Pages

Sabtu, Maret 01, 2014

AS Kembali Ke Diplomasi Tradisional

WASHINGTON-(IDB) : Setelah Perang Dunia ke-2, Amerika Serikat terlibat dalam tiga medan perang yang berat dan memakan korban cukup banyak bagi pasukannya. Mandala tempur yang menggiriskan adalah Perang Vietnam, Perang di Irak dan yang juga belum selesai adalah operasi tempurnya di Afghanistan. Melawan tikus tanah Vietnam, seorang letnan baru pasukan AS dikabarkan hanya mempunyai kesempatan hidup tujuh menit begitu diterjunkan ke medan tempur. Teknologi perang AS harus menghadapi kegigihan dan jumlah demikian banyak Vietcong yang siap mati.

Tercatat korban dari pasukan sekutu (AS tewas: 58.209, terluka: 153.303, Korea Selatan, tewas:  5.000, terluka: 11.000,   Australia tewas: 520. Akhirnya setelah terlibat dari tahun 1957-30 April 1975, AS harus mengalah dan pull out dari Vietnam. Apa yang didapat dari Perang Vietnam? Hanya nama, bahwa AS adalah negara besar, mampu menjaga efek domino penyebaran pengaruh komunis di Asia Tenggara.


Invasi pasukan AS ke Irak merupakan perang kelam tersendiri bagi rakyat AS. Dalam perang yang berlangsung antara 18 Maret 2003 - 15 Desember 2011, pasukan  koalisi yang tewas berjumlah 3.817 orang  (terdiri dari  pasukan AS 2,923, 126 UK, 121 lainnya, dan 647 orang kontraktor). Koalisi terluka berjumlah 26.886 orang, terdiri dari 22.032 dari AS, 891 dari Inggris, 3.963  kontaktor.


Dalam operasi tempur di Afghanistan, yang berlangsung dari tanggal 7 Oktober 2001 hingga kini, tercatat korban pasukan koalisi yang terbunuh 1908 (Amerika Serikat: 1162, Inggris: 313, Lainnya: 433). Koalisi yang terluka berjumlah 15.000 (Amerika Serikat: 6773, Inggris: 3,954, Kanada,1,500, Lainnya, 2.500). Korban dari kontraktor sipil AS: 338 terbunuh, 7224 luka.


Dari dua perang terakhir dimana tercatat puluhan ribu pasukan AS dan koalisi yang terlibat, pemerintah AS lebih fokus mengarah kepada ancaman teroris setelah peristiwa serangan WTC 11 September 2001. Afghanistan kemudian diserbu, di duduki, pemerintahan Taliban dijatuhkan karena dianggap melindungi Osama bin Laden dengan Al Qaeda. Ternyata Osama tokoh teroris musuh utamanya AS berhasil dibunuh di Pakistan dan bukan di Afghanistan. Demikian juga pemerintahan George Bush, memutuskan menyerbu Irak, karena mendapat informasi intelijen adanya ancaman SPM (Senjata  Pemusnah Massal) di bawah kendali Saddam Husein.


Kebijakan Kepemimpinan Presiden Barack Obama


Presiden Obama berhasil menyelesaikan sebagian pekerjaan rumah pemerintahan sebelumnya dengan menyergap Osama bin Laden di wilayah Pakistan. Selain itu banyak pimpinan puncak Al Qaeda, Taliban dan Haqqani yang tewas dengan penyerangan teknologi peluru kendali dari pesawat tanpa awak (drone). Peran tempur di Irak telah selesai. Pekerjaan rumah berat lainnya adalah bagaimana kembali pull out dengan cantik dari Afghanistan.


Pada hari Rabu (1/2/2012), Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta (saat itu) mengatakan bahwa penarikan pasukan AS di Afghanistan akan lebih dipercepat setahun lebih awal pada tahun 2013. Menurutnya, Presiden Obama akan segera melakukan penghentian perang yang diwarisinya dari pemerintahan Presiden George Bush Pernyataan Menhan Panetta merupakan kelanjutan dari pernyataan Presiden Obama yang mengatakan pada tanggal 22 Juni 2011, bahwa negara yang menjadi basis serangan ke daratan AS pada peristiwa 11 September 2001, kini  sudah bukan merupakan ancaman teror terhadap AS. "Gelombang perang telah surut, dan kini sudah saatnya AS membangun negara," tegas Obama.


Pejabat berwenang AS mengatakan bahwa penggantian operasi tempur digantikan dan lebih difokuskan pada operasi kontraterorisme rahasia, seperti yang dilakukan saat melakukan penyergapan terhadap pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden. Kasus tersebut dijadikan sebagai sebuah kebijakan cerdas Presiden Obama terkait kebijakan pengurangan substansial pasukan Amerika tersebut.


Obama mengakui dan mengatakan bahwa bahwa kampanye intens serangan drone dan operasi rahasia lainnya di Pakistan telah melumpuhkan jaringan Al-Qaeda di kawasan itu. Para pimpinan Al-Qaeda tersebut telah berhasil ditembaki dan dibunuh diantara perbatasan Pakistan dan Afghanistan dengan operasi rahasia. Dari 30 pemimpin Al-Qaeda tingkat atas yang di identifikasikan oleh intelijen Amerika, 20 orang telah tewas dalam waktu satu tahun, setengahnya karena serangan drone. Presiden Obama menegaskan, "Ketika terancam, kita harus merespon dengan kekuatan," katanya. “But when that force can be targeted, we need not deploy large armies overseas,” jelasnya.


Kini, diantara pembantu presiden AS, yang paling pusing dan sibuk  adalah Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan. Dua menteri utama itu, Menlu John Kerry dan Menhan Chuck Hagel harus berjuang keras, memadukan keterbatasan anggaran dengan peran AS di dunia internasional seperti yang diinginkan Presiden Barack Obama. Pada hari Selasa (25/2/2014), Menhan Chuck Hagel mengatakan, bahwa Presiden Obama telah memerintahkan Pentagon untuk mulai secara resmi mempersiapkan penarikan lengkap pasukan AS dari Afghanistan pada akhir tahun ini.


Pernyataan muncul setelah Obama memutuskan bahwa tidak mungkin  Presiden Afghanistan Hamid Karzai akan menandatangani perjanjian keamanan bilateral (Bilateral Security Agreement) yang lama tertunda , yang akan memberikan perlindungan dan otoritas kritis setelah 2014.  AS tidak harus menempatkan pasukannya di Afghanistan setelah tahun 2014. Hingga kini AS merasakan kesulitan dalam menghadapi sikap Karzai, dan Washington belum memutuskan berapa jumlah pasukannya yang tetap akan ditinggalkan di Afghanistan.


Washington Post menuliskan, dalam sebuah pertemuan antara Kerry dan Hagel di Munich Sabtu lalu, Menhan Hagel menegaskan bahwa bahwa ia telah mengambil kebijakan yang low profile,  lebih rendah di arena kebijakan luar negeri dibandingkan para pendahulunya . Setelah 12 tahun terlibat dalam perang di Irak dan Afghanistan di mana Pentagon mengambil peran utama dalam kebijakan luar negeri , ia mengatakan bahwa pemerintahan Obama telah memutuskan, sudah waktunya untuk mengambil posisi,  yang lebih menekankan kepada diplomasi tradisional.


Tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri AS selama ini adalah; AS menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara besar yang bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal (SPM), dan menyebar luaskan demokrasi dan menghormati hak azasi manusia (Stephen M. Walt).


Dikatakan selanjutnya oleh Hagel, "Selama tahun lalu , John dan saya berdua  bekerja untuk mengembalikan keseimbangan hubungan antara pertahanan Amerika dan diplomasi, kemitraan transatlantik yang berhasil karena penerapan kebijakan antara diplomasi dan pertahanan." AS menginginkan sekutunya di Eropa mengambil peran yang lebih besar dalam mengatasi beberapa konflik di beberapa hot spot, seperti di  Iran, Suriah dan Afghanistan. Hegel menekankan perlunya ‘transatlantic renaissance’ (masa peralihan antara abad pertengahan ke abad modern yang ditandai dengan lahirnya berbagai kreasi baru Eropa dikawasan transatlantik), dimana Washington akan banyak bergantung kepada sekutunya di  Eropa dalam menghadapi krisis politik dan keamanan.


AS masa kini akan lebih low profile dalam dan menghindari melibatkan kekuatan pasukan di bagian dunia, kemelut di Suriah dan Ukraina misalnya, sikap AS jauh lebih lembut dibandingkan keputusan peran polisi dunianya pada masa lalu. Para elit di Washington justru bertanya-tanya, apakah pemerintahan Obama telah mundur dari yang disebut kepemimpinan tradisional AS yang menyangkut masalah keamanan.


Rencana Pengurangan Kekuatan


Dalam menata kebijakan yang lebih luwes antara diplomasi dan pertahanan, pemerintah AS kini merencanakan akan memangkas kekuatan baik personil maupun alutsistanya. Perampingan kekuatan terutama berupa pengurangan jumlah anggota militernya, lebih dari seperdelapannya. Menhan Chuck Hagel pada hari Senin (24/2/2014) menyatakan, dengan kemajuan teknologinya, AS akan menjadi lebih cepat tanggap dan tidak mudah diprediksi. Pengurangan pasukan regular akan diimbangi dengan penambahan pasukan elit dari 66.000 menjadi 69.000 personil, dan juga memanfaatkan teknologi canggih.


Pada tahun 2017, AS akan mengurangi jumlah pasukan regulernya sebanyak 13 persen, disamping akan mengandangkan pesawat-pesawat tua dan melakukan reformasi tunjangan bagi militer. Rencana pemerintah tersebut nampaknya akan mendapat hambatan dari anggota kongres yang khawatir akan membahayakan kesiagaan militer AS. Menganggap kebijakan Hagel hanya upaya melakukan penghematan belaka,


Menhan Hagel justru meyakinkan bahwa militer AS telah beradaptasi terhadap ancaman masa depan. Dia meyakinkan bahwa strategi besar Pentagon memastikan bahwa angkatan bersenjata AS akan menang apabila terlibat dalam dua perang dalam waktu yang bersamaan.

Sebenarnya apa latar belakang semua kebijakan AS tersebut. Sejak tahun 2007, pemerintah AS telah mengembangkan upaya pengumpulan informasi intelijen dengan menggelontorkan anggaran dalam jumlah yang sangat besar. Snowden membocorkan pada tahun fiskal 2013 saja black budget lima badan intelijen AS (termasuk NSA dan CIA) mendapat kucuran sebesar US$52,6 milyar. Intelijen AS dengan empat mitranya, 5-eyes (Inggris, Australia, Canada dan NZ) kemudian melakukan operasi penyadapan ke negara-negara yang dinilai sebagai target penting. Dengan demikian maka pemerintah AS dengan kemajuan teknologinya mampu mengidentifikasi lawan atau calon lawannya. Situasi dan kondisi di negara manapun mereka fahami dengan baik, tidak ada satupun yang lolos, terbukti Jerman,negara sekutunya termasuk pemimpinnya juga disadap.


Dengan demikian maka kebijakan yang diputuskan Presiden Obama dan dilaksanakan oleh Kerry dan Hagel jelas valid dan realistis. Karena itu AS masa kini berbeda dengan AS masa lalu, mereka tahu apa yang ada di benak pada Mullah di Iran, faham dengan yang ada di otak Karzai dan juga faham dengan yang terjadi di Suriah dan yang kini terjadi di Ukraina. AS tidak gegabah langsung terlibat, menggempur dan melakukan langkah preemtif seperti masa lalu. Semua diukur dan diputuskan mana yang penting dan mana yang bukan domain mereka. Kasus berat Iran dan Suriah akan diselesaikan dengan pendekatan diplomatis bukan pertahanan lagi, dan justru Rusia kini mereka jadikan kartu yang efektif untuk menyelesaikan kemelut itu.


Kesimpulannya, pada masa mendatang, perang akan diawali,  dilakukan jauh dari garis belakang, cukup dengan memonitor layar komputer. Yang terpenting, apa yang ada di benak para pemimpin dan elit sebuah negara. Intelijen merupakan pemain utama dalam memenangkan perang, sementara pasukan dan peralatan militer adalah pelengkap untuk mengeksekusi apabila sudah diperlukan. Prinsip efektif dan efisien kini diterapkan dengan teknologi canggih. AS meyakini bahwa gabungan antara kemajuan teknologi,  pasukan elit, alutsista modern yang  akan memenangkan perang. Itulah Amerika Serikat masa kini.




Sumber : RI

2 komentar:

  1. amerika meniru indonesia bagaimana caranya menjaga wilayah yg begitu luas dengan peralatan perang yg sebegitu minim, pada saat yg sama berada di kepungan tetangga yg tak malu malu menerkam disaat sempit. suka tidak suka indonesia berhasil dgn sukses.

    BalasHapus
  2. Barack Obama yg secara terus terang bangga pernah menjadi bagian dari indonesia telah membuat amerik menjadi "berbeda" bisa dikatakan lebih beradab, paranoidnya berkurang, tak mudah meletuskan senjata.

    meski demikian kita harus tetap selalu WASPADA terhadap perubahan sikap amerika.

    BalasHapus