JAKARTA-(IDB): Pemerintah mengutamakan jalur negosiasi dengan perompak Somalia untuk membebaskan 20 Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah kapal (ABK) Kapal MV Sinar Kudus. Apalagi, pemilik kapal, PT Samudera Indonesia Tbk, bersedia membayar tebusan.
Namun banyak pihak yang menyarankan agar pemerintah mengirim pasukan khusus untuk menyerang perompak Somalia. Dalam hal ini, pemerintah bisa belajar dari Prancis maupun Korsel yang mengirimkan pasukan komandonya ke Teluk Aden untuk membebaskan sandera warga negara mereka.
Seperti dikutip dari Newsweek (2009), pengarang buku mengenai perompak 'Dangerous Waters', John S Burnett, kini para perompak Somalia enggan lagi membajak kapal berbendera Prancis maupun Amerika Serikat.
Dalam periode 2008-2009, perompak Somalia membajak tiga kapal pesiar milik warga Prancis. Pemerintah Prancis awalnya mau bernegosiasi, bahkan dalam kasus pertama mereka membayar uang tebusan agar kapal dan krunya dibebaskan. Namun lama-lama pemerintah Prancis gemas juga, hingga akhirnya mereka ambil jalan keras, menyerang para perompak.
Kini di Puntland, kampung perompak di timur Somalia, ada istilah 'Opsi Prancis'. Para perompak, menurut Burnett, sangat menghindari opsi ini karena mereka tahu risikonya. "Mereka tahu pasukan komando Prancis bakal mengejar mereka. Dan mereka tahu kalau pasukan komando Prancis yang mengejar mereka tidak akan selamat," kata Burnett.
Pascakejadian tiga kapal Prancis itu, kini perompak Somalia menghindari merompak kapal berbendera Prancis. Menurut Burnett, Prancis mengirimkan pesan kuat pada para perompak: Jangan berani-berani merompak warga Prancis! Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy, juga memainkan sentimen nasionalisme dalam menghadapi tekanan perompak Somalia.
Menurut Burnett ada sejumlah strategi dasar dalam menghadapi tuntutan para perompak Somalia. Pertama, tetaplah bernegosiasi dengan para perompak. Biarkan para perompak berbicara apa saja terkait uang tebusan maupun sandera.
Kedua, sangat penting untuk tidak membiarkan perompak membawa kapal ke daratan. Bila ini terjadi, maka negosiasi akan cukup rumit. Karena sandera sudah disembunyikan di kota, tidak lagi di kapal. Garis pantai adalah titik paling krusial yang harus dihindari bila ingin membebaskan sandera dan menyerang perompak.
Komandan Guillaume Goutay yang memegang kendali kapal perang Prancis L'Aconit yang menyerang perompak Somalia dua tahun lalu menegaskan perompak juga akan mengulur waktu. Mereka butuh waktu membawa kapal ke pelabuhan, semisal pelabuhan Eyl, di Puntland.
Dalam contoh kasusnya, Goutay membebaskan kapal Tanit yang dibajak 70 mil laut dari daratan. Kapal Prancis bisa mendekat ke Tanit. Mereka bisa melihat pemilik kapal Florent Lemacon, istrinya, dan anaknya yang balita. Ada dua rekan Lemacon. Dan ada lima perompak Somalia bersenjata lengkap.
"Ingat! Kita sedang berhadapan dengan orang yang tidak mau mendengar," kata Goutay. Negosiasi terus berlangsung. Tapi Tanit terus mendekat ke pelabuhan. Ketika jaraknya tinggal 20 mil laut, Goutay memerintahkan armadanya menyerang sejenak kapal Tanit. Serangan ini merobohkan layar kapal. Sekaligus membuat panik para perompak. Mereka mengancam akan membunuh seluruh penumpang.
Goutay tetap tenang. Prancis kembali bernegosiasi dengan perompak. Namun mempertimbangkan jarang ke pelabuhan yang makin dekat, akhirnya Presiden Sarkozy memerintahkan pasukan komandonya bergerak cepat. Pasukan elit itu menyerang saat subuh dengan sigap. Sejumlah penembak jitu melumpuhkan tiga perompak yang berjaga-jaga. Penumpang lainnya selamat. Tapi dua perompak menyandera Lemacon dalam sebuah kabin. Lemacon tewas tertembak, kemungkinan oleh pasukan Komando Prancis.
Sumber: Republika