NG-(IDB) : Berdasarkan Konvensi Chicago 1944, setiap pesawat udara yang
melakukan penerbangan harus menunjukkan tanda pendaftaran dan
kebangsaan. Tanda tersebut diberikan oleh negara di mana pesawat
tersebut didaftarkan.
Tanda pendaftaran atau registrasi dan kebangsaan Indonesia terdiri
dari lima huruf, yakni dua huruf "PK" (tanda kebangsaan Indonesia) dan
tiga huruf selanjutnya, contohnya "GEF" (tanda pendaftaran).
Antara tanda kebangsaan dan pendaftaran dipisahkan dengan tanda
penghubung, misalnya PK-GEF (Garuda/Indonesia), 9M-AFA
(AirAsia/Malaysia), PH-KZH (KLM/Belanda), A6-EBF (Emirates/Uni Emirat
Arab).
Singkatan dari "PK" adalah Pay Kolonie (bahasa Prancis,
dieja pei koloni) atau negara jajahan (Belanda). Kenapa tidak pakai dua
huruf "RI" (Republik Indonesia)? Tanda huruf tersebut pada masa silam
sudah lebih dulu diberikan pada Rusia, yang kemudian pada era Uni
Soviet, semua yang berbau Barat dibuang.
Tanda tersebut diganti dengan huruf Cyrillic Rusia "CCCP" atau huruf
latinnya "SSSR". Setelah Union of Soviet Socialist Republics (USSSR)
kolaps, tanda kebangsaan Rusia sekarang berhuruf "RA".
Tidak semua tanda kebangsaan yang diterbitkan oleh badan PBB
International Civil Aviation Organisation (ICAO) tersebut dengan dua
huruf, seperti F-WWOW (F dari Prancis) dan empat huruf berikutnya adalah
tanda pendaftaran yang melekat pada bagian belakang badan superjumbo
A380 pabrik Airbus, D-ACRF (D diambil dari kata Deutschland/Jerman) dan
empat huruf selanjutanya adalah tanda pendaftaran.
Selain itu, ada pula tanda kebangsaan tersebut diawali dengan angka
dan huruf, contohnya 9V untuk Singapura, 9M untuk Malaysia, 9K untuk
Kuwait, 9N untuk Nepal, 9G untuk Ghana, 4X untuk Israel, 2S untuk
Bangladesh dan 7T untuk Aljazair.
Pesawat Kena Pajak Barang Mewah, Orang Malas Registrasi Di Indonesia
Pemerintah masih mengenakan pajak tinggi untuk pembelian pesawat dan
helikopter. Untuk pembelian dari produsen di dalam dan luar negeri,
setidaknya perusahaan atau masyarakat di Indonesia harus membayar Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) senilai 50% dari nilai barang.
Direktur PT Dirgatara Indonesia (PTDI) (Persero) Budi Santoso menjelaskan akibat dari pengenaan ini membuat kepemilikan pesawat dan helikopter dengan registrasi Indonesia sangat minim.
"Orang males dengan registrasi di Indonesia jadi pesawatnya didaftarkan di luar negeri kemudian disewa ke Indonesia karena nggak kena pajak," ucap Budi pekan lalu.
Budi mencontohkan, ketika Badan SAR Nasional (Basarnas) membeli 2 helikopter ke PT DI senilai Rp 262,98 miliar. Basarnas pun wajib membayar pajak tambahan senilai Rp 130 miliar.
Menurutnya maskapai asal Indonesia lebih memilih menyewa pesawat atau helikopter karena terbebas dari pajak barang mewah. Sementara di luar negeri seperti Singapura kepemilikan helikopter dan pesawat sangat banyak karena di negara tetangga Indonesia itu membeli pesawat dan helikopter dianggap menjadi barang modal dan bukan barang mewah sehingga terbebas dari pajak barang mewah.
"Banyak pesawat kita leasing pesawat dari luar negeri. leasing nggak kena kita cuma sewa," jelasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Indonesia Chatib Basri mengaku akan mempelajari pengenaan pajak tinggi terhadap pembelian pesawat dan helikopter dari produsen di dalam dan luar negeri.
"Nanti saya pelajari dulu, saya belum tahu mesti dilihat impact-nya dan efektifitasnya seperti apa," kata Chatib.
Hal senada juga disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, ia akan mengecek aturan pengenaan pajak barang mewah hingga 50% untuk setiap pembelian helikopter dan pesawat. Diakuinya hal ini bisa berdampak terhadap kurang kompetitifnya produk pesawat PTDI.
"Saya akan cek aturan ini," terang Dahlan.
Direktur PT Dirgatara Indonesia (PTDI) (Persero) Budi Santoso menjelaskan akibat dari pengenaan ini membuat kepemilikan pesawat dan helikopter dengan registrasi Indonesia sangat minim.
"Orang males dengan registrasi di Indonesia jadi pesawatnya didaftarkan di luar negeri kemudian disewa ke Indonesia karena nggak kena pajak," ucap Budi pekan lalu.
Budi mencontohkan, ketika Badan SAR Nasional (Basarnas) membeli 2 helikopter ke PT DI senilai Rp 262,98 miliar. Basarnas pun wajib membayar pajak tambahan senilai Rp 130 miliar.
Menurutnya maskapai asal Indonesia lebih memilih menyewa pesawat atau helikopter karena terbebas dari pajak barang mewah. Sementara di luar negeri seperti Singapura kepemilikan helikopter dan pesawat sangat banyak karena di negara tetangga Indonesia itu membeli pesawat dan helikopter dianggap menjadi barang modal dan bukan barang mewah sehingga terbebas dari pajak barang mewah.
"Banyak pesawat kita leasing pesawat dari luar negeri. leasing nggak kena kita cuma sewa," jelasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Indonesia Chatib Basri mengaku akan mempelajari pengenaan pajak tinggi terhadap pembelian pesawat dan helikopter dari produsen di dalam dan luar negeri.
"Nanti saya pelajari dulu, saya belum tahu mesti dilihat impact-nya dan efektifitasnya seperti apa," kata Chatib.
Hal senada juga disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, ia akan mengecek aturan pengenaan pajak barang mewah hingga 50% untuk setiap pembelian helikopter dan pesawat. Diakuinya hal ini bisa berdampak terhadap kurang kompetitifnya produk pesawat PTDI.
"Saya akan cek aturan ini," terang Dahlan.
Sumber : NationalGeographic
Jadi kita sekarang masih pakai kode PK (negara jajahan) dan nggak pernah protes? Nggak pernah minta ganti kode?? Kayaknya kita memang betah punya panggilan "negara jajahan".
BalasHapusdi benerin lagi dunk...
BalasHapuskirain dulu PK tuh "Perdana Kusuma", karena dosen Penerbangan dulu pas kuliah PK tuh PErdana Kusuma. Mungkin dia sebernya tau kepanjangan sebenernya cuma malu aja kalo diungkapkan akronum sebenarnya.
BalasHapusDosen yang bijak ! (h)
Hapus