Rabu, April 06, 2011
0
Presiden RI pertama Ir. Soekarno
GLOBAL-(IDB):(Mengenang Pidato Bung Karno Di Sidang Umum PBB, 30 September 1960)
“Lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu… tetapi dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak...”

Langkahnya tegap. Tampak aura kepercayaan diri yang tinggi terpancar. Dengan seragam putih-putihnya yang khas. Dan kepalanya berkopiah hitam dengan dimiringkan sedikit kekiri sebagai tanda bentuk  ‘perlawanan’. Bung Karno berbicara di depan Majelis Umum PBB pada tanggal 30 September 1960. Dengan nadanya yang bergetar dan mendapatkan sejumlah applaus dari para audiens, Bung Karno menawarkan gagasan briliannya, “To Build the World A New”.

“Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian den kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l'homme par l'homme et de nation par nation.”


Kemudian Bung Karno melanjutkannya, “….lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu… tetapi dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak...”
Dengan retorika yang sangat cerdas, setiap pernyataan Bung Karno mendapat sambutan hangat dari negara-negara berkembang yang ketika itu hadir. Mereka menganggap pernyataan tersebut dianggap relevan mewakili sikap dan pandangannya.

Bung Karno mengutarakan sebuah gagasan briliannya, dimana salah satunya adalah dengan pembagian dunia menjadi dua blok. Yaitu blok Old Established Forces (OLDEFOS) yang diartikan sebagai kekuatan lama yang masih bercokol, yang secara kasar diartikan sebagai negara imperalis dan kapitalis. Kemudian blok The New Emerging Forces (NEFOS) yang diartikan sebagai kekuatan baru yang sedang lahir, dengan menggalang kekuatan dari negara-negara berkembang yang masih memperjuangkan kemerdekaannya.

Adanya dua kekuatan ketika itu, yaitu blok kapitalis yang berkubu pada Amerika Serikat, dan blok sosialis yang berkubu pada Uni Soviet, dimana equilibrium global ketika itu mau tidak mau hanya diatur antara kedua kekuatan tersebut. Mereka hanya meyakini bahwa terciptanya sebuah perdamaian dunia diukur melalui sebuah perlombaan adu senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perimbangan dunia dalam mengamankan dunia dari ancaman instabilitas ini hanya berdasarkan dari perhitungan secara matematis. Pada akhirnya itulah yang menjadi alasan lahirnya NATO dan Pakta Warsawa.

Sebenarnya gagasan Bung Karno ini sekaligus menolak analisis yang disampaikan Mao Tse Tung dengan konsep “Dunia Ketiga”. Mao membagi dunia menjadi tiga blok. Pertama blok negara-negara industri kapitalis. Kemudian kedua blok negara-negara sosialis, dan ketiga adalah blok “Dunia Ketiga”. Memang istilah “Dunia Ketiga” ini menjadi perbendaharaan kata politik dunia hingga saat ini. Akan tetapi perkembangan pergulatan politik dunia saat ini lebih akurat seperti yang digambarkan oleh Bung Karno. Semenjak runtuhnya Uni Soviet, negara-negara eks blok sosialis kini berperan sebagai pemerintahan progresif negara berkembang. Sementara Kuba dan Vietnam tidak lagi mencerminkan sebagai blok sosialis tetapi bergerak sebagai bagian perlawanan negara berkembang.

Pergulatan Politik Dunia Kini

Tsunami politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara begitu menyentak negara-negara Barat. Besarnya protes rakyat yang mengguncang kawasan tersebut membuat perubahan perimbangan kekuasaan. Negara Barat, yang sejatinya dikatagorikan dalam blok oldefos, mulai merasakan kekhawatiran dan kecemasannya. Dengan menggunakan berbagai cara mereka berusaha untuk tetap menancapkan pengaruhnya di kawasan ini.

Bisa dilihat ketika negara barat merasa tidak lagi mampu ‘menguasai’ Khadafi, mereka menggunakan resolusi DK PBB No. 1973 untuk melakukan invasi ke Libya. Bahkan kemungkinan akan mempersenjatai kaum revolusi Libya. Kemudian pada kondisi di Bahrain, mereka memiliki sikap yang berbeda dalam menyikapi intervensi militer asing untuk menumpas aksi protes rakyat yang dilakukan secara damai. Bahkan cenderung mendiamkannya.

Tindakan semau-maunya yang dilakukan oleh negara barat untuk menyelematkan kepentingannya yang berada di negara berdaulat ini bukan kali pertama. Pada September 2010, dalam serbuan yang berlangsung di Provinsi Ghazni sebelah barat daya Kabul, militer pimpinan Pakta Atlantik Utara (NATO) melancarkan serangan udaranya dalam serangan udara selama pertempuran dengan Taliban. Tak kalah ironisnya, pada tahun 2003 dengan alasan Irak memiliki senjata pemusnah massal, Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak. Ratusan ribu orang tewas, rezim Saddam Hussein pun runtuh.

Dunia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada kekuatan yang mampu memainkan equilibrium global. Dunia hanya digiring oleh Amerika dan para sekutunya untuk ‘memahami’ intervensi militer yang dilakukannya di beberapa negara berdaulat. Bila hal ini terus berlanjut, maka analisis Hendrajit dalam tulisannya “Krisis Timur Tengah, Minyak dan Operasi Siluman” bahwa apa yang sedang terjadi di dunia saat ini, termasuk yang sedang bergolak di Libya dan Bahrain, merupakan operasi siluman dari hajatan kedua pengusaha minyak, yaitu konglomerat besar Rockefeller dan Rothschild, terus berjalan tanpa dapat dihentikan.

Gagasan NEFOS Saatnya Di Hadirkan

Dunia sudah seharusnya tidak lagi menutup mata terhadap apa yang dilakukan oleh negara-negara barat. Sudah saatnya perlu dihadirkan kekuatan penyeimbang yang mampu menjaga stabiitas perdamaian dunia.  Harus ada kekuatan yang mampu menghentikan, atau paling tidak mengimbangi, dari keangkuhan negara industri kapitalis yang merupakan perwujudan dari negara-negara blok oldefos. Perlu adanya penataan ulang dunia yang lebih baik. Penataan yang jauh dari upaya-upaya penginjak-injakkan hak bangsa, penataan dunia yang lebih berprikemanusiaan.

Indonesia, sebagai pelopor yang melahirkan gagasan The New Emerging Forces (NEFOS) dari putra bangsa terbaiknya, harus memulai menawarkan gagasannya. Sebagai sebuah negara besar, dengan wilayah geopilitik yang sangat strategis dan sumber daya alam yang sangat melimpah, bukan hal yang tidak mungkin dilakukan Indonesia  dalam  memimpin perubahan sebuah peradaban dunia yang baru.

Pada tingkatan kawasan terkecil, sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia masih menjadi penentu. Indonesia, relatif bersahabat dengan semua negara. Mulai dengan Rusia, Amerika Serikat, China, Jepang, korea, India, Iran, dan negara-negara lainnya. Indonesia mampu menjadi kekuatan penyeimbang tersebut.

Beberapa fakta yang tidak mungkin bisa dibantah lagi adalah, pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia. Kedua, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia setelah India dan AS sendiri. Ketiga, Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia.  Dan yang keempat, Indonesia adalah negara terbesar di antara sepuluh negara anggota ASEAN.

Dengan ‘modal’ sebagai negara muslim terbesar, Indonesia memiliki kesempatan emas memainkan peranan penting dalam upaya mencari jalan perdamaian di kawasan Timur Tengah yang saat ini penuh dengan konflik. Bersahabatnya Indonesia dengan Amerika Serikat dan sekaligus dengan Iran, merupakan point plus dalam menjembatani sebagai mediator pada konflik kedua negara tersebut. Belum lagi pada kondisi konflik di Palestina, dimana Indonesia memiliki hubungan yang relative baik dengan kedua kubu yang sedang bertikai, yaitu kubu Fatah (yang didukung oleh Barat) dengan kubu Hamas (yang didukung oleh Iran dan Syria).

Inilah saatnya Indonesia untuk berperan aktif dalam pergelutan politik internasional, tidak selalu berperan dengan gaya ‘low profile’ nya yang selama ini dijalankan. Dengan mengambil peran sebagai kekuatan keseimbangan, Indonesia bisa bergerak dari satu pijakan ke pijakan lain tanpa perlu khawatir. Justru mampu berdiri di depan dalam menciptakan keseimbangan di kawasan.

Gagasan NEFOS yang disampaikan Bung Karno sangatlah tepat untuk segera diimplementasikan di era kini. Gagasannya yang visioner sangatlah akurat dalam menggambarkan kondisi politik dunia saat ini. Sekiranya Bung Karno masih hidup, bisa kita bayangkan betapa gembira hatinya karena melihat bila perjuangan revolusionernya yang telah ditekuni selama hidupnya dalam penentangan kolonialisme dan imperialisme mulai terlihat dan adanya kemajuan-kemajuan yang cukup besar.

Inti dari seluruh gagasan Bung Karno secara jelas terangkum dalam pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955.

“Dan saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita di berbagai wilayah Asia-Afrika mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektuil, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang  asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat…
Di mana, bilamana dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah yang jahat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi."


Begitulah. Pidato Bung Karno inilah yang menjiwai lahirnya Dasa Sila Bandung, khususnya bagian D sub I-a, yang akhirnya terumuskan dalam kalimat: “Kolonialisme dalam segala manifestasinya adalah suatu kejahatan yang harus segera diakhiri.”

Sumber: Global

0 komentar:

Posting Komentar