Senin, Mei 12, 2014
0
asia-pacific-conflictRepublik Rakyat China  

JKGR-(IDB) : China seakan ingin membangkitkan kembali kegemilangan kekaisaran Tiongkok dengan terus memperbesar diri dalam segala aspek. Menampilkan RRC sebagai kekuatan besar baru dalam peta dunia dan turut andil dalam percaturan politik global. Sebagai bagian dari “blok timur” RRC secara langsung menjadi penyeimbang kekuatan bagi Amerika di pasifik. Kekuatan ekonomi serta status RRC sebagai anggota tetap dewan keamanan PBB serta kapabilitas nuklirnya telah memberikannya daya tawar yang kuat baik itu dalam ekonomi, politik maupun militer.


Banyak negara tunduk dengan khidmat serta merasa sangat perlu untuk mendengarkan bagaimana pendapat Amerika. Demikian karena negara – negara tersebut masih memiliki ketergantungan dalam ekonomi, namun terutama karena Amerika memiliki pentungan besar – besar dan sama sekali tidak merasa segan menggunakannya (seperti dalam kasus Irak dll). Dengan hadirnya RRC sebagai kekuatan penyeimbang memberikan opsi tambahan bagi negara – negara pasifik untuk memilih kutub, serta memberi ruang bagi tawar menawar dengan sang pemain lama, Amerika. Bisa dikatakan pula kehadiran RRC adalah ancaman di luar prediksi dan antisipasi, yang kemudian mengacaukan skenario lama yang telah lama dipupuk oleh Barat.


Namun kehadiran RRC sebagai artis utama di kawasan tidak serta merta menjadi kabar baik. Sebab dengan semakin membesarnya postur RRC menyebapkan kebutuhannya atas ruang gerak pun ikut membesar, termasuk kebutuhannya akan energi dan sumber daya alam. Dan badan yang besar untuk dapat berdiri kokoh haruslah ditopang kaki – kaki yang besar pula. Permasalahannya kaki yang besar akan cenderung menginjak kaki orang lain, sengaja atau tidak disengaja. Didukung kekuatan militer yang besar dan diimbuhi gaya politik ala Tun Tzu menjadikan disaat yang bersamaan wajah China terlihat manis dan menakutkan.


Klaim RRC atas Taiwan, 90% area LCS dan kepulauan Senkaku tentu saja didasari atas motif politik dan ekonomi serta sebentuk upaya untuk “mengembalikan dan mengangkat harga diri nasional. Disinyalir baik LCS maupun Senkaku menyimpan cadangan energi potensial yang akan sangat berguna sebagai cadangan energi masa depan negara manapun yang menguasainya. Dan mengamankan masa depan energi nasional menjadi prioritas RRC bila melihat tingkat pertumbuhan postur negaranya. Sedangkan dengan Taiwan, selain dilatari faktor sejarah juga karena potensi Taiwan untuk menyumbang porsi ekonomi RRC melalui industrinya.


Namun RRC tidak dapat begitu saja mengeksekusi rencananya. Berkaca pada Jerman, sekuat apapun kekuatan militer Hitler jika dikeroyok banyak negara tetap akan keok juga. Mengetahui itu RRC kemudian memainkan kartunya dengan ikut mencelupkan tangannya pada konflik di berbagai belahan dunia, terutama pada konflik semenanjung Korea dan Suriah. Kedua konflik tersebut adalah kartu dagang RRC untuk bernegosiasi dengan Barat perihal Taiwan, Senkaku dan LCS. Selain itu RRC juga terus berusaha merangkul dan menguatkan hubungannya dengan Rusia dengan menawarkan gulali manis yang bernama ASEAN sebagai hadiah ucapan selamat datang. Yaitu sepetak pasar malam bagi bagi gelar dagangan negara “sahabat”.


Kapal Induk China, Liaoning
Kapal Induk China, Liaoning

 Klaim RRC atas wilayah yang dipersengketakan bersandar pada alibi sepihak berupa catatan sejarah dari masa kerajaan ribuan tahun yang lalu. Ini tentu saja bertentangan dengan tata aturan hukum internasional yang berlaku saat ini dan tidak dapat diterima ataupun diakui. 

Sebab dalam perjalanan sejarahnya penguasaan atas suatu wilayah terus berganti tangan. Khususnya LCS, dengan mengandalkan aura kekuatan militernya RRC datang mengusik LCS dan kemudian menciptakan situasi tegang dan cemas diantara negara kawasan. Mengetahui bahwa alibinya tidak akan pernah diterima oleh dunia internasional, sedari awal RRC tidak secara serius menempatkan keberadaannya LCS sebab itu akan sama saja dengan mengundang konfrontasi dunia, sangat tidak menguntungkan.


Yang perlu dilakukan hanyalah secara rutin membuat insiden – insiden kecil di permukaan sekedar untuk menunjukkan klaimnya atas wilayah tersebut, dengan tujuan untuk terus memupuk rasa kehawatiran dan ketegangan di kawasan. Negara yang khawatir dan resah akan cenderung mempersenjatai dirinya dan mudah “diarahkan”, keadaan inilah yang kemungkinan menjadi hadiah persahabatan RRC bagi Rusia, yang pada praktiknya ternyata juga ikut ditumpangi oleh Barat. 

Hasilnya belanja militer di kawasan meningkat pesat diiringi gejala meningkatknya ketidakstabilan politik pada kawasan. Di sisi lain olah pergerakan RRC di LCS secara sistematis telah menggerus perlahan status yuridiksinya, menggeser penguasaan wilayah ke arah Tiongkok dengan terus menjauhkan tangan – tangan pesaing. Istilahnya sekali tepuk dua lalat kena.


Angkatan Laut China (REUTERS/Xinhua/Zha Chunming)
Angkatan Laut China

Tawaran China untuk bernegoisasi tertutup dan bersikeras menolak meja perundingan internasional menyiratkan dengan jelas niat RRC untuk menghindari intervensi asing dan mengamankan alibi klaimnya. Intervensi pihak ketiga akan menyebapkan posisi RRC lemah dan berpotensi keluar tanpa mendapat apa – apa, dan ini akan mendorong China untuk beralih pada opsi militer. Bila ada opsi yang lebih murah dan mudah mengapa harus mengambil yang sulit. 

Dengan hanya mengandalkan aura kekuatan militernya, dalam sebuah perundingan tertutup, RRC dapat menekan lawan dan meminta “previlege” atau imbal tukar guling atas kawasan. Perumpamaannya seperti berkata “Saya tidak akan mengusik LCS dan LCS akan tetap menjadi bagian dari wilayah anda, TAPI sebagai gantinya mari kita bicara tentang bagaimana kita mengolah SDA yang ada di dalamnya”. Taktik ini menawarkan solusi pencapaian tujuan yang jauh lebih efektif dan efisien dari pada model invasi Barat, menaklukkan tanpa berperang.


Melihat gerak gerak itu Barat pun lagi – lagi ikut menumpanginya dengan menawarkan “jasa perlindungan” yang ujung – ujungnya pasti juga sama, imbal hasil pengelolaan SDA yang terkandung di LCS. Oleh karena itulah bisa dikatakan saat ini ASEAN menjadi ajang permainan busuk negara – negara besar. Jika saja PBB dapat berfungsi sebagaimana mestinya, aksi – aksi premanisme multinasional ini tidak akan terjadi. 

 Melemahnya peran PBB sendiri karena negara – negara besar menjauhkan diri dan cenderung memilih aksi hakim sendiri. Aksi yang dipelopori oleh Amerika dan Eropa ini telah menggerus kepercayaan dunia internasional pada PBB. Menjadikan negara – negara kecil bak anak ayam kehilangan induknya, sebab yang diharapkan PBB dapat menjadi tempat mengadu dan menuntut keadilan. Namun pada praktiknya hanya menjadi alat kepentingan negara – negara tertentu saja.


Di luar urusan sengketa wilayah, RRC menyadari betul rencana Amerika untuk mengepung China secara geografis. Apabila RRC tersudutkan maka RRC akan kehilangan kekuatan strategis militernya atas negara – negara kawasan, dan tentunya akan kehilangan “previlege untuk memeras” yang telah dirintisnya. 

Dan dari sinilah potensi perang yang sesungguhnya dapat timbul. Mengetahui itu RRC merasa perlu menempatkan kekuatan militernya di suatu lokasi strategis di luar teritorinya sendiri. Dimana lokasi tersebut dapat berfungsi sebagai pivot point bagi garis depan untuk membuka jalan, menjaga halaman pertahanan, memecah kebuntuan pergerakan dan disaat yang sama lokasi tersebut tidak memiliki kapabilitas untuk memberikan perlawanan atau menjadi ancaman balik dikemudian hari.

Dan tempat yang memenuhi segala kriteria tersebut adalah Timor Leste. Jika RRC berhasil menempatkan sebagian kekuatannya di Timor maka RRC akan memiliki kemampuan untuk melakukan manuver – manuver strategis di front selatan dengan mencegat Autralia secara langsung, mengontrol pergerakan “kuda hitam” Indonesia sekaligus antisipasi atas pangkalan sementara Amerika di Filipina.

Manuver tiga kapal perang RRC yang beberapa waktu lalu menuju selatan melewati Indonesia dan menyusuri bagian utara Australia lalu kembali lagi. Secara tidak langsung menyatakan bahwa mata perhatian China juga tertuju keselatan dan mereka memilliki kemampuan untuk mencapainya. Disatu sisi kejadian ini juga menunjukkan dimana posisi Indonesia dengan RRC, dimana jika situasi LCS memburuk maka Australi-lah yang pantas merasa khawatir, sebab Indonesia mungkin tidak akan berbaik hati menjadi pagar bagi Australia di utara.


map-pacific

Alasan mengapa RRC belum melakukan pergerakan militer nyata terutama atas Taiwan dan Senkaku kemungkinan karena China masih belum memiliki teknologi kunci dan faktor – faktor pendukung untuk melakukan itu. 

Seperti misalnya teknologi pertahanan udara hypersonic dan teknologi hulu ledak nuklir berkecepatan tinggi seperti Bulava. Namun RRC telah mulai membangun teknologi pendukungnya seperti jaringan satelit nasional, sistem pertahanan pantai terpadu anti kapal induk, rudal anti satelit dan jaringan bungker rudal nuklir bawah tanah yang ditempatkan secara rahasia di utara. 

Sedangkan faktor pendukungnya adalah dari segi ekonomi, indikatornya adalah apabila GDP RRC telah melampaui Amerika dimana secara teoritis berarti perekonomian China telah berada diatas Amerika, yang juga dapat berarti RRC telah memiliki cukup dana untuk membiayai perang besar. Satu diantara kedua syarat tersebut dapat menjadi titik awal pergerakan RRC dikemudian hari.


Secara militer RRC terus membangun kekuatan otot – ototnya, bermula dari mengejar kuantitas lalu kemudian meningkatkan kualitasnya, sehingga kini Pai Tsu Chen telah berevolusi menjadi naga. Dalam pepatah Cina dikatakan, “dua harimau tidak bisa hidup di satu gunung yang sama”. Artinya baik RRC ataupun Barat salah satunya harus ada pihak yang kalah dan menang. 

China memiliki ambisi yang sangat besar namun ia sabar dan cerdik serta pandai berhitung. Saat ini dimana Barat sedang mengalami kelesuan ekonomi akan menjadi peluang bagi RRC untuk mendesak tujuannya selangkah lebih maju. Sementara itu Amerika akan bertindak lebih “low profile” mengingat kondisi perekonomian dalam negerinya yang belum pulih, ditambahi banyak proyek dalam negeri yang menyerap banyak biaya dan beban fiskal peninggalan petualangan perang Bush ikut menjadi pekerjaan rumah tersendiri. 

Bagaimana sepak terjang kedua negara ini akan menentukan seperti apa wajah masa depan dunia ini kedepannya. Dan nampaknya dunia di masa mendatang akan sekali lagi kembali diwarnai dengan cerita persaingan antara blok besar Barat dan Timur. 

Bersambung….



Sumber : JKGR

0 komentar:

Posting Komentar