ANALISIS-(IDB) : Tidak lama setelah Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI pada 2001, Indonesia memutuskan membeli pesawat tempur buatan Rusia (Uni Sovyet). Yang dipilih jet tempur Sukhoi.
Keputusan ini didukung oleh alasan yang sangat kuat. Keputusan ini merupakan bentuk lain dari kekecewaan Indonesia atas embargo militer AS pada Indonesia yang berkepanjangan. Pada saat embargo itu diberlakukan, Indonesia hanya mengandalkan jet tempur F-16 buatan General Dynamics, AS. Tetapi akibat embargo tersebut maka skwadron tempur F-16 yang mengalami kerusakan, tidak bisa diperbaiki. Suku cadang yang hanya bisa dibeli pada produsen AS itu, tidak dibolehkan untuk dijual ke Indonesia.
Akibatnya setiap kali jet tempur F-16 mengalami kerusakan, maka yang dilakukan oleh tehnisi TNI AU ialah memperbaikinya dengan cara kanibal. Suku cadang dari pesawat yang masih bagus dipindahkan ke pesawat yang rusak. Makin lama, kanibalisme makin meluas.
Kekuatan armada tempur F-16 Indonesia pun terus melemah dan mengecil. Negara tetangga mulai meremehkan Indonesia. Pernah terjadi sebuah pesawat F-16 yang mengalami kerusakan di Indonesia oleh otoritas AS diminta untuk diperbaiki di AS. F-16 itu pun diterbangkan ke AS.
Tetapi sesampai disana, pesawat itu disarankan untuk diperbaiki di Korea Selatan. Maka pesawat itupun dibawa ke Korea Selatan. Di negara ginseng itu, pesawat bisa diperbaiki. Sayangnya, biaya perbaikannya melebihi harga sebuah pesawat baru jenis yang sama. Indonesia semakin dirugikan.
Tapi bukan itu yang menjadi masalah. Setelah diperbaiki dengan biaya super mahal, pesawat F-16 itu akhirnya tidak diizinkan oleh AS untuk diterbangkan kembali ke Indonesia. Pemerintah khususnya kalangan militer Indonesia merasa dipermainkan oleh AS.
Tetapi dengan posisi tawar Indonesia yang sangat lemah menyebabkan Indonesia tidak bisa memprotes apalagi memaksa AS.
Panglima TNI pada saat itu Jenderal Endriartono Sutarto cukup tersinggung dengan perlakuan AS. Sehingga akibat ketersinggungannya, Indonesia memutuskan mencari alternatif lain. Saat itulah diputuskan membeli jet tempur Sukhoi buatan Rusia.
Keputusan ini disadari membuat pihak AS ikut tersinggung. AS merasa Indonesia mulai bermain mata dengan negara yang menjadi lawannya dalam Perang Dingin. Namun ketersinggungan AS ini tidak membuat batalnya kesepakatan antara Rusia dan Indonesia dalam pengadaan jet Sukhoi dalam konteks program Alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Sejalan dengan berkembangnya industri penerbangan di era pemerintahan SBY, swasta Indonesia juga mengikuti jejak pemerintah. Sejumlah perusahaan penerbangan dalam negeri tertarik membeli pesawat komersil buatan Shukoi yaitu Super Jet 100. Hanya (swasta) Lion Air yang membeli pesawat Boeing buatan AS.
Sukses dalam kerja sama pengadaan jet tempur dan jet komersil, Indonesia kemudian mengembangkan bisnis lainnya. Peluncuran Satelit Telkom 3, juga dilakukan oleh roket Rusia, Proten-M.
Entah secara kebetulan atau semata-mata disebabkan oleh kesalahan manusiawi, ikatan bisnis Indonesia dan Rusia dalam pembelian pesawat jet dan komersil serta peluncuran Satelit Telkom 3, ketiga-tiganya diwarnai oleh kecelakaan ataupun insiden.
Pada 2011, sejumlah teknisi pesawat jet tempur Sukhoi yang bertugas melakukan asembling semua peralatan yang diperlukan armada jet Shukoi, meninggal secara misterius di Pangkalan Udara TNI AU, Makassar, Sulawesi Selatan.
Penjelasan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah RI dan Rusia menyebutkan bahwa kematian para tehnisi Shukoi tersebut karena meneguk minuman keras jenis vodka, di atas batas normal. Sekalipun demikian, kecurigaan bahwa mereka meninggal akibat faktor lain - seperti dibunuh oleh lawan bisnis, tetap saja menjadi buah bibir masyarakat.
Pada Mei 2012, sebuah pesawat Shukoi Super Jet 110 yang dikemudikan oleh Alexandr Yablontsev, seorang pilot berpengalaman, menabrak Gunung Salak Bogor. Pesawat SSJ 100 itu melakukan promosi terbang kepada para calon pembeli dari Indonesia.
Seluruh penumpang termasuk penerbang berpengalaman itu tewas dalam kecelakaan tersebut. Tragedi menimbulkan kecurigaan. Presiden Rusia, Vladimir Putin yang dikenal sebagai bekas anggota agen rahasia KGB, dilaporkan sangat marah atas insiden kecelakaan itu.
Yang pasti kecelakaan SSJ 100 itu berikut tewasnya tehnisi Rusia di Makassar, telah menimbulkan dampak negatif bagi Sukhoi. Produsen Rusia itu mulai dinilai sebagai entiti yang tidak kapabel dan akuntabel. Berbisnis dengan Rusia, memiliki risiko tinggi.
Kurang dari seminggu setelah kecelakaan tersebut, sejumlah media di Moskow melaporkan bahwa kecelakaan itu disebabkan oleh sabotase. Dan pihak yang dituding media Moskow sebagai penyabot adalah personil tentara AS yang bekerja di Pangkalan TNI AU, Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur.
Laporan media Rusia ini cukup mengejutkan. Sebab selama ini tidak pernah terungkap bahwa di salah satu pangkalan militer Indonesia, terdapat personil militer AS yang berperan sebagai pelatih. Disebutkan bahwa personil militer AS di Halim Perdanakusumah itu memiliki alat berbentuk chip. Alat itulah yang ditempelkan di tubuh pesawat (Sukhoi Super Jet 100).
Alat itu kemudian mengganggu semua jaringan kabel yang ada dalam tubuh pesawat yang sedang mengangkasa. Sampai akhirnya pada ketinggian tertentu muncul di layar monitor, data yang membingungkan bagi sang kapten penerbang.
Tapi data yang tidak valid ini tetapi saja menjadi sumber acuan pengambilan keputusan si pilot. Pesawat yang seharusnya menaikan ketinggian oleh monitor justru diperintahkan untuk melakukan penurunan ketinggian. Blaaaaak. Pesawat pun menabrak gunung.
Penyabotan ini ditengarai sebagai bagian dari usaha pihak pesaing industri di AS untuk mencegah Indonesia melakukan pembelian pesawat berteknologi Rusia.
Penyabotan ini mengingatkan sejumlah kecelakaan pesawat buatan Rusia di berbagai tempat, di antaranya dalam Pameran Dirgantara (Air Show) di Paris. Kemudian kandasnya kapal selam bertenaga nuklir di perairan Laut Mati. Media Rusia menuding pihak AS lah yang melakukan penyabotan. Alasannya, persaingan bisnis semata.
Yang teranyar, hilangnya Satelit Telkom 3, milik PT Telkom TBk pada 6 Agustus 2012. Satelit itu diluncurkan oleh roket Rusia dari Kosmodrom Balkonur, Kazakhstan. Tidak lama setelah kejadian itu, Wakil Presiden Rusia, dilaporkan sangat geram dengan insiden itu. Hanya saja tidak disebutkan bahwa pejabat tinggi Rusia itu menunding adanya sabotase pihak ketiga.
Sepuluh hari kemudian Satelit Telkom 3 bisa ditemukan. Kendati begitu sudah terjadi kerugian dan secara psikologis kerja sama bisnis yang baru pertama kalinya dilakukan PT Telkom dengan Rusia, sudah diawali oleh keraguan.
Sejak Telkom meluncurkan satelit telekomunikasi Palapa di 1976, semua peluncuran dilakukan oleh negara dari blok Barat. Yang menjadi langganan tetap adalah NASA (AS) atau Ariane (Prancis). Baru di tahun 2012 satelit Indonesia diluncurkan ke orbit oleh perusahaan Rusia.
Apa yang menjadi penyebab atas hilangnya Satelit Indonesia, tersebut nampaknya bakal tak pernah bisa terungkap secarfa utuh. Misteri penyebab hilangnya Satelit Telkom 3 sama dengan misteri kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 maupun penyebab kematian dari para teknisi Sukhoi di Pangkalan Udara Makassar.
Yang pasti rentetan 'kecelakaan' diatas tidak bisa dianggap sebagai sebuah kecelakaan biasa. Makanya tidak heran bila muncul spekulasi yang mengaitkan kejadian-kejadian itu dengan persaingan AS-Rusia dalam konteks Perang Dingin di bidang ekonomi.
Insiden-insiden itu seakan memberi pesan kepada Indonesia agar jangan pernah coba-coba keluar dari cengkeraman dan pengaruh AS. Kalau mau tanpa resiko, tetaplah dengan "sahabat lama", Paman Sam. [Tamat]
Sumber : Inilah
Itulah sebabnya Indonesia harus menjadi negara besar dan kuat secara ekonomi dan militer, jangan mau didikte Amerika. berkacalah pada Iran, Cuba, Venezuela dll. Dan harus dimulai sekarang, jangan belum apa-apa tergiur lagi beli f16 rongsokan
BalasHapus