistem senjata M82A3 yang tak kenal kompromi. 

Dan yang terpenting, apa yang dilakukan oleh penembak jitu HITRON telah mampu memberikan efek yang sangat nyata bagi tatanan kehidupan masyarakat banyak, karena ketika peredaran narkotik dapat dibendung, maka tingkat kejahatan akibat pengaruh narkotik dengan sendirinya akan turun. 

Sementara itu, tanpa mengecilkan peran penembak runduk militer, setiap peluru yang mereka keluarkan sebagai penuntut nyawa lawan, belum tentu akan mendatangkan manfaat bagi rakyat negara sang penarik pelatuk seperti halnya para penembak jitu HITRON yang ada di garda terdepan pemberantasan narkotik AS.





 Sumber : ARC

8 komentar:

  1. Ehm hubungannya mau dauphin apa ya?...

    BalasHapus
  2. buat basarnas, semoga dengan ditambahnya 2 heli ini membuat basarnas mampu menyelamatkan jiwa lebih banyak lagi.

    BalasHapus
  3. kapan indonesia punya coast guard? negara laut ga ada coast guard? apa kata dunia??

    BalasHapus
  4. Belum tahu dia kalau disini sudah ada Bakorkamla sebagai cikal bakal Indonesia Coast Guard. Jadi dunia berkata bahwa di Indonesia sudah ada gitu, wkwkwkwk

    BalasHapus
  5. mikirin israel.. mikirin palestina... mereka aja nggak ada yang mikirin kita. *PREETT*

    BalasHapus
  6. Lumayan dah dari pada gak punya

    BalasHapus
  7. Ya pikirin aja masalah dalam negeri dan berbenah diri, malu m negara tetangga yg udah maju.

    BalasHapus
  8. Suatu kemunduran utk PTDI. Harusnya dia dan pemerintah konsisten untuk hanya pengadakan Bell 412EP untuk heli angkut sedang. Jangan gado2 ada Blackhawk, ada Dauphine. Secara bisnis, penjualan pesawat harus mencapai level Break Even Point dlm jml kuantitas yg besar. Shg seluruh elemen kedirgantaraan pemerintah harus mendukung mensukseskan tercapainya BEP Bell 412EP.

    BalasHapus