CRIMEA-(IDB) : Ketegangan yang terus
meningkat di Ukraina, lebih khusus lagi di Semenanjung Crimea menjelang
referendum yang akan digelar Minggu (16/3/2014) terus meningkat.
Berbagai manuver politik dan militer kedua Barat dan Rusia terus terjadi
dan semakin memanaskan situasi.
Serentetan negosiasi untuk mengakhiri ketegangan politik yang
dilakukan AS, Uni Eropa dan Rusia selalu berujung kegagalan. Puncaknya
saat Rusia menggunakan hak veto-nya untuk menggagalkan rencana resolusi
DK PBB yang mengecam referendum Crimea.
Di sisi lain, kedua pihak terus menyusun kekuatan militernya. NATO
mengirimkan sejumlah pesawat tempur dan pesawat pengintai AWACS ke
negara-negara Baltik. Sementara AS menggelar latihan militer di darat
dengan Polandia dan di Laut Hitam bersama Bulgaria dan Romania.
Sebelumnya, Rusia bahkan menggelar latihan militer besar-besaran di
wilayah barat negeri itu yang berbatasan dengan Ukraina. Selain itu,
Rusia juga mengirim belasan jet tempur Sukhoi Su-27 ke Belarus yang
bertetangga denganUkraina. Bahkan dikabarkan puluhan prajurit Rusia
kini sudah menduduki sebuah desa di wilayah Ukraina.
Pertanyaannya, apakah ketegangan politik dan militer ini akan
berujung pada sebuah perang baru? Atau pertanyaan lebih ekstrem adalah
apakah wilayah sekecil Crimea bisa memicu Perang Dunia III?
Crimea dari segi wilayah yang hanya 26.100 kilometer persegi dan
penduduk hanya dua juta jiwa memang hanyalah wilayah kecil di pojok
barat daya Ukraina. Namun, jika kita menengok sejarah dunia dalam 100
tahun terakhir, dua perang dunia yang berpusat di Eropa, dipicu dari
sebuah negara atau wilayah yang kecil.
Kita tengok Perang Dunia I (1914-1918). Perang yang banyak disebut
“perang yang akan mengakhiri semua perang” itu merupakan sebuah konflik
bersenjata paling masif pertama di dunia. Secara total melibatkan 14
negara dan mengakibatkan 40 juta orang tewas.
Perang ini dimulai dengan pembunuhan Archduke Franz Ferdinand dari
Kekaisaran Austro-Hongaria pada 28 Juni 1914 di Sarajevo,
Bosnia-Herzegovina. Pembunuh sang pewaris tahta Austro-Hongaria itu
adalah Gavrillo Princip seorang pemuda Serbia-Bosnia.
Gavrillo Princip, yang gagal bunuh diri usai membunuh Franz
Ferdinand, akhirnya ditangkap dan diadili. Di pengadilan dia mengaku
menjadi bagian gerakan Pan-Slavia yang bercita-cita mendirikan negara
untuk etnis Slavia. Di wilayah Austro-Hongaria banyak tinggal warga
beretnis Slavia, sehingga dengan pembunuhan ini memicu gerakan
anti-Slavia yang kemudian menjadi gerakan anti-Serbia.
Sementara itu, pembunuhan Franz Ferdinand itu membuat
Austria-Hongaria gusar dan memberi ultimatum selama 48 jam kepada
Kerajaan Serbia untuk memberi izin para penyidik Austria-Hongaria
menyelidiki pembunuhan itu.
Meski Kerajaan Serbia memenuhi semua tuntutan Austro-Hongaria soal
penyidikan pembunuhan Franz Ferdinand, namun tetap saja tidak memuaskan
pihak Austro-Hongaria tidak puas. Sebab, hubungan politik
Austria-Hongaria dan Serbia sudah memburuk ketika pada 6 Oktober 1908,
Austro-Hongaria menganeksasi Bosnia-Herzegovina.
Meski saat itu
perang bisa dicegah setelah Pakta Berlin ditandatangani yang isinya
mengakui Bosnia-Herzegovina sebagai bagian dari Austro-Hongaria, namun
kekaisaran itu tetap "gatal" ingin menyerbu Serbia.
Sehingga, pembunuhan Franz Ferdinand ini akhirnya bisa menjadi
pembenar dan alasan bagi Austro-Hongaria untuk mengirimkan pasukannya
untuk menyerbu Serbia pada 28 Juli 1914. Invasi ke Serbia ini kemudian
membuat Rusia, Inggris, dan Perancis menyatakan perang terhadap
Austro-Hongaria yang saat itu sudah bersekutu dengan Jerman.
Sejarah mencatat, tepat satu bulan setelah pembunuhan Franz
Ferdinand, Perang Dunia I akhirnya pecah dan baru berakhir empat tahun
kemudian setelah mengakibatkan 40 juta orang, militer dan sipil, tewas.
Begitulah, Serbia dan Bosnia-Herzegovina yang nota bene adalah negara
kecil “sukses” menyeret negara-negara besar melakoni sebuah perang
besar. Situasi yang mungkin sama dengan Crimea saat ini, sebuah wilayah
kecil, berpenduduk kecil, namun sarat kepentingan negara-negara besar.