Pages

Sabtu, Maret 01, 2014

Kerjasma Militer Indonesia China

BEIJING-(IDB) : Wakil Duta Besar China untuk RI, Liu Hongyang, menyampaikan bahwa Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, berkunjung ke Beijing pada 24 Februari kemarin. Namun, dia tidak menjelaskan lebih lanjut, soal adanya kerjasama di bidang militer yang akan ditandatangani kedua negara.


Soal penjelasan kerjasama militer, kata Hongyang, akan diserahkan kepada kementerian terkait kedua negara.



Hongyang tidak menampik adanya kerjasama yang erat di antara Angkatan Laut kedua negara. Sebagai bukti, mereka akan mengirim perwakilan ke Latihan Bersama Multilateral Komodo (MENK) 2014, yang akan diikuti 17 negara di perairan Natuna, Batam, Kepulauan Riau. 



Latihan tersebut akan dibuka secara langsung oleh Kepala Staf TNI AL, Marsekal Marsetio. Latihan itu rencananya akan dimulai pada 29 Maret hingga April 2014.



"Kami rencananya juga akan mengirimkan perwakilan dan kapal perang ke Indonesia dengan maksud damai," ungkap Hongyang saat ditemui di rumah dinasnya di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.



Rencananya, akan ada 35 kapal perang dari negara peserta yang akan ikut berpartisipasi. Indonesia akan mengirimkan 16 KRI dan enam pesawat udara, yang terdiri dari dua fixed wing dan empat rotary wing. Mereka akan berlatih di tujuh titik yang telah ditentukan.



Sementara itu, mengenai kunjungan Moeldoko ke Beijing, kata Hongyang, tujuannya ingin mengenalkan diri kepada militer China sebagai Panglima TNI yang baru. Moeldoko berada di Beijing selama lima hari.



Moeldoko mengatakan hubungan militer kedua negara terjalin dengan baik dan harmonis.



Kunjungan Moeldoko ini rencananya akan diikuti dengan kunjungan balasan dari Kepala Komis Pusat Militer China, Jenderal Fan Changlong pada pertengahan 2014.


Sumber : Vivanews

Laporan HAM AS Kritik Penegakan Hak Asasi Di indonesia

Menkopolhukam pun merespons: Soal HAM, apakah AS juga siap dievaluasi?

WASHINTON-(IDB) : Setiap tahun Amerika Serikat, melalui Departemen Luar Negerinya, rutin menerbitkan laporan soal hak asasi manusia di berbagai negara. Kondisi HAM di Indonesia pun tak luput dari sorotan Deplu AS dalam 12 bulan terakhir.

Dalam laporan yang telah dimuat di laman resmi Deplu AS dan telah diluncurkan Menlu John Kerry, pada paragraf awal Washington memberi penilaian positif atas Indonesia sebagai negara yang menunjung demokrasi multipartai. Contohnya pada Pemilu 2009, yang memilih kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI.

"Para pemantau domestik dan internasional menilai bahwa pemilu parlemen dan presiden pada 2009 lalu merupakan pemilihan yang bebas dan adil. Pihak berwenang pada umumnya telah menerapkan kendali yang efektif atas kekuatan keamanan," demikian laporan itu, yang disusun oleh tim pimpinan pejabat sementara Asisten Menlu AS bidang Demokrasi, HAM, dan Tenaga Kerja, Uzra Zeya.   

Selanjutnya, laporan tersebut memberi beberapa kritik atas kondisi HAM di Indonesia. "Ada beberapa contoh di mana elemen-elemen pasukan keamanan terlibat dalam pelanggaran HAM," lanjut Deplu AS.

Pemerintah Indonesia pun dinilai gagal menerapkan investigasi yang transparan dan kredibel atas beberapa kasus pembunuhan yang melibatkan aparat keamanan.

Washington menyorot kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakat Cebongan di Yogyakarta oleh belasan oknum prajurit Kopassus Grup 2 pada 23 Maret 2013, yang menewaskan empat tahanan yang diduga terlibat pembunuhan atas seorang anggota Kopassus.

Pengadilan militer hanya menghukum 12 serdadu berpangkat rendah yang menjadi pelaksana lapangan. "Namun, kalangan kelompok pembela HAM mencurigai bahwa ada perwira senior Kopassus Grup 2 yang mendesak polisi untuk memindahkan para tahanan ke fasilitas yang kurang aman dan entah itu menyuruh para anak buah untuk bertindak maupun membiarkan adanya serangan itu," lanjut laporan HAM AS.    

Laporan itu juga memaparkan kritik dari para pegiat HAM dan Komnas HAM kepada polisi, termasuk Densus 88, karena menerapkan kekerasan yang berlebihan atas para tersangka kasus terorisme. "Kurangnya investigasi yang transparan atas dugaan tindak kekerasan yang berlebihan itu mempersulit upaya konfirmasi terhadap fakta yang sesungguhnya, dan keterangan polisi sering berlawanan dengan pernyataan para saksi," tulis laporan itu.

Pemerintah AS lantas menyajikan contoh kasus pada 22 Juli 2013 saat aparat Densus 88 menembak mati dua tersangka teroris dan menahan dua lainnya di Tulungagung, Jawa Timur. Menurut laporan polisi, salah satu dari tersangka menembak ke arah polisi. Namun, saksi mata mengabarkan bahwa para tersangka tidak menunjukkan perlawanan dan langsung ditembak tanpa peringatan.

Pemerintah RI, lanjut laporan Deplu AS itu, juga dianggap tidak selalu melindungi hak-hak reliji dan sosial kaum minoritas serta membiarkan kesenjangan para warga secara ekonomi. "Pemerintah juga menerapkan pasal penghianatan dan penghinaan untuk membatasi kebebasan berekspresi atas para pendukung kemerdekaan di Papua dan Papua Barat dan para kelompok minoritas keagamaan," lanjut laporan AS.

Laporan itu juga menyorot korupsi, kesewenang-wenangan atas tahanan di penjara, kondisi di penjara yang memprihatinkan, penyelundupan manusia, pekerja anak, dan kurangnya pemenuhan hak dan standar atas para tenaga kerja di Indonesia.

Tanggapan Indonesia
Bagaimana tanggapan kalangan pejabat dan politisi di Indonesia? Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, menyatakan bahwa laporan AS itu bisa diterima sebagai bahan tambahan untuk evaluasi ke dalam. Namun, dia juga memberi beberapa catatan penting atas AS.

"Sebagai negara yang menyebut dirinya negara demokrasi, apakah memang AS juga siap jika dievaluasi mengenai apa yang mereka lakukan? Di Irak? Di Afghanistan? Di penjara Guantanamo?," kata Djoko saat dihubungi VIVAnews hari ini.

Menurut dia, demokrasi itu harus saling menghormati, berimbang. Djoko melihat laporan AS itu berdasarkan penilaian sepihak Pemerintah AS terhadap pelaksanaan penegakan HAM di negara lain.

Mantan Pangliman TNI itu pun menanggapi laporan AS soal kasus Cebongan. Ini harus dilihat latar belakang yang membuat kasus itu terjadi.

"Bagaimana sekelompok orang mengintimidasi warga membabi-buta? Itu juga melanggar HAM. Lalu apa tindakan yang diambil pimpinan TNI setelah kasus itu? Mendorong proses hukum. Dan harap dicatat, bahwa proses hukum dan pengadilan di Indonesia lebih terbuka. Lebih transparan. Dikawal melalui pers yang bebas. Apakah hal seperti ini terjadi di AS? Jika terjadi peradilan terhadap anggota militer?," kata Djoko.

Soal Sampang, lanjut Djoko, yang terjadi bukan pengusiran, seperti yang disebut dalam laporan HAM AS, melainkan melindungi agar warga Syiah tidak jadi korban lagi. "Kok pakai istilah diusir?" kata Djoko.

Sementara itu, wakil ketua Komisi I DPR RI bidang pertahanan dan luar negeri, TB Hasanudin, menilai bahwa laporan HAM AS itu menggambarkan masih ada yang perlu diperbaiki oleh pemerintah RI dan aparat keamanan. 

"Soal kasus Cebongan, saya kira itu produk era Orde Baru. TNI masih belum sepenuhnya reformis, bahkan untuk kasus pembunuhan sekalipun masih berusaha ditutupi," kata Hasanudin.

Begitu pula soal kasus di Papua. Masih maraknya kasus kekerasan di sana karena belum ada penyelesaian yang matang dari pemerintah. "SBY tidak punya konsep yang jelas dalam mencari solusi penyelesaiannya, [akhirnya] jadi liar," kata politisi dari PDIP itu. 




Sumber : Vivanews

TNI AD Operasikan 28 Panser Tarantula Korea Selatan

JAKARTA-(IDB) : TNI Angkatan Darat mengoperasikan 28 panser kanon Ta­rantula buatan Korea Selatan dengan kanon Cockerill Mk III ukuran 90 milimeter. 

Kepala Staf TNI AD Jenderal (TNI) Budiman, yang ditemui di Jakarta, Kamis (27/2), mengatakan, untuk pertama kalinya TNI AD menggunakan panser buatan Korsel dengan penggerak enam roda tersebut ditempatkan di Jakarta dan Jawa Timur.

“Ada 20 unit ditempatkan di Jakarta dan delapan unit di Jawa Timur di sebuah batalyon kavaleri di Pasuruan,” kata Budiman. Panser tersebut dibuat atas kerja sama pabrikan Korsel dengan PT Pindad di Bandung, Jawa Barat. 

Uji tembak sudah dilakukan dengan beragam munisi 90 milimeter pada Oktober 2013 di Cipatat, Jawa Barat. Panser kanon tersebut memiliki keunggulan, antara lain, tolak balik (recoil atau entakan) saat menembakkan meriam tidak terasa. KSAD mengatakan akan melakukan transfer teknologi semak­simal mungkin dalam proyek Tarantula.




 Sumber : TNI AD

Antisipasi Konflik LCS, DPR Setuju TNI Perkuat Natuna





Sengketa LCS : Asia Tenggara VS China

Sengketa laut China Selatan
Sengketa laut China Selatan

MANILA-(IDB) : Filipina menyerukan kepada Malaysia, Vietnam dan Negara-negara tetangga lain untuk bergabung mengajukan gugatan hukum atas klaim teritorial besar-besaran yang dilakukan China di Laut China Selatan.


Jaksa Agung Filipina, Francis Jardeleza, 27/2/2014 mengatakan bahwa Malaysia, Vietnam dan dua pemerintahan lainnya bisa bergabung dalam gugatan hukum yang telah diajukan Filipina tahun lalu di hadapan pengadilan internasional, atau mendaftarkan gugatan sendiri dalam menyelesaikan konflik terkait klaim teritorial China.


claim-china11.jpg

Jardeleza mengatakan satu-satunya kesempatan bagi negara-negara kecil untuk mempertahankan wilayah mereka melawan superpower Asia itu, hanyalah dengan cara damai melalui pengadilan.


China, Brunei, Malaysia, Filipina dan Taiwan terlibat konflik terkait klaim wilayah di sepanjang Laut China Selatan. Perselisihan itu secara berkala meletus ke dalam konfrontasi berbahaya, dan memicu ketegangan dalam masalah keamanan serta diplomatik.

Tentara Filiphina tancapkan bendera nasional di Kaeang Scarborough, LCS
Tentara Filipina tancapkan bendera nasional di Kaeang Scarborough, LCS


Konflik Terbaru
 
Sementara itu, dua kapal China yang melakukan latihan kurang dari setahun di sekitar kawasan pulau karang James Shoal telah membuat Malaysia terkejut dan menciptakan pergeseran penting dalam cara negara jiran itu menghadapi konflik Laut China Selatan.

Pulau karang itu terbentang di luat wilayah perairan Malaysia tapi berada di dalam wilayah 200 mil laut zona ekonomi ekslusif.


Insiden Januari lalu, khususnya, telah memicu Malaysia untuk diam-diam menjalin kerjasama dengan Filipina dan Vietnam, dua negara tetangganya di Asia Tenggara yang paling keras mengkritik langkah China di wilayah itu, dalam upaya mengikat Beijing untuk menyepakati kode etik di wilayah perairan Laut China Selatan, demikian diungkapkan oleh seorang sumber diplomatik Malaysia.


lcs-china-3

Kesombongan kapal-kapal Beijing juga akan mendorong Kuala Lumpur untuk mendekat ke Amerika Serikat, sekutu terpenting mereka dalam bidang keamanan, sekaligus semakin memperdalam perpecahan antara Asia Tenggara dengan China dalam konflik di perairan yang kaya mineral tersebut.


Malaysia secara tradisional bersikap “tiarap” dalam masalah keamanan ini, karena mereka ingin menjalin hubungan ekonomi yang lebih dekat dengan China, yang merupakan rekan dagang terbesar mereka.


“Itu adalah sebuah ‘panggilan untuk membangunkan‘ bahwa itu bisa terjadi pada kami dan itu terjadi…“ kata Tang Siew Mun, ahli kebijakan luar negeri di Malaysia’s Institute of Strategic and International Studies, sebuah lembaga kajian yang memberi masukan kepada pemerintah dalam urusan luar negeri.

“Untuk beberapa lama kami percaya dengan hubungan khusus ini (antara Malaysia-Cina)… kasus James Shoal telah menunjukkan lagi dan lagi kepada kami bahwa ketika sudah tiba pada urusan mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasionalnya (China), maka itu akan menjadi sebuah permainan yang berbeda.




Sumber : DW

Pembelian Apache dan F-16 Tetap Berlanjut

JAKARTA-(IDB) : Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan, kekurangan Rp 27 triliun tidak membuat proses pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) terhenti begitu saja. Sebab, dari jumlah itu, pemerintah masih memiliki dana sebesar Rp 123 triliun.

Dana tersebut berasal dari platform yang diajukan Kementerian Pertahanan sebesar Rp 150 triliun. Namun, dari jumlah itu, Rp 27 triliun memang tidak dicairkan.

“Karena yang kita lakukan itu, misalkan F16. Itu budgetnya beli 6, ternyata kita bisa dapat 24. 6 Itu kan budget beli baru, kita dapat sekarang yang second hand, tapi kita upgrade lebih bagus lagi dan itu bisa terbang dan kita tingkatkan menjadi block 52. Nah itu udah nolong,” ujar Purnomo usai sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, 27/2/2014.

Meski tidak dicairkan, Purnomo beranggapan langkah tersebut sebagai upaya efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah. Sehingga, proses pembayaran alutsista yang dibeli hanya dapat menggunakan dana sebesar Rp 123 triliun saja. Dengan demikian, dalam lima tahun dapat dilunasi sebesar Rp 24,6 triliun.

“Dan ternyata dari sisi jumlah tak mengganggu. Malah kita dapat kapal Usman Harun, John Lie dan Bung Tomo segala. Frigat kita yang baru dari Inggris,” ungkapnya. 




Sumber : Merdeka

Berita Foto : Fregat Sigma 9814 Angkatan Laut Vietnam


HANOI-(IDB) : Berkenaan dengan berlangsungnya pameran maritim internasional Vietship 2014 yang diselenggaran di Hanoi-Vietnam, galangan kapal Belanda DSNS (Damen Schelde Naval Shipbuilding) turut memamerkan model kapal fregat Sigma 9814 pesanan Angkatan Laut Vietnam.





Damen membawa 2 model kapal Sigma 9814, keduanya mirip, yang membedakannya hanyalah bagian buritan kapal, tipe pertama menggunakan hanggar helikopter, sedangkan tipe kedua tidak menggunakan hanggar helikopter.



Kapal Sigma 9814 Angkatan Laut Vietnam ini mempunyai ukuran panjang 99,91 m, lebar 14,02 m, draft 3,75 m, bobot penuh 2.150 ton, dan jumlah awak 103 orang.



Persenjataan utama Sigma 9814 terdiri dari kanon utama Oto Melara 76mm tipe stealth cupola. Kanon supercepat ini mampu memuntahkan peluru 120 rounds/menit dan mampu menghajar sasaran hingga jarak 16 km.






Persis di belakang kanon utama berjajar 12 tabung peluncur rudal permukaan ke udara tipe vertical launch system. Jenis rudal yang dipakai adalah VL MICA, rudal berkecepatan hingga 3.0 mach ini berjarak jangkau efektif 10 km. Rudal ini dapat menerima data target dari beberapa sistem sensor, VL MICA dapat dioperasikan secara independen atau terintegrasi dengan jaringan pertahanan udara yang lebih luas.



Kanon sekunder Sigma 9814 menggunakan 2 naval cannon jenis Oto Melara Marlin WS kaliber 35mm/30mm. Kanon ini mampu memuntahkan peluru hingga 220 rounds/menit untuk tipe 25mm atau 160 rounds/menit untuk tipe 30mm. Kanon pertama dipasang di bagian depan, tepatnya di bawah bridge, sedangkan kanon kedua diletakkan tepat di atas hanggar helikopter. Belum jelas apakah Vietnam akan memilih tipe 25mm ataukah 30mm.



Untuk rudal permukaan ke permukaan dipilih rudal Exocet MM40 Block III dengan tipe peluncur 2x4 tabung. Rudal dengan hulu ledak 155 kg ini sanggup melesat hingga Mach 0.9 dan mampu menghancurkan sasaran pada jarak 180 km.





Agak mengherankan bahwa tidak ditemukan peluncur torpedo pada kapal Sigma 9814 ini, meskipun demikian diperkirakan kapal ini tetap memiliki 2 peluncur torpedo anti kapal selam berukuran 324 mm. Peluncur torpedo ini kemungkinan tidak diletakkan di geladak atas namun di badan samping kapal dan dilengkapi pintu penutup.



Untuk heli kapal selam Vietnam masih mempercayakannya kepada heli Kamov Ka-28 buatan Rusia. Heli ini mempunyai bobot 11 ton, namun demikian hanggar yang disediakannya tidaklah mencukupi, patut diduga bahwa hanggar tersebut akan digunakan sebagai hanggar UAV. Tipe yang digunakan kemungkinan adalah rotor UAV jenis S-100 Camcopter buatan Schibel.



Kapal ini juga dilengkapi 2 speedboat karet jenis RHIB yang diletakkan di bagian belakang persis di samping hanggar, untuk jenis yang tanpa hanggar kedua perahu karet ini disimpan dalam posisi tertutup.


Sama seperti tipe kapal Sigma lainnya buatan DSNS, kapal ini akan menggunakan sistem manajemen pertempuran TACTICOS buatan Thales. Thales juga memasok Radar SMART-S Mk 2 yang terpasang di ujung tiang utama kapal dalam keadaan berputar mampu mendeteksi sasaran hingga jarak 250 km. dan mampu melacak 500 sasaran secara simultan tidak terkecuali pesawat terbng, helikopter, rudal dan UAV. Untuk sistem kontrol tembakan, fregat ini menggunakan electro-optical fire control system pasokan Thales jenis STING EO Mk 2.
 
Modernisasi Angkatan Bersenjata Vietnam terus saja berlanjut, fregat buatan Belanda ini kelak akan berpasangan dengan fregat kelas Gepard 3.9 yang telah lebih dulu bertugas menjaga perairan Vietnam.




Sumber : DatViet

AS Kembali Ke Diplomasi Tradisional

WASHINGTON-(IDB) : Setelah Perang Dunia ke-2, Amerika Serikat terlibat dalam tiga medan perang yang berat dan memakan korban cukup banyak bagi pasukannya. Mandala tempur yang menggiriskan adalah Perang Vietnam, Perang di Irak dan yang juga belum selesai adalah operasi tempurnya di Afghanistan. Melawan tikus tanah Vietnam, seorang letnan baru pasukan AS dikabarkan hanya mempunyai kesempatan hidup tujuh menit begitu diterjunkan ke medan tempur. Teknologi perang AS harus menghadapi kegigihan dan jumlah demikian banyak Vietcong yang siap mati.

Tercatat korban dari pasukan sekutu (AS tewas: 58.209, terluka: 153.303, Korea Selatan, tewas:  5.000, terluka: 11.000,   Australia tewas: 520. Akhirnya setelah terlibat dari tahun 1957-30 April 1975, AS harus mengalah dan pull out dari Vietnam. Apa yang didapat dari Perang Vietnam? Hanya nama, bahwa AS adalah negara besar, mampu menjaga efek domino penyebaran pengaruh komunis di Asia Tenggara.


Invasi pasukan AS ke Irak merupakan perang kelam tersendiri bagi rakyat AS. Dalam perang yang berlangsung antara 18 Maret 2003 - 15 Desember 2011, pasukan  koalisi yang tewas berjumlah 3.817 orang  (terdiri dari  pasukan AS 2,923, 126 UK, 121 lainnya, dan 647 orang kontraktor). Koalisi terluka berjumlah 26.886 orang, terdiri dari 22.032 dari AS, 891 dari Inggris, 3.963  kontaktor.


Dalam operasi tempur di Afghanistan, yang berlangsung dari tanggal 7 Oktober 2001 hingga kini, tercatat korban pasukan koalisi yang terbunuh 1908 (Amerika Serikat: 1162, Inggris: 313, Lainnya: 433). Koalisi yang terluka berjumlah 15.000 (Amerika Serikat: 6773, Inggris: 3,954, Kanada,1,500, Lainnya, 2.500). Korban dari kontraktor sipil AS: 338 terbunuh, 7224 luka.


Dari dua perang terakhir dimana tercatat puluhan ribu pasukan AS dan koalisi yang terlibat, pemerintah AS lebih fokus mengarah kepada ancaman teroris setelah peristiwa serangan WTC 11 September 2001. Afghanistan kemudian diserbu, di duduki, pemerintahan Taliban dijatuhkan karena dianggap melindungi Osama bin Laden dengan Al Qaeda. Ternyata Osama tokoh teroris musuh utamanya AS berhasil dibunuh di Pakistan dan bukan di Afghanistan. Demikian juga pemerintahan George Bush, memutuskan menyerbu Irak, karena mendapat informasi intelijen adanya ancaman SPM (Senjata  Pemusnah Massal) di bawah kendali Saddam Husein.


Kebijakan Kepemimpinan Presiden Barack Obama


Presiden Obama berhasil menyelesaikan sebagian pekerjaan rumah pemerintahan sebelumnya dengan menyergap Osama bin Laden di wilayah Pakistan. Selain itu banyak pimpinan puncak Al Qaeda, Taliban dan Haqqani yang tewas dengan penyerangan teknologi peluru kendali dari pesawat tanpa awak (drone). Peran tempur di Irak telah selesai. Pekerjaan rumah berat lainnya adalah bagaimana kembali pull out dengan cantik dari Afghanistan.


Pada hari Rabu (1/2/2012), Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta (saat itu) mengatakan bahwa penarikan pasukan AS di Afghanistan akan lebih dipercepat setahun lebih awal pada tahun 2013. Menurutnya, Presiden Obama akan segera melakukan penghentian perang yang diwarisinya dari pemerintahan Presiden George Bush Pernyataan Menhan Panetta merupakan kelanjutan dari pernyataan Presiden Obama yang mengatakan pada tanggal 22 Juni 2011, bahwa negara yang menjadi basis serangan ke daratan AS pada peristiwa 11 September 2001, kini  sudah bukan merupakan ancaman teror terhadap AS. "Gelombang perang telah surut, dan kini sudah saatnya AS membangun negara," tegas Obama.


Pejabat berwenang AS mengatakan bahwa penggantian operasi tempur digantikan dan lebih difokuskan pada operasi kontraterorisme rahasia, seperti yang dilakukan saat melakukan penyergapan terhadap pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden. Kasus tersebut dijadikan sebagai sebuah kebijakan cerdas Presiden Obama terkait kebijakan pengurangan substansial pasukan Amerika tersebut.


Obama mengakui dan mengatakan bahwa bahwa kampanye intens serangan drone dan operasi rahasia lainnya di Pakistan telah melumpuhkan jaringan Al-Qaeda di kawasan itu. Para pimpinan Al-Qaeda tersebut telah berhasil ditembaki dan dibunuh diantara perbatasan Pakistan dan Afghanistan dengan operasi rahasia. Dari 30 pemimpin Al-Qaeda tingkat atas yang di identifikasikan oleh intelijen Amerika, 20 orang telah tewas dalam waktu satu tahun, setengahnya karena serangan drone. Presiden Obama menegaskan, "Ketika terancam, kita harus merespon dengan kekuatan," katanya. “But when that force can be targeted, we need not deploy large armies overseas,” jelasnya.


Kini, diantara pembantu presiden AS, yang paling pusing dan sibuk  adalah Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan. Dua menteri utama itu, Menlu John Kerry dan Menhan Chuck Hagel harus berjuang keras, memadukan keterbatasan anggaran dengan peran AS di dunia internasional seperti yang diinginkan Presiden Barack Obama. Pada hari Selasa (25/2/2014), Menhan Chuck Hagel mengatakan, bahwa Presiden Obama telah memerintahkan Pentagon untuk mulai secara resmi mempersiapkan penarikan lengkap pasukan AS dari Afghanistan pada akhir tahun ini.


Pernyataan muncul setelah Obama memutuskan bahwa tidak mungkin  Presiden Afghanistan Hamid Karzai akan menandatangani perjanjian keamanan bilateral (Bilateral Security Agreement) yang lama tertunda , yang akan memberikan perlindungan dan otoritas kritis setelah 2014.  AS tidak harus menempatkan pasukannya di Afghanistan setelah tahun 2014. Hingga kini AS merasakan kesulitan dalam menghadapi sikap Karzai, dan Washington belum memutuskan berapa jumlah pasukannya yang tetap akan ditinggalkan di Afghanistan.


Washington Post menuliskan, dalam sebuah pertemuan antara Kerry dan Hagel di Munich Sabtu lalu, Menhan Hagel menegaskan bahwa bahwa ia telah mengambil kebijakan yang low profile,  lebih rendah di arena kebijakan luar negeri dibandingkan para pendahulunya . Setelah 12 tahun terlibat dalam perang di Irak dan Afghanistan di mana Pentagon mengambil peran utama dalam kebijakan luar negeri , ia mengatakan bahwa pemerintahan Obama telah memutuskan, sudah waktunya untuk mengambil posisi,  yang lebih menekankan kepada diplomasi tradisional.


Tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri AS selama ini adalah; AS menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara besar yang bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal (SPM), dan menyebar luaskan demokrasi dan menghormati hak azasi manusia (Stephen M. Walt).


Dikatakan selanjutnya oleh Hagel, "Selama tahun lalu , John dan saya berdua  bekerja untuk mengembalikan keseimbangan hubungan antara pertahanan Amerika dan diplomasi, kemitraan transatlantik yang berhasil karena penerapan kebijakan antara diplomasi dan pertahanan." AS menginginkan sekutunya di Eropa mengambil peran yang lebih besar dalam mengatasi beberapa konflik di beberapa hot spot, seperti di  Iran, Suriah dan Afghanistan. Hegel menekankan perlunya ‘transatlantic renaissance’ (masa peralihan antara abad pertengahan ke abad modern yang ditandai dengan lahirnya berbagai kreasi baru Eropa dikawasan transatlantik), dimana Washington akan banyak bergantung kepada sekutunya di  Eropa dalam menghadapi krisis politik dan keamanan.


AS masa kini akan lebih low profile dalam dan menghindari melibatkan kekuatan pasukan di bagian dunia, kemelut di Suriah dan Ukraina misalnya, sikap AS jauh lebih lembut dibandingkan keputusan peran polisi dunianya pada masa lalu. Para elit di Washington justru bertanya-tanya, apakah pemerintahan Obama telah mundur dari yang disebut kepemimpinan tradisional AS yang menyangkut masalah keamanan.


Rencana Pengurangan Kekuatan


Dalam menata kebijakan yang lebih luwes antara diplomasi dan pertahanan, pemerintah AS kini merencanakan akan memangkas kekuatan baik personil maupun alutsistanya. Perampingan kekuatan terutama berupa pengurangan jumlah anggota militernya, lebih dari seperdelapannya. Menhan Chuck Hagel pada hari Senin (24/2/2014) menyatakan, dengan kemajuan teknologinya, AS akan menjadi lebih cepat tanggap dan tidak mudah diprediksi. Pengurangan pasukan regular akan diimbangi dengan penambahan pasukan elit dari 66.000 menjadi 69.000 personil, dan juga memanfaatkan teknologi canggih.


Pada tahun 2017, AS akan mengurangi jumlah pasukan regulernya sebanyak 13 persen, disamping akan mengandangkan pesawat-pesawat tua dan melakukan reformasi tunjangan bagi militer. Rencana pemerintah tersebut nampaknya akan mendapat hambatan dari anggota kongres yang khawatir akan membahayakan kesiagaan militer AS. Menganggap kebijakan Hagel hanya upaya melakukan penghematan belaka,


Menhan Hagel justru meyakinkan bahwa militer AS telah beradaptasi terhadap ancaman masa depan. Dia meyakinkan bahwa strategi besar Pentagon memastikan bahwa angkatan bersenjata AS akan menang apabila terlibat dalam dua perang dalam waktu yang bersamaan.

Sebenarnya apa latar belakang semua kebijakan AS tersebut. Sejak tahun 2007, pemerintah AS telah mengembangkan upaya pengumpulan informasi intelijen dengan menggelontorkan anggaran dalam jumlah yang sangat besar. Snowden membocorkan pada tahun fiskal 2013 saja black budget lima badan intelijen AS (termasuk NSA dan CIA) mendapat kucuran sebesar US$52,6 milyar. Intelijen AS dengan empat mitranya, 5-eyes (Inggris, Australia, Canada dan NZ) kemudian melakukan operasi penyadapan ke negara-negara yang dinilai sebagai target penting. Dengan demikian maka pemerintah AS dengan kemajuan teknologinya mampu mengidentifikasi lawan atau calon lawannya. Situasi dan kondisi di negara manapun mereka fahami dengan baik, tidak ada satupun yang lolos, terbukti Jerman,negara sekutunya termasuk pemimpinnya juga disadap.


Dengan demikian maka kebijakan yang diputuskan Presiden Obama dan dilaksanakan oleh Kerry dan Hagel jelas valid dan realistis. Karena itu AS masa kini berbeda dengan AS masa lalu, mereka tahu apa yang ada di benak pada Mullah di Iran, faham dengan yang ada di otak Karzai dan juga faham dengan yang terjadi di Suriah dan yang kini terjadi di Ukraina. AS tidak gegabah langsung terlibat, menggempur dan melakukan langkah preemtif seperti masa lalu. Semua diukur dan diputuskan mana yang penting dan mana yang bukan domain mereka. Kasus berat Iran dan Suriah akan diselesaikan dengan pendekatan diplomatis bukan pertahanan lagi, dan justru Rusia kini mereka jadikan kartu yang efektif untuk menyelesaikan kemelut itu.


Kesimpulannya, pada masa mendatang, perang akan diawali,  dilakukan jauh dari garis belakang, cukup dengan memonitor layar komputer. Yang terpenting, apa yang ada di benak para pemimpin dan elit sebuah negara. Intelijen merupakan pemain utama dalam memenangkan perang, sementara pasukan dan peralatan militer adalah pelengkap untuk mengeksekusi apabila sudah diperlukan. Prinsip efektif dan efisien kini diterapkan dengan teknologi canggih. AS meyakini bahwa gabungan antara kemajuan teknologi,  pasukan elit, alutsista modern yang  akan memenangkan perang. Itulah Amerika Serikat masa kini.




Sumber : RI

Polandia Tawarkan Modernisasi Alutsista Kepada Indonesia

JAKARTA-(IDB) : Polandia, salah satu negara bekas Pakta Warsawa yang bergabung ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), menawarkan modernisasi piranti dan sistem kesenjataan militer Indonesia.

"Hubungan baik kedua negara telah lama tercipta, termasuk pada bidang pertahanan. Banyak negara tengah berbenah memodernisasi militernya, termasuk Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara. Kami hadir menawarkan produk-produk unggulan," kata Kepala Divisi Promosi dan Investasi Kedutaan Besar Polandia di Jakarta, Romuald Morawski, di Pontianak, Jumat.

Polandia pula yang pertama kali memasang sistem radar militer di Tanah Air pada 1958 sebelum digantikan sistem dari pabrikan Plesey dari Inggris dan Thompson dari Prancis.

Romuald Morawski mewakili pemerintahnya hadir dalam Pontianak Airshow 2014, di Pangkalan Udara TNI AU Supadio, Pontianak. Pameran udara di pangkalan udara itu merupakan yang pertama kali digelar sejak pangkalan udara TNI AU itu didirikan pada dasawarsa 1960-an.

Kalimantan dengan lima provinsinya kini menjadi salah satu arena investasi menarik bagi beberapa negara Eropa Barat dan Eropa Utara, diantaranya Rusia dan Swedia.

Menurut Morawski, beberapa produk militer Polandia masih dipakai TNI, diantaranya sistem peluncur roket peluru kendali jarak dekat pertahanan udara Gromm.

Pada sisi penerbangan sipil-militer, produk pesawat ringan Polandia, PZL Wilga, sangat akrab dikenal di Indonesia, yang dinamakan Gelatik.

Gelatik itulah yang semula diproyeksikan menjadi tumpuan kemandirian bangsa tentang pesawat terbang ringan jarak dekat multifungsi yang minim perawatan. Sejak Orde Baru berkuasa wacana tentang Gelatik dihentikan, sejalan perubahan nama dan status pabrikan pesawat terbang nasional, Nurtanio kemudian menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), di Bandung, Jawa Barat.

Mirip dengan Rusia, Polandia memiliki badan khusus tentang industri dan jaringan pemasaran produk militer dan pertahanan, salah satunya adalah PHZ Bumar yang berkolaborasi dengan Badan Pengembangan Industri Polandia (ARP/Agencja Rozwoju Przemysku).

Di dalam kedua badan itu dikembangkan beberapa jenis industri produk militer-pertahanan, diantaranya bidang roket dan amunisi (di antaranya ZM Mesko SA, ZM Dezamet SA, TM Pressta SA, Przemyslowe Centrum Optyki SA, CNPEP Radwar SA, ZM Tarnow SA, dan ZM PZL-Wola SA).

Juga pada bidang pesawat terbang dan perang elektronika, yaitu yang ditangani Polskie Zaklady Lotnicze Mielec, WSK PZL-Swidnik SA, ZR Radmor SA, dan PZL Hydral SA.

Polandia juga memiliki tiga galangan kapal besar, 13 fasilitas perbaikan militer, dan delapan institusi penelitian-pengembangan yang bereputasi internasional.

Sesuai postur organisasi dan kekuatan TNI pada 2015 yang ditetapkan pemerintah, pada 2015 nanti TNI akan mendatangkan ratusan wahana pertahanan bagi ketiga matranya. Bagi TNI AU, dan dapat dikatakan 2014 adalah "tahun modernisasi" gelombang ketiga setelah hal serupa terjadi pada dasawarsa 1960-an dan 1980-an.

Dasawarsa 1980-an menjadi lompatan besar bagi TNI AU ditandai kehadiran satu skuadron F-16 Figthing Falcon sebanyak 12 unit F-16A/B blok 15 OCU. Kehadiran elang penempur buatan General Dinamics ini menjadikan TNI AU matra udara militer paling kuat di Asia Tenggara saat itu.




Sumber : Antara

Vietnam Purchases Two More Russian Frigates

SAIGON-(IDB) : The Russian Gorky Shipyard will build and hand over two additional Gepard-class frigates to the Vietnam People's Navy by 2017, the Itar-Tass news agency reported on February 26.

This brings the cumulative number of frigates that Vietnam has contracted for with the shipyard as part of a restocking Gepard-3.9 project to six. 

Itar-Tass quoted a shipyard spokesperson as saying engineers are putting the finishing touches to the manufacture of the hull.

Following the installation of technical positioning and other electronic components they will begin trial runs in the Baltic Sea and should be ready for delivery in early 2017, the news agency reported.

Vietnam received two first Gepard-class frigates from Russia in 2011 under a contract signed in 2006.

It signed another contract for two more such vessels in 2013, and the manufacture is on the right track.



Source : VOV

Pesawat Generasi 5 Blok Barat

f-35 dan f-22
F-22 dan F-35 terbang bersama

WASHINGTON-(IDB) : Pada awalnya, program F-35 Lighting II (F-35 Joint Strike Fighter/F-35 JSF) diproyeksikan sebagai pesawat masa depan generasi lima multi guna dengan biaya terjangkau. Dimunculkan sebagai pegganti F-22 Raptor yang berbiaya tinggi dan tidak bisa dieksport keluar AS. Negara peserta program ini kebanyakan adalah Sekutu dekat AS dan anggota NATO.


Dalam perjalanannya program JSF mengalami berbagai penundaan dan kendala. Pembengkakan biaya 68% lebih besar dari perkiraan awal hingga nyaris melewati $400 milyar USD, menjadikan proyek F-35 JSF adalah program persenjataan konvensional termahal sepanjang sejarah. 

Saat ini harga satu unit F-35 JSF mencapai $180-200 juta dollar AS. Harga per unit yang terus naik membuat banyak negara peserta menghitung ulang jumlah unit yang akan mereka beli. Bahkan militer AS sendiri juga telah menurunkan jumlah pesanan unit F-35. Pembatalan 409 unit oleh Pentagon turut membuat harga per unit semakin tinggi. Tidak mengherankan kemudian AS gencar menawarkan pesawat ini pada negara-negara lain yang bukan termasuk peserta program JSF ini sebagai upaya menurunkan harga jual per unit.


Selain harga jual yang tinggi, biaya operasional pesawat inipun tidak murah. Estimasi pendahuluan Pentagon untuk kongres menyebutkan angka $1 triliun USD untuk biaya perawatan dan operasional armada F-35 AS selama 2 dekade ke depan. IHS Jane’s memperkirakan biaya operasional F-35 bisa mencapai $21.000-$31.000 USD per jam.

Estimasi biaya operasional per jam


Yang lebih getir dari pesawat tempur yang super mahal adalah jika kualitasnya tidak sesuai dengan harga yang dikeluarkan. Setelah hampir 10 tahun sejak penerbangan pertama, saat ini F-35 masih saja terus menuai kontroversi akibat berbagai kendala teknis.


Pada tahun 2011, team pemeriksa Pentagon masih menemukan 13 area yang perlu diperbaiki. Kendala teknis semacam itu juga masih ditemukan di tahun 2013. Tapi kemudian ada kesan Pentagon yang mengalah dan terpaksa menerima kondisi F-35 apa adanya. Daripada menuntut Lockheed untuk mengejar kemampuan yang disyaratkan, justru akhirnya Pentagon (untuk kesekian kalinya) menurunkan standard persyaratan kemampuan minimal bagi semua varian F-35 JSF. 

Rencana awal penghematan biaya operasional dan logistik pada satu pesawat multi fungsi pun gagal. Rencana awalnya akan ada 80% kesamaan antara semua type F35 yang ternyata kemudian hanya tercapai 20-40% saja. Artinya tujuan penyederhanaan logistik gagal, dan nyaris sama saja seperti halnya mempunyai 3 pesawat berbeda.


Kemampuan F-35 dalam berakselerasi juga diturunkan. Untuk berakselerasi dari kecepatan 0.8 Mach mencapai kecepatan 1.2 Mach melambat (waktunya bertambah) 8 detik untuk F-35 type A, 16 detik untuk type B dan 43 detik untuk type C. Bahkan dalam beberapa laporan menyatakan bahwa F-35 belum teruji dalam test fight mampu melewati kecepatan 1 Mach dari kecepatan maksimal 1.6 Mach yang direncanakan. Kemampuan lain yang dikurangi adalah kemampuan berbelok. Kemampuan F-35A menahan beban G-force dalam berbelok telah berkurang dari maksimal 5.3 G menjadi hanya 4.6 G. F-35B dari 5 menjadi 4.5 G, sementara G load force F-35 Angkatan Laut berkurang dari 5.1 G menjadi 5 G.


Kemampuan menahan G-force di kisaran 5G adalah level kemampuan pesawat tua sekelas F-4 atau F-5. Seorang pilot AS mengatakan bahwa kondisi penurunan performa airframe akan membuat kemampuan maneuver F-35 jauh berkurang dan inferior terhadap pesawat tempur lain dalam dogfight, bahkan jika dihadapkan dengan pesawat generasi 4 yang ada sekarang. 

Sebagai perbandingan, “lawan” F-35 di dunia nyata adalah pesawat tempur keluarga Sukhoi yang punya kemampuan hingga 9 G. Kondisi ini juga membuatnya semakin rentan terhadap rudal darat ke udara (SAM) jarak jauh ketika terbang tinggi, dan rentan terhadap SAM jarak pendek atau bahkan artillery anti pesawat ketika terbang rendah.


Isu miring lain datang dari sebuah lembaga non pemerintah yang mengatakan bahwa kemampuan software untuk pesawat F-35 juga masih mengalami berbagai kendala mendasar. Bahkan kemampuan software F-35B dikatakan hanya mencapai 50% dari kemampuan awal yang diharapkan. Singkatnya, semua varian F-35 tidak akan secepat, selincah dan sepintar yang dijanjikan.


Situasi pilihan terbatas ini disebabkan karena keengganan AS untuk berbagi teknologi siluman F-22 Raptor pada pihak lain, walau pada sekutu dekatnya sekalipun. Bukan karena ketidakmampuan Lockheed sendiri atau rekanan industri mereka yang lainnya. Mereka dituntut membuat pesawat dengan kemampuan siluman seperti F-22, tapi tidak boleh menggunakan teknologi siluman yang ada pada F-22 Raptor, jelas bukan perkara mudah dan menimbulkan banyak kendala teknis. 

Dalam semua aspek utama pesawat tempur generasi lima, F-35 JSF berada dibawah kemampuan F-22 Raptor. Dan menambahkan situasi suram pesawat gen 5 blok barat ini, ternyata bahkan F-22 Raptor sekalipun pun (yang sangat dilindungi teknologinya) bukanlah pesawat yang tak terkalahkan.


Dalam latihan tempur Red Flag di Alaska, pilot pesawat tempur EF Typhoon Angkatan Udara Jerman secara secara terpisah mengklaim mereka berhasil ‘menghajar’ F-22 Raptor USAF, klaim yang tidak bisa dikonfirmasi dan tidak diakui oleh pihak AS. 

Namun kemudian tersebar berita hangat ketika muncul photo kill marking berupa silhouette F-22 di body pesawat Boeing EA-18 Growler yang juga milik AS. Hal ini tidak sengaja muncul, marking itu menarik perhatian wartawan yang kemudian mendapat penjelasan dari seorang pilot yang menyertainya bahwa pesawat yang sedang terparkir itu adalah pesawat F-18G yang telah berhasil menembak jatuh F-22 Raptor dalam simulasi tempur.

Kill Marking F-22 Raptor pada badan pesawat F-18 Growler


Tersiar kabar juga bahwa F-18 termasuk dalam daftar panjang ‘korban’ EF Typhoon. Kill markings-nya sempat terekam kamera tertempel di badan pesawat EF Typhoon milik AU Italia. 

Walau ada yang menganggap kill marking yang diperoleh dari simulasi tidaklah ‘sah’, namun sebagian berpendapat bahwa simulasi perang yang hanya menggantikan rudal dengan tembakan simulasi sangat realistis dan layak dijadikan catatan perolehan prestasi suatu jenis pesawat di masa damai.


Kill Markings F-18, F-16 dan Mirage 2000 pada badan pesawat EF Typhoon Angkatan Udara Italia

Pada tahun 2009, dilakukan latihan bersama ATLC (The Advanced Tactical Leadership Course) yang dilangsungkan di Al Dhafra, Uni Emirat Arab. Latihan ini diikuti pesawat Typhoon Angkatan udara Inggris, Rafale Angkatan udara Perancis dan F-22 Raptor angkatan udara Amerika Serikat. Diantara latihan yang dilangsungkan adalah pertarungan WVR (Within Visual Range) alias dogfight. 

Setelah acara tersebut selesai pilot Amerika menyatakan bahwa F-22 Raptor mereka tidak terkalahkan selama latihan. Tapi mungkin karena Rafale sendiri sedang dalam upaya pemasaran produk, salah satu rekaman video selama latihan ‘tidak sengaja’ bocor dan diketahui umum. Video itu pertama muncul dari blog berbahasa Perancis (portail-aviation). Dalam pendahuluannya tertulis  

“Setelah mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan, dan meyakinkan diri sendiri bahwa saya tidak melanggar rahasia dagang atau rahasia pertahanan, saya hadirkan  video untuk Anda yang saya terima secara anonim”. Dalam video tersebut pesawat Rafale Angkatan Udara Perancis terlihat mampu bertarung dengan F-22 AS, dan setidaknya berhasil menembak 1 diantara 6 pesawat F-22 Raptor.


Tujuan awal pembangunan F-35 adalah penghematan biaya bagi kebutuhan pesawat masa depan dengan kemampuan siluman. Faktor penghematan jelas telah gagal total, sementara mengenai kemampuan siluman F-35 JSF ada di level Low Observable, masih inferior terhadap kemampuan pendahulunya F-22 Raptor yang punya level Very Low Observable.


Jika program F-35 JSF ini mempunyai begitu banyak masalah, lalu mengapa masih saja diteruskan? Program JF-35 ini memang berhasil lolos melewati hearing senat AS pada Juni 2013. Tapi nara sumber yang ikut sesi hearing tersebut memberikan gambaran alasan dan situasinya: “Tidak ada alternatif pengganti F-35″. Program JSF ini telah menghabiskan dana yang begitu besar dan waktu yang begitu lama dalam pengembangannya, hingga tidak mungkin dihentikan di tengah jalan. Terlalu banyak yang sudah dikorbankan, opsi satu-satunya adalah maju terus.


Bagi Indonesia sendiri ada beberapa kondisi terkait dengan rencana produksi F-35 JSF ini. Pertama adalah kedatangan pesawat F-35 di negara tetangga. Kedua adalah kemungkinan F-35 JSF sebagai alternatif pesawat tempur masa depan TNI AU.


Setelah pro dan kontra panjang akhirnya RAAF akan mulai menerima batch pertama F-35 di sekitar bulan Juli -September tahun ini. Australia sendiri adalah  partner awal proyek Joint Strike Fighter. Proyek ini memberikan pekerjaan senilai $6.3 milyar USD bagi industri dalam negeri Australia. Singapura juga adalah peserta program ini. Bergabung pada tahun 2006 sebagai Security Cooperative Participants (SCP) bersama Israel. Tapi belum ada keputusan kapan dan berapa unit RSAF akan mengoperasikan F-35 Lighting II walau sudah menyatakan minat mereka.

Melihat pemotongan anggaran pertahanan Amerika Serikat dan sudah membengkaknya dana program pengembangan F-35, sepertinya para peserta program terpaksa pasrah menerima pesawat ini dengan level dibawah harapan awal. Tapi walau bagaimanapun pesawat Low Observable sekelas F-35 JSF masih bisa sangat strategis dan bisa jadi game changer, terutama jika digunakan untuk menghadapi negara dengan kemampuan radar dan dan payung udara yang minim. Apalagi jika negara yang terancam dengan kehadiran F-35 itu adalah negara kepulauan yang  luas dan karenanya bisa terancam dari berbagai penjuru.




Sumber : JKGR

Indonesia Targets 2018 Completion Of Indigenous Submarine

JANE'S-(IDB) : State-owned shipbuilder PT PAL will complete an indigenously-built Chang Bogo-class diesel-electric submarine (SSK) by 2018, Indonesia's Defence Industrial Policy Committee (KKIP) said on 19 February.


The KKIP, established in October 2010 to formalise national policies on defence procurement and indigenous manufacturing, was responding to discussion of the Indonesian government's decision to invest a further USD250 million in the local shipbuilder. PT PAL was allocated the funding to enable it to modernise its facilities in order to construct and support submarines.


Indonesia's first and second Chang Bogo-class SSKs, scheduled to be delivered by 2017, are currently being constructed by Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) with gradually increased input from PT PAL engineers and technicians. The third SSK will be license-built in a PT PAL shipyard in Indonesia.


To date, the KKIP has sent 206 personnel to South Korea to work with DSME.


Admiral Purnawirawan Sumardjono, head of the KKIP, said that the bigger picture behind these arrangements is for Indonesia to develop the capacity to operate 12 submarines. "We have 5 million km 2 of water to patrol. At this point in time, we only have two [boats]", said Adm Sumardjono. The Indonesian Navy (TNI-AL) currently operates two German-built Cakra Type 209/1300 submarines, built in the 1970s.


The admiral added that Indonesia ultimately plans to move away from imports as a means of fulfilling its defence requirements, including in the underwater domain. "If we are embargoed, we are finished", he said. "A country that takes charge of its own needs via an indigenous defence industry can have its say in world politics".

Comment


Given Indonesia's current level of local experience in building submarines, the build timeline set out by the KKIP seems optimistic.


No concerted work appears to be underway as yet on the infrastructure upgrade, and reports suggest only a small proportion of the industrial workforce has been sent for training in South Korea.


Moreover, building a boat of this size can take 4-5 years when supported by an established knowledge base and production line. Taking these steps into account, it may be more likely that a boat assembled locally (following material build elsewhere) could be ready by 2020, with a locally built boat ready in 2022.




Source : Jane's