JAKARTA-(IDB) : Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia meminta Duta Besar Australia
untuk datang pada Jumat (1/11). Dubes Australia akan dimintai keterangan
resmi seputar pemberitaan tentang operasi penyadapan di Kedubes
Australia di Jakarta.
Ini adalah buntut pemberitaan harian Australia, Sydney Morning Herald (SMH), pada 31 Oktober 2013 tentang keberadaan dan penggunaan fasilitas penyadapan di Kedubes Australia di Jakarta dan negara-negara lain di kawasan.
Dalam siaran pers yang dirilis Kamis (31/10), Kemlu RI menyatakan, sebagai negara tetangga dan bersahabat, tindakan seperti yang diberitakan sama sekali tidak mencerminkan semangat hubungan bersahabat yang selama ini terjalin. Tindakan ini pun merupakan sesuatu yang sama sekali tidak dapat diterima Pemerintah Indonesia.
Ray Marcelo, Counsellor Bidang Public Affairs Kedubes Australia di Jakarta, mengatakan, ”Sudah menjadi kebiasaan lama bahwa kami tidak memberi komentar atas masalah intelijen.”
Di Bali, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman mengatakan, pihaknya akan mendalami informasi mengenai keberadaan alat penyadapan di Kedubes Amerika Serikat (AS) di Jakarta.
”Jika informasi itu benar, kami akan meminta Kementerian Luar Negeri untuk bertindak lebih lanjut,” kata Marciano
BIN, kata Marciano, meminta Kedubes AS memberikan klarifikasi mengenai hal itu. BIN juga sedang mengumpulkan bukti-bukti mengenai keberadaan alat penyadap dan kemungkinan dilakukannya penyadapan oleh intelijen asing di Indonesia.
Tentang hal ini, Atase Pers Kedubes AS di Jakarta Troy Pederson mengatakan, Charge d’Affaires Kedubes AS Kristen Bauer telah berbicara dengan Menlu RI Marty Natalegawa mengenai hal ini. ”Kami akan terus membicarakan isu-isu ini melalui saluran diplomatik dengan mitra dan sekutu kami.”
Masih seputar buntut pemberitaan harian SMH, China menuntut penjelasan AS. Menurut laporan SMH, kedubes-kedubes Australia, termasuk yang di Beijing, dipakai sebagai bagian dari operasi memata-matai yang dipimpin AS.
Pengumpulan sinyal-sinyal intelijen itu, menurut SMH, terjadi di kedubes-kedubes Australia di Jakarta, Bangkok, Hanoi, Beijing, dan Dili. Demikian pula dengan komisi tinggi (kedubes) di Kuala Lumpur dan Port Moresby.
Sebuah dokumen Badan Keamanan Nasional AS (NSA) yang dibocorkan mantan karyawannya, Edward Snowden, dan diterbitkan majalah Jerman Der Spiegel mengungkapkan program pengumpulan bahan intelijen sensitif dilakukan di kedubes-kedubes dan konsulat-konsulat AS dan dari misi diplomatik mitra intelijen ”Lima Mata”, termasuk Australia, Inggris, dan Kanada.
”China sangat prihatin mengenai laporan ini dan meminta agar AS memberikan klarifikasi dan penjelasan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying.
Jakarta yang pertama
Menyambung laporan harian SMH, seorang analis, Philip Dorling, menulis di koran itu Kamis bahwa itu sudah lama dilakukan Australia, terutama pada Indonesia, dan itu dimanfaatkan dalam diplomasinya.
Menurut Dorling, Kedubes Australia di Jakarta merupakan lokasi stasiun luar negeri pertama Badan Intelijen Australia.
Catatan harian yang tak diterbitkan dari seorang diplomat senior memperlihatkan Australian Defence Signals Bureau, yang sekarang menjadi Defence Signals Directorate, secara rutin membaca kawat-kawat diplomatik Indonesia sejak pertengahan tahun 1950-an.
Adapun Direktur Eksekutif Research Institute for Democracy and Peace (RIDEP) Anton Ali Abbas menuturkan, aksi sadap-menyadap komunikasi sudah lazim terjadi dalam konteks diplomatik. ”Ini bukan yang pertama. KBRI kita di Canberra, Australia, juga pernah disadap,” Anton mengingatkan.
Dia menjelaskan, dalam konteks intelijen, penyadapan adalah kegiatan yang umum dilakukan. Meskipun demikian, kegiatan penyadapan adalah operasi ilegal.
Ini adalah buntut pemberitaan harian Australia, Sydney Morning Herald (SMH), pada 31 Oktober 2013 tentang keberadaan dan penggunaan fasilitas penyadapan di Kedubes Australia di Jakarta dan negara-negara lain di kawasan.
Dalam siaran pers yang dirilis Kamis (31/10), Kemlu RI menyatakan, sebagai negara tetangga dan bersahabat, tindakan seperti yang diberitakan sama sekali tidak mencerminkan semangat hubungan bersahabat yang selama ini terjalin. Tindakan ini pun merupakan sesuatu yang sama sekali tidak dapat diterima Pemerintah Indonesia.
Ray Marcelo, Counsellor Bidang Public Affairs Kedubes Australia di Jakarta, mengatakan, ”Sudah menjadi kebiasaan lama bahwa kami tidak memberi komentar atas masalah intelijen.”
Di Bali, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman mengatakan, pihaknya akan mendalami informasi mengenai keberadaan alat penyadapan di Kedubes Amerika Serikat (AS) di Jakarta.
”Jika informasi itu benar, kami akan meminta Kementerian Luar Negeri untuk bertindak lebih lanjut,” kata Marciano
BIN, kata Marciano, meminta Kedubes AS memberikan klarifikasi mengenai hal itu. BIN juga sedang mengumpulkan bukti-bukti mengenai keberadaan alat penyadap dan kemungkinan dilakukannya penyadapan oleh intelijen asing di Indonesia.
Tentang hal ini, Atase Pers Kedubes AS di Jakarta Troy Pederson mengatakan, Charge d’Affaires Kedubes AS Kristen Bauer telah berbicara dengan Menlu RI Marty Natalegawa mengenai hal ini. ”Kami akan terus membicarakan isu-isu ini melalui saluran diplomatik dengan mitra dan sekutu kami.”
Masih seputar buntut pemberitaan harian SMH, China menuntut penjelasan AS. Menurut laporan SMH, kedubes-kedubes Australia, termasuk yang di Beijing, dipakai sebagai bagian dari operasi memata-matai yang dipimpin AS.
Pengumpulan sinyal-sinyal intelijen itu, menurut SMH, terjadi di kedubes-kedubes Australia di Jakarta, Bangkok, Hanoi, Beijing, dan Dili. Demikian pula dengan komisi tinggi (kedubes) di Kuala Lumpur dan Port Moresby.
Sebuah dokumen Badan Keamanan Nasional AS (NSA) yang dibocorkan mantan karyawannya, Edward Snowden, dan diterbitkan majalah Jerman Der Spiegel mengungkapkan program pengumpulan bahan intelijen sensitif dilakukan di kedubes-kedubes dan konsulat-konsulat AS dan dari misi diplomatik mitra intelijen ”Lima Mata”, termasuk Australia, Inggris, dan Kanada.
”China sangat prihatin mengenai laporan ini dan meminta agar AS memberikan klarifikasi dan penjelasan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying.
Jakarta yang pertama
Menyambung laporan harian SMH, seorang analis, Philip Dorling, menulis di koran itu Kamis bahwa itu sudah lama dilakukan Australia, terutama pada Indonesia, dan itu dimanfaatkan dalam diplomasinya.
Menurut Dorling, Kedubes Australia di Jakarta merupakan lokasi stasiun luar negeri pertama Badan Intelijen Australia.
Catatan harian yang tak diterbitkan dari seorang diplomat senior memperlihatkan Australian Defence Signals Bureau, yang sekarang menjadi Defence Signals Directorate, secara rutin membaca kawat-kawat diplomatik Indonesia sejak pertengahan tahun 1950-an.
Adapun Direktur Eksekutif Research Institute for Democracy and Peace (RIDEP) Anton Ali Abbas menuturkan, aksi sadap-menyadap komunikasi sudah lazim terjadi dalam konteks diplomatik. ”Ini bukan yang pertama. KBRI kita di Canberra, Australia, juga pernah disadap,” Anton mengingatkan.
Dia menjelaskan, dalam konteks intelijen, penyadapan adalah kegiatan yang umum dilakukan. Meskipun demikian, kegiatan penyadapan adalah operasi ilegal.
Sumber : Kompas
Apa reaksi sby pasti bencis letoi lembek takut lunak. Lebih baik butuh pemerintah yang berani keras tantang orang LN yg mencoba merong rong indonesia
BalasHapusPaling SBY bilang "saya turut Prihatin" Thats All.....!
BalasHapusPengalihan perhatian agar tidak seluruh mata dunia tertuju ke AS,dgn kata lain Washington meminta Canberra agar mengungkap sisi intelijennya,gilanya Amrik ini masa Negara Sahabatnya (eropa) aja dimakan??? Untuk mencegah tindakan Teroris apa sampai harus menyadap Pimpinan negara Sahabat tsb? Hahaaa hampir menyerupai karakter IBLIS...Waspadalah..!! Untuk jadi Peringatan bagi Para Pimpinan NKRI.
BalasHapusPrabowo jawaban nya....penerus semangat bung karno
BalasHapussaatnya indonesia memanfaatkan skill-skill muda yang banyak bertaburan soal sadap-menyadap... :D
BalasHapus