BANTEN-(IDB) : Dari 30-an orang Indonesia yang bekerja di Boeing, banyak yang menduduki posisi vital. Siapa saja mereka?
Mimpi buruk itu menghampiri Agung H Soehedi seiring dengan terjadinya serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat. Pria kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, 8 Mei 1963 tersebut harus kembali kehilangan pekerjaan.
Ya, tragedi yang menewaskan lebih dari tiga ribu jiwa itu membuat banyak orang menghindari transportasi udara. Akibatnya, permintaan pesawat menurun drastis dan itu memaksa Boeing, pabrik pesawat tertua di dunia yang berbasis di Seattle, Amerika Serikat, tempat Agung bekerja selepas dari IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara, kini PT Dirgantara Indonesia-red), mesti merumahkan banyak karyawan. Agung termasuk salah satunya.
Karena sudah membawa istri dan empat anaknya boyongan ke Seattle, Agung pun mesti memutar otak untuk bertahan hidup. Alumnus Itenas, Bandung, yang keluar dari IPTN sebelum pabrik pesawat terbang satu-satunya di Asia Tenggara itu kolaps akibat krisis moneter, itu pun akhirnya rela bekerja apa saja untuk menafkahi keluarga.
Menjadi tukang cuci mobil, sopir shuttle bus, pengatur dan pembuat taman, tukang memperbaiki rumah, hingga mendirikan perusahan perumahan, semuanya pernah dia jalani. Nah, pada usaha terakhirnya itu Agung menemukan peruntungan. “Usaha saya dan partner maju,” katanya.
Tapi, tetap saja kesuksesan itu tak mampu menghapus kecintaan Agung kepada dunia aeronautika. Meski dua kali mengalami pengalaman pahit, ketika pada 2006 Boeing menawarinya untuk bekerja lagi seiring pulihnya pasar pesawat, Agung tak butuh waktu panjang untuk mengiyakan. “Partner saya tak mau melepas, tapi saya bersikeras kembali ke Boeing,” ujarnya.
Pilihan itu terbukti tepat. Di industri pesawat yang didirikan William Boeing itu karir Agung terus menanjak, meski bisnis bersama sang partner tadi tetap dijalankan. Kini alumnus SMAN 3 Bandung tersebut menduduki jabatan structural analysis engineer. Pesawat produksi Boeing yang pernah ditangani sektor stress analysis-nya adalah Boeing 737 dan Boeing 757.
Agung adalah satu di antara sekitar 30 orang Indonesia yang kini berkarir di Boeing. Mayoritas jebolan IPTN alias PT DI. Mereka tersebar di berbagai departemen. Bukan hanya di urusan teknis, tapi ada juga yang bekerja di bagian keuangan.
Dari ke-30 orang itu, tak sedikit pula yang menduduki posisi bergengsi atau berpengaruh karena skill yang mereka miliki. Agung, misalnya, ketika hendak dipindah ke pembuatan Boeing 777, dengan tegas menolak. “Saya bilang mau keluar kalau dipaksa pindah,” kisahnya. “Bos saya bilang, sama sekali tak terpikirkan Anda keluar dari Boeing,” lanjutnya.
Itu menunjukkan kapasitas dan kualitas Agung yang sangat dihargai di Boeing. Sama halnya dengan Tonny Soeharto. Lulusan ITB 1982 itu menduduki posisi lead engineer-MB production support engineering Boeing 777. Pada pembuatan pesawat berbadan lebar untuk penerbangan lintas benua yang sangat diminati pasar itu, Tonny dipercaya menjadi pimpinan di salah satu bagian yang vital. “Tak terbayangkan kita orang Indonesia membawahi orang-orang Amerika di Boeing. Alhamdulillah, itu bisa kami capai di sini,” kata Tonny dengan mata berkaca-kaca.
“Mereka respek dan menghargai kemampuan kita, orang Indonesia. Saya juga dengan bangga bilang sebagai alumnus IPTN,” lanjut pria yang mempersunting gadis asal Bangkalan, Madura, itu.
Agung dan Tonny memang sama-sama mengakui bahwa apa yang mereka capai saat ini tak lepas dari latar belakang pengalaman mereka di IPTN. Bekerja di perusahaan yang identik dengan mantan Presiden BJ Habibie itu sangat berjasa dalam pembentukan kualitas dan kapabilitas. Dengan kata lain, IPTN telah menempa mereka hingga memiliki kualitas dunia untuk bidang teknologi pembuatan pesawat. “Di sini (Boeing), menyebut IPTN tidak meragukan. Memudahkan untuk diterima,” kata Agung dan Tonny yang ditemui di tempat terpisah di Seattle.
Bukan alumnus IPTN pun tak kalah membanggakan prestasinya. Misalnya, Bramantya Djermani. Dia kini menjadi satu-satunya orang Indonesia yang terlibat dalam pembuatan pesawat Boeing tercanggih, Boeing 787 Dreamliner.
Dreamliner menggunakan bahan dasar komposit. Pesawat itu paling ringan di antara semua jenis pesawat komersial yang pernah ada dan paling hemat bahan bakar. Meski belum dilepas ke pasaran, pesanan kepada Boeing sudah menumpuk, mencapai 800-an. “Untuk saat ini masih dalam tahap persiapan,” kata Bram yang langsung bekerja di Boeing begitu lulus dari University of Foledo, Ohio.
Dalam pembuatan pesawat berjuluk Boeing Next Generation itu, Bram memegang jabatan industrial engineer. “Saya berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Untuk karir saya, dan mudah-mudahan menyumbang bagi nama baik Indonesia,” katanya.
Atas kemampuan masing-masing, orang-orang Indonesia di Boeing rata-rata sudah hidup mapan di negeri Paman Sam. Gaji pokok mereka berkisar USD 200.000 per bulan (sekitar Rp 1,86 miliar). Itu belum termasuk tunjangan dan penghasilan tambahan lain-lain.
Agung, contohnya, punya dua rumah yang megah. “Rumah saya seperti jadi tempat berkumpul mahasiswa asal Indonesia dan tempat penitipan barang-barang mereka,” katanya saat menjamu penulis di salah satu rumahnya di kawasan Way, Kent, Washington.
Tonny juga sudah berhasil menuntaskan kuliah anak tertuanya di University of Washington (UW), Seattle. Si sulung yang beristrikan perempuan Vietnam itu kini mengikuti jejak ayahnya sebagai engineer. Anak kedua memilih jurusan arsitek di perguruan tinggi yang sama. “Alhamdulillah, kami juga terus berusaha membantu siapa saja anak Indonesia yang kuliah di sini (Seattle dan sekitarnya),” ujar Tonny.
Di luar Agung, Tonny, dan Bram, masih ada Kholid Hanafi yang berada di bagian pembuatan Boeing 737 dan Maurita Sutedja yang berkarir di departemen keuangan. Sulaeman Kamil, mantan direktur teknologi IPTN dan pernah menjadi asisten Menristek, kepala BPPT, juga bekerja di Boeing. “Intinya, kami semua bangga,” kata Bram. “Kami membuktikan bahwa orang Indonesia tidak kalah dengan warga Amerika atau bangsa-bangsa lain di dunia,” lanjutnya.
Namun, di balik kebanggaan itu juga tersembul kegundahan. “Sedih karena semua kemampuan iptek yang kami miliki tak bisa dikembangkan atau dipakai di Tanah Air,” kata Tonny.
“Potensi dan kemampuan anak-anak Indonesia tak kalah. Sayang ndak bisa diaplikasikan di Tanah Air. Tidak ada ruang dan wadah yang cocok bagi penerapan dan pengembangan teknologi dirgantara di Indonesia,” tambah Bram.
Kalau saja IPTN tak kolaps dan konsistens mengembangkan produksi seperti CN315, N250, dan N2130, Agung yakin perusahaan pelat merah itu akan menguasai pasar yang kini dikangkangi ATR. ATR adalah anak perusahaan saingan Boeing, Airbus, yang bermarkas di Toulouse, Prancis.
Sumber: RadarBanten
0 komentar:
Posting Komentar