ARTILER-(IDB) : Saat ini, teknologi informasi (TI) sudah menyentuh setiap aspek
kehidupan manusia. Teknologi informasi tidak hanya dipakai dalam bidang
industri ataupun ekonomi, tetapi juga di bidang pertahanan dengan
implikasi yang sangat luas terutama di tinjau dari perumusan strategi
maupun penerapan manajemen.
Implikasi teknologi informasi dilihat dari sisi strategi dan perumusan
doktrin menyebabkan terjadinya pergeseran apa yang oleh Clausewitz
(seorang tentara dan intelektual Prussia) disebut sebagai "Center of Gravity",
yaitu dari konsep penguasaan medan kritik menjadi penguasaan informasi.
Oleh karenanya hakekat ancaman pun, bergeser dari ancaman yang datang
dari negara (state threat) melalui penggunaan senjata pemusnah massal
menjadi kelompok (non state threat) dengan penguasaan teknologi tinggi.
Sedangkan dari sisi penerapan manajemen terjadi pergeseran paradigma
dari manajemen yang semula terfokus pada kualitas bergeser menuju
reengineering dan terakhir mengacu pada kecepatan (velocity) melalui
konsep Knowledge Management (KM).
Teknologi Informasi dan Strategi
Dewasa
ini perkembangan teknologi informasi bukan lagi merupakan evolusi
tetapi sudah merupakan lompatan sangat cepat yang mengagumkan. Data
tahun 90-an menunjukan bahwa peningkatan kemampuan komputer menjadi dua
kali lipat setiap delapan belas bulan, dan jumlah pengguna internet
meningkat dua kali lipat setiap setiap tahunnya. Serat optik tunggal
mampu menghantar satu setengah juta percakapan dalam waktu yang
bersamaan, sedangkan compact disk (CD) mampu menyimpan data sangat
besar. Kemajuan semacam ini tentunya membawa implikasi yang sangat luas
dalam bidang pertahanan terutama dalam perumusan strategi dan hakekat
ancaman.
1. Perumusan Strategi
Informasi merupakan aset yang strategis bagi setiap organisasi.
Inilah yang menyebabkan mengapa banyak pemerintahan ataupun badan
tertentu menghabiskan jutaan bahkan miliaran dolar untuk mendapatkan
informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ancaman
potensial bagi keamanan mereka. Tanpa informasi yang tepat dapat
menyebabkan kegagalan khususnya dalam bidang pertahanan, sehingga
kemampuan untuk menyediakan informasi potensial merupakan faktor yang
sangat menentukan dari kekuatan pertahanan suatu negara.
Dalam
doktrin militer, informasi merupakan bagian integral dari komando dan
kendali yang merupakan kunci setiap operasi. Dengan demikian maka setiap
langkah yang diambil ditujukan untuk mencapai keunggulan informasi.
Kemajuan
teknologi informasi menyebabkan terjadinya pergeseran konsep
memenangkan perang. Pada awalnya, cukup dengan konsep Komando dan
Kendali (Kodal/K2), yang pada prinsipnya merupakan hubungan intern
antara komandan dengan anak buahnya dalam tugas operasi. Tetapi
kemudian, ternyata komunikasi dengan kesatuan lain dalam suatu operasi
menjadi suatu keharusan. Maka lahirlah konsep baru yaitu Komando,
Kendali, dan Komunikasi (K3). Dengan teknologi komunikasi yang semakin
mutakhir, keterangan atau data intelijen (K3I)/Command, control,
communications and intelligence (C3I). Di era 90 an, dengan kemajuan
teknologi komputer lahirlah konsep Komando, Kendali, Komunikasi,
Komputer dan Intelijen (K4I). Meskipun di Indonesia, K4I masih menjadi
angan-angan tetapi paling menyiratkan adanya suatu pandangan bahwa
sistem informasi yang berbasiskan komputer menjadi fungsi yang sangat
penting dalam peperangan.
Saat ini menurut para analis, ada konsep baru yaitu Komando, Kendali,
Komunikasi, Komputer, Intelijen, dan Manajemen Pertempuran (k4I/MP)
sebagai satu kesatuan yang bulat dalam rangka memenangkan pertempuran.
Hal ini menunjukan bahwa ternyata teknologi saja tidak cukup untuk
memenangkan pertempuran tetapi manajemen pertempuran juga memegang peran
penting dalam memenangkan perang.
Clausewitz dengan teori Center
of Gravity menyatakan barang siapa menguasai titik berat dialah yang
memenangkan perang. Berdasarkan teori ini, perang berkembang dari waktu
ke waktu sesuai perkembangan teknologi. Pada saat awal perkembangan
teknologi, barang siapa menguasai medan strategis, menguasai suatu
wilayah, yang dalam skala yang lebih luas, barang siapa menguasai daerah
Eropa dan Balkan (heart land), menguasai dunia. Dalam tahap
selanjutnya, dengan kemajuan teknologi kelautan, maka barang siapa
menguasai lautan, menguasai dunia. Setelah teknologi kedirgantaraan
berkembang, maka barang siapa menguasai udara, menguasai dunia. Ini
terbukti dengan perlombaan yang seru antara negara adidaya untuk
memajukan angkatan udaranya, sehingga doktrin perangnya pun berubah
dengan mengedepankan serangan udara strategis. Dengan perkembangan
teknologi kedirgantaraan yang semakin pesat, maka barang siapa menguasai
udara dengan ketinggian 50.000 mil atau lebih, mengasai dunia. Terlebih
lagi bila dapat menguasai lunar libration points atau yang lebih
dikenal dengan L4 dan L5 yang merupakan tempat-tempat dimana gaya
gravitasi bulan dan bumi sama besarnya. Kemajuan teknologi ini
mencetuskan konsep Perang Bintang pada jaman presiden Ronald Reagan. Di
era 90-an semenjak perkembangan teknologi informasi menjadi sangat
pesat, maka barang siapa menguasai informasi, menguasai dunia. Inilah
yang mendorong negara adidaya untuk berlomba-lomba memasuki medan
peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan
media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kejatuhan pemerintahan seperti Haiti dan Uni Soviet, yang tidak
terlepas dari perang informasi global tersebut.
Dengan adanya
perubahan konsep perumusan strategi maka sebagai konsekuensinya akan
merubah manajemen terutama dari sisi cara kerja organisasi, skala
organisasi, dan integrasi sistem.
Dari sisi cara kerja,
organisasi militer saat ini memerlukan personel yang "pintar", untuk
mengawaki teknologi yang cukup canggih. Konsekuensinya personel militer
haruslah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan orang
bisnis. Sebagai bukti, hasil survei yang dilaksanakan oleh North
Carolina's Center for Creative Leadership menyatakan hanya 19 persen
dari manager di Amerika mempunyai pendidikan post graduate. Jadi, dalam
peperangan saat ini terbukti bahwa tentara tidak hanya sekedar menarik
pelatuk saja tetapi harus mempunyai kemampuan yang cukup tinggi.
Dari
sisi skala organisasi, teknologi informasi membuat organisasi militer
menjadi lebih flat, sehingga pengendalian dapat dilakukan dengan lebih
longgar. Konsekuensinya, kekuasaan pengambilan keputusan dapat
diserahkan pada tingkat serendah mungkin.
Dari sisi integrasi
sistem, teknologi informasi membuat kompleksitas pada organisasi
pertahanan lebih berat dari pada sebelumnya. Kompleksitas ini dapat
diatasi dengan menggunakan peranti lunak yang dirancang untuk keperluan
tersebut, terutama peranti lunak Data Base. Dengan demikian integrasi
sistem dalam organisasi militer menjadi lebih baik.
2. Hakekat Ancaman
Kemajuan
teknologi pun menyebabkan terjadinya pergeseran hakekat ancaman. Saat
ini hakekat bergeser dari yang sifatnya berasal dari negara (state
threat) berideologi tertentu dengan kekuatan senjata menuju pada
kelompok (non state threat) dengan tingkat penguasaan teknologi yang
tinggi. Menurut Robert D. Steele dalam bukunya "The Transformation of
War and the Future of the Corps" saat ini lawan / hakekat ancaman
dikelompokkan menjadi :
a. Militer dengan sistem yang canggih dengan dukungan logistik yang sangat kuat (the high-tech brute).
b. Gabungan antara para penjahat dan teroris seperti penyelundup narkoba (the low-tech brute)
c. Kelompok massa tanpa senjata yang biasanya didorong oleh faktor agama, ideologi/SARA (the low-tech seer)
d.
Gabungan antara para penjahat informasi dan spionase ekonomi dengan
penguasaan teknologi yang tinggi seperti para hacker (the high-tech
seer)
Dilihat dari penguasaan teknologi saat ini dunia terbagi
menjadi dua kutub yaitu negara berteknologi tinggi dan negara yang
relatif tertinggal secara teknologi. Penguasaan teknologi yang sangat
maju justru menjadi ancaman bagi negara yang bersangkutan. Sebagai
contoh, Amerika Serikat sebagai negara yang menguasai teknologi
menyadari bahwa penguasaan teknologi berpotensi menjadi ancaman bagi
negaranya. Seperti yang dinyatakan dalam konferensi tahunan yang
diadakan oleh Army War College tahun 1998 dengan tajuk "Challenging the
United State Symmetrically and Asymmetrically: Can America be Defeated
?." Dari hasil konferensi tersebut diperoleh jawaban yang jelas yaitu
bahwa Amerika tidak akan dapat ditaklukkan melalui serangan militer yang
simetris (seimbang), tetapi Amerika dapat ditaklukkan dengan serangan
yang asimetris (tidak seimbang).
Teknologi berpotensi menjadi
ancaman menonjol yang sifatnya asimetris (asymmetric threat). Ancaman
asimetris ini ternyata menjadi kenyataan dengan terjadinya serangan yang
dikenal sebagai 911 terhadap WTC (World Trade Center) oleh kelompok
tertentu (low tech seer) dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi
transportasi. Sasaran serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon adalah
untuk menghancurkan simbol kedigdayaan teknologi Amerika. Dari kejadian
ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teknologi canggih disamping merupakan
sarana mengungguli lawan dalam rangka memenangkan perang juga sekaligus
merupakan sumber ancaman yang potensial.
Masih berkaitan dengan
teknologi, ancaman yang menonjol pada saat ini dan jangka waktu ke depan
justru berasal bukan dari negara luar tetapi berasal dari kerawanan
yang timbul akibat kemajuan teknologi (non state threat). Sebagai
contoh, pembelian komputer dan peralatan berteknologi tinggi lainnya;
pembangunan dam/pusat listrik; industri; jaringan telekomunikasi; dan
sebagainya.
Pemanfaatan dan pembangunan teknologi tinggi seperti
ini akan sangat potensial menjadi ancaman bagi negara bila tidak
disertai tindakan pengamanan yang memadahi. Ingat kejadian 911 dilakukan
dengan menggunakan dua "peluru kendali raksasa berawak" dengan kode
Boeing 767 yang merupakan bagian dari industri transportasi Amerika.
. . . . . . . . . . . . . . . .
Perang modern tidak lagi
dilakukan secara berhadap-hadapan antara dua pasukan di medan terbuka.
Begitu dimulai, perang ini akan lebih banyak dilakukan secara impersonal
dengan teknologi, dipersiapkan jauh-jauh hari, dikendalikan dari jarak
jauh, dan dilakukan malam hari. Pembantaian dibuat seperti play station,
dan sang pembunuh tidak perlu mencium langsung bau anyir darah. Pada
pembantaian di Irak ini, perang sangat teroptimasi dengan teknologi
informasi yang luar biasa.
TI pada pra-operasi militer
Jauh sebelumnya, intelijen AS
akan memburu data dari semua penjuru. Satelit mata-mata AS membuat citra
yang paling rinci yang pernah ada. Kalau satelit sipil seperti Ikonos
atau Quickbird hanya mampu membuat citra dengan kehalusan pixel satu
atau setengah meter, maka kita harus yakin bahwa satelit mata-mata akan
mampu membaca tulisan koran.
Sementara itu shuttle radar
topographic mission telah memetakan topografi seluruh dunia dengan pixel
lima meter. Ini data yang di-release untuk sipil. Berapa akurasi
militer yang dirahasiakan, tidak kita ketahui.
Dengan citra dan
topografi ini, AS bisa membuat peta mutakhir daerah manapun tanpa perlu
ijin atau sepengetahuan pemerintah manapun. Memang, dari peta ini
beberapa ciri bangunan atau nama-nama geografis belum bisa diketahui.
Untuk itulah AS akan mengirim spion untuk mengumpulkan informasi objek
terutama yang dianggap vital dan tak "terbaca" dari angkasa. Juga
tempat-tempat yang diduga beranjau. Mereka akan "berwisata" sambil
merekam objek-objek "menarik" dengan piranti sistem posisi global (GPS).
Piranti ini begitu mungil, bisa ditaruh dalam jam tangan, atau korek
api. Begitu melihat objek menarik, wisatawan gadungan ini akan
mengaktifkan GPS, sehingga objek itu terekam beserta posisinya. Kalau
spion ini salah, petanya juga salah. Akibatnya fatal. Di Beograd jet AS
pernah membom kedubes Cina, yang dikiranya markas Slobodan Milosevic. Di
Irak juga ada apartemen yang disangka mes militer. Malah Saddam sendiri
tak diketahui ada di mana.
AS memiliki peta yang lebih rinci
dari otoritas nasional manapun di dunia. Dengan data spasial tiga
dimensi ini, pilot-pilot AS bisa melakukan simulasi terbang yang sangat
realistis atas kota-kota di dunia. Mereka juga bisa optimalkan rute
gerak pasukan, baik di darat maupun udara. Model elevasi digital (DEM)
yang ada pada sistem ini juga yang menuntun rudal jelajah Tomahawk atau
pesawat Stealth ke sasaran dengan efisien, tanpa takut menabrak gunung
atau apapun.
Tapi itu semua belum cukup. AS juga ingin informasi
tentang orang-orang yang perlu diawasi. Untuk itu intelijen AS menyadap
informasi yang lalu lalang via jaringan telekomunikasi (dengan satelit
AS), juga data perbankan dan data kartu kredit. Dengan analisis
database, maka kebiasaan orang-orang yang disorot dinas rahasia AS bisa
diikuti. Ostrovsky (1990) dalam "By Way of Deception" melukiskan, bahwa
dengan analisis database kartu kredit saja, CIA atau Mossad bisa
mempelajari penerbangan atau hotel apa yang sering dipakai seseorang,
berapa pengeluarannya, apa yang suka dibelinya, siapa yang sering
diteleponnya, siapa yang mengirim dana padanya, dan kapan dia ke mana.
Tak heran bahwa dinas-dinas rahasia itu punya background & insider information yang sangat rinci tentang tokoh-tokoh di negeri Islam. Mungkin di antara mereka ada yang berbakat jadi pengkhianat.
CIA-World-Fact-Book
yang sering jadi referensi, adalah versi sipil dari bank data yang
sangat lengkap. Di situ tersimpan data logistik di tiap daerah, yang di
masa perang akan penting. Misalnya, bahwa di suatu desa ada sekian
penduduk, sekian yang bisa perang, sekian janda (mungkin disiapkan untuk
"hiburan" tentara AS), sekian ton pangan, dan sebagainya. Informasi itu
penting untuk manuver pasukan, evakuasi, ataupun menduga lokasi musuh
dalam perang gerilya. Di Indonesia, data seperti ini dikelola Direktorat
Topografi TNI-AD dengan memanfaatkan organnya sampai ke desa, yaitu
Babinsa. Bedanya, AS mengumpulkan laporan geografi militer dari seluruh
dunia.
Dengan data yang begitu lengkap, AS bisa membangun sistem
informasi geografis (GIS) yang luar biasa. Mereka bisa simulasi berbagai
skenario perang, berapa korban yang akan jatuh dan kerugian yang
ditimbulkan jika suatu senjata canggih seperti gelombang mikro ataupun
nuklir digunakan. Mereka juga bisa berhitung tentang "keuntungan" perang
dalam jangka panjang.
Andaikata diijinkan dipakai untuk sipil,
sistem semacam ini sangat optimal untuk mempelajari pola bencana alam
seperti banjir, gempa tsunami atau kebakaran hutan. Kapasitas komputasi
sistem ini bisa membantu mengetahui dengan akurat, apa action yang tepat
untuk misalnya mencegah banjir Jakarta: apa benar dengan reboisasi
Puncak?; dengan kanal banjir senilai 15 trilyun?; dengan pompanisasi?;
dengan pembersihan tepi Ciliwung dari pemukiman liar?; atau apa? Sayang
sistem tadi justru dipakai untuk optimasi pembantaian umat manusia.
Perangkat ini dilengkapi sistem pakar (expert-system) yang akan membantu
pengambilan keputusan. Bisa jadi keputusan kapan perang dimulai, atau
suatu rudal diluncurkan, tidak di kepala George Walker Bush, apalagi
PBB, melainkan pada sistem pendukung keputusan (decission support
system), yang tentu hanya mesin pintar berkapasitas besar, tanpa nurani.
TI pada saat perang
Ketika perang, pasukan di garis depan
akan dilengkapi alat GPS-telemetri, inframerah dan telematika. GPS akan
memandu ke sasaran. Komando di belakang bisa memantau posisi dan kondisi
pasukannya dari laptopnya. Kalau ada prajurit yang terluka atau
tertangkap, posisinya langsung bisa diketahui.
Sementara itu alat
inframerah berguna untuk melihat di kegelapan. Alat ini bisa mendeteksi
manusia, yang tubuhnya memancarkan panas pada spektrum tertentu, meski
bersembunyi di balik semak-semak atau dinding dengan ketebalan tertentu.
Mereka
juga dilengkapi piranti telematika, yang akan memasok data-data
terakhir ke front, baik dari satelit, atau analisis komputer atas data
intelijen mutakhir. Agar jaringannya tidak disusupi hacker musuh, maka
dilakukan enkripsi cryptografi yang sangat rumit.
Sementara itu
senjata yang dipakai pun memiliki kandungan IT yang makin tinggi. Kini
ada robot-robot mungil (dragon-runner) yang memiliki kecerdasan buatan
(artificial intelligence). Robot ini bisa mengambil keputusan mandiri
dan terus mengupdate diri dengan "pengalamannya". Ia dilengkapi kamera
dan sejumlah sensor suara, panas atau bau. Dengan software pengenal
pola, maka robot ini bisa mengenali musuh dan secara mandiri
menyerangnya.
Sementara itu ada jenis robot lain yang dilengkapi
bom dan piranti GPS. Bom itu diprogram untuk hanya meledak di lokasi
yang koordinatnya ada pada daftar. Bom ini bisa juga dicurahkan dari
"mother bomb" sebagai "bom satelit" atau diluncurkan sebagai "position
guided missile" (PGM).
Jenis senjata lain adalah senjata radio
yang bisa merebut kontrol atas piranti elektronik. Pesawat-pun bisa
dibajak secara elektronik (electronic hijacked) - hal mana diduga kuat
terjadi pada pesawat yang menabrak WTC 11 September 2001. Masih dengan
radio adalah gangguan frekuensi (jamming) sehingga seluruh piranti
telekomunikasi musuh terganggu.
Namun teknik jamming ini bisa
pula digunakan musuh untuk melawan. Kalau ada ahli elektronik muslim
yang mampu membuat pemancar yang kuat, bisa jadi pasukan AS yang dipandu
GPS akan kehilangan arah, karena sistem GPS-nya ngaco. Karena itu
pasukan AS juga dilengkapi sistem navigasi inersia (INS), yang tidak
tergantung pada gelombang radio.