JKGR-(IDB) : Matahari siang seperti belum puas melihat rerumputan yang meradang
kepanasan. Bunga-bunga penghias jalanan lunglai terkulai tak berdaya,
sementara sungai dan waduk-waduk sudah lama kering kerontang.
Di
beberapa tempat di sekitar Kuala Lumpur dan Selangor, secara bergantian
mengalami giliran jatah aliran air bersih di rumah-rumah penduduk.
Kondisi kering telah lama menghantui masyarakat ibukota Malaysia, Kuala
Lumpur. Ironis, berita-berita di layar kaca justru lebih sering
memperlihatkan bencana banjir yang kerap terjadi di Jakarta.
Sehingga
pertanyaan menggelitik seringkali terdengar di kalangan masyarakat etnis
China yang pemukimannya mengalami pemutusan aliran air bersih, apakah
hujan ini sudah dibeli semua oleh orang seberang? Hehehe..! Maklum,
dalam tahun ini, Malaysia mengalami penurunan curah hujan yang drastis.
Sering dilakukan usaha merekayasa hujan, tapi dari sepuluh kali hasil
uji coba, hasilnya hanya dikisaran 10-20% saja. Apa yang salah dengan
iklim di Malaysia?
Inilah sesungguhnya awal diskusi yang melibatkan para pakar teknologi
di Kementerian Teknologi Hijau Malaysia. Harus diakui, meskipun
kementerian ini memiliki anggaran yang relatif besar, namun fasilitas
yang dimilikinya, ternyata jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan
fasilitas milik LIPI. Dari sini pula, diskusi merambat kepada sektor
kepemilikan dan penguasaan teknologi. Tidak diketahui jelas apa alasan
yang mendasarinya, tiba-tiba Indonesia dijadikan sebagai objek
pembanding. Padahal, biasanya Malaysia lebih memilih Thailand sebagai
pembandingnya, mengingat kedua negara ini memiliki kesamaan letak
geografis, yakni merupakan bagian dari mainland of Asia. Dari mulai
sejarah kepemilikan satelit, penguasaan teknologi aeroangkasa hingga
kepemilikan radar dan penguasaan teknologi yang menyertainya.
Hingga
pada akhirnya diskusi ini menyeret pada satu keyakinan bersama bahwa
Indonesia telah menguasai sebuah teknologi yang tidak mereka kuasai.
Sayang, saya bukan orang yang ahli dalam bidang aeroangkasa dan
meteorologi, sehingga kurang bisa merangkai sebab akibat dari mengapa
akhirnya mereka bisa sampai pada kesimpulan bahwa Malaysia harus segera
mengakuisi CN235MPA versi terbaru produksi IAe(sebutan PTDI dalam bahasa
Inggris). Selain itu mereka juga berminat dengan produk N295, dengan
syarat semua spect N295 yang mereka pesan nanti harus sama persis dengan
produk sejenis yang telah dimiliki Indonesia. Padahal sehari
sebelumnya, Sultan Brunei belum berani memesan pesawat N295 ini, selama
produk tersebut belum dibangun seluruhnya di Indonesia. Ada apakah
gerangan, kira-kira seperti itulah pertanyaan kecil yang sering hinggap
di pikiran.
Tadi siang, tiba-tiba handphone saya bergetar. Sebuah email dari
seorang sahabat, dengan lantang mengucapkan selamat atas keberhasilan
PTDI dalam merebut minat dari para petinggi di lingkungan TUDM. Dia juga
tidak lupa meminta maaf karena selama kepergiaannya selama ini tidak
pernah berkirim kabar.
Tentu saja kebanggaan besar tiba-tiba menyeruak dalam hati saya
ketika dia menambahkan bahwa ternyata US sendiri lebih mengandalkan
pesawat ini untuk mengontrol perairannya. Bahkan lebih handal dari
produk sejenis yang dikeluarkan oleh Italia dan Swedia, atau bahkan
dengan produk USnya sendiri..! Hahaha..! Nah lho? Masih belum yakin juga
dengan kemampuan insinyur PTDI ?.
Dia menambahkan bahwa CN235 Malaysia yang telah diupgrade pada tahun
2009, konon kini telah menjadi tulang punggung bagi pengawasan wilayah
udara dan laut Malaysia yang tidak kecil nilainya. Latma Ex Thypoon
beberapa waktu lalu adalah medan pembuktian pesawat mungil ini. Dalam
diam, Malaysia telah menyusupkan pesawat ini dalam latihan. Ada
keunggulan yang diluar perkiraan dan sangat membanggakan, sehingga
MinDef merekomendasikan IAe sebagai pemasok tunggal bagi pengadaan
keperluan armada yang telah ditentukan.
Terima kasih Pak Syafrie Syamsudin dan Pak Budi Santoso, yang tidak
pernah lelah memperkenalkan buah karya anak bangsa ini ke persada dunia.
Semoga kelak bisa menjadi sebuah kebanggaan bersama. Amien..! Salam
hangat bung..!
Sumber : JKGR