Project terbaru MBT Turki |
JAKARTA-(IDB) : Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq berpendapat, alutsista TNI, khususnya untuk kebutuhan tank, jangan hanya berkiblat pada Belanda. Masih ada negara lain yang bisa dijadikan pilihan. Turki adalah salah satunya, mengingat sistem persenjataan Turki berstandar NATO.
"Dimana Turki pun telah menawarkan skema kerja sama dengan industri pertahanan nasional. Sayangnya, Kemhan belum serius menindaklanjutinya, meski sudah ada MoU di level Presiden dan Menhan," tegasnya.
Menurut Mahfudz, prioritas modernisasi alutsista harus diberikan ke penguatan kemampuan pengamanan wilayah maritim dengan prinsip matra terpadu. Selain untuk memperkuat keamanan nasional, modernisasi alutsista juga mesti memberi dampak ekonomi, yaitu menekan potensi kerugikan ekonomi akibat lalu-lintas ilegal di kawasan maritim Indonesia, termasuk di tiga jalur ALKI.
"Jadi, modernisasi alutsista Rp 150 triliun tidak akan punya nilai tambah, tanpa diikuti kebijakan revitalisasi industri pertahanan nasional. SDM BUMNIP (Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan) kita pun saat ini banyak dan sekarang tersebar di banyak negara. Karena itu, saatnya kita berdayakan mereka. End-user produk BUMNIP banyak. Ada TNI, Polri, Kemhub, KKP, BNPT, BNPB, Kemenkominfo, ddan lainnya. Total belanja modal mereka tiap tahun besar," ujarnya.
Secara ekonomi dan politik,kata Mahfudz, posisi Rusia, Cina, dan Turki akan terus menguat. Sehingga Indonesia perlu kembangkan kerja sama dengan negara-negara ini, selain tetap melanjutkan kerja sama dengan AS, Eopa, dan Korsel. Ini implementasi dynamic equilibrium yang digagas Presiden SBY. Kalau tidak, maka itu hanya sekadar retorika.
Kebijakan politik luar negeri dari Kemlu juga harus jadi bagian integral dari kebijakan pengadaan alutsista TNI dan juga bagi Polri.
"Sayang selama ini Kemlu belum banyak terlibat atau dilibatkan. Fenomena menguatnya Asia, khususnya Asia Timur harus dikaji dan ditindaklanjuti secara khusus," tegasnya.
Di Asean misalnya, neraca perdagangan RI dengan Singapura dan Thailand defisit sangat besar. Secara total Indonesia pun mengalami defisit dengan Asean.
"Belum lagi Asean plus tiga dan plus enam. Makin berat defisitnya. Cina sudah berhasil ikat Asean dengan CAFTA. Sementara Indonesia masih belum mampu identifikasi aktor-aktor kekuatan yang harus jadi mitra strategis secara ekonomi dan politik. Kita pun masih asyik dengan panggung diplomasi politik di arena regional dan multilateral.Kalo saja kapasitas ekonomi kita belum bisa jadi leverage, minimal kita tidak boleh defisit dalam national self-pride," pungkasnya.
"Dimana Turki pun telah menawarkan skema kerja sama dengan industri pertahanan nasional. Sayangnya, Kemhan belum serius menindaklanjutinya, meski sudah ada MoU di level Presiden dan Menhan," tegasnya.
Menurut Mahfudz, prioritas modernisasi alutsista harus diberikan ke penguatan kemampuan pengamanan wilayah maritim dengan prinsip matra terpadu. Selain untuk memperkuat keamanan nasional, modernisasi alutsista juga mesti memberi dampak ekonomi, yaitu menekan potensi kerugikan ekonomi akibat lalu-lintas ilegal di kawasan maritim Indonesia, termasuk di tiga jalur ALKI.
"Jadi, modernisasi alutsista Rp 150 triliun tidak akan punya nilai tambah, tanpa diikuti kebijakan revitalisasi industri pertahanan nasional. SDM BUMNIP (Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan) kita pun saat ini banyak dan sekarang tersebar di banyak negara. Karena itu, saatnya kita berdayakan mereka. End-user produk BUMNIP banyak. Ada TNI, Polri, Kemhub, KKP, BNPT, BNPB, Kemenkominfo, ddan lainnya. Total belanja modal mereka tiap tahun besar," ujarnya.
Secara ekonomi dan politik,kata Mahfudz, posisi Rusia, Cina, dan Turki akan terus menguat. Sehingga Indonesia perlu kembangkan kerja sama dengan negara-negara ini, selain tetap melanjutkan kerja sama dengan AS, Eopa, dan Korsel. Ini implementasi dynamic equilibrium yang digagas Presiden SBY. Kalau tidak, maka itu hanya sekadar retorika.
Kebijakan politik luar negeri dari Kemlu juga harus jadi bagian integral dari kebijakan pengadaan alutsista TNI dan juga bagi Polri.
"Sayang selama ini Kemlu belum banyak terlibat atau dilibatkan. Fenomena menguatnya Asia, khususnya Asia Timur harus dikaji dan ditindaklanjuti secara khusus," tegasnya.
Di Asean misalnya, neraca perdagangan RI dengan Singapura dan Thailand defisit sangat besar. Secara total Indonesia pun mengalami defisit dengan Asean.
"Belum lagi Asean plus tiga dan plus enam. Makin berat defisitnya. Cina sudah berhasil ikat Asean dengan CAFTA. Sementara Indonesia masih belum mampu identifikasi aktor-aktor kekuatan yang harus jadi mitra strategis secara ekonomi dan politik. Kita pun masih asyik dengan panggung diplomasi politik di arena regional dan multilateral.Kalo saja kapasitas ekonomi kita belum bisa jadi leverage, minimal kita tidak boleh defisit dalam national self-pride," pungkasnya.
Sumber : Jurnamen
0 komentar:
Posting Komentar