Pakar Radar Dan UAV Dunia
TOKYO-(IDB) : Dua matanya selalu berbinar, seakan memancarkan energi positif. Dialah Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, perekayasa radar dan pesawat nirawak asal Indonesia yang kini berkarya di Jepang.
Ditemui Kompas.com di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat (15/8/2014) lalu, Josaphat berkisah tentang masa kecil, perjuangannya meniti karier, karya, serta mimpi yang masih dimiliki pada usianya yang menginjak 44 tahun. Selain berbincang tentang perjalanan hidupnya, ia juga memberikan pandangannya tentang gagasan drone yang diungkapkan Presiden terpilih Joko Widodo.
“Saya senang menatap mata orang ketika berbicara,” katanya. Mungkin seperti kata pepatah, mata adalah jendela hati. Dengan menatap mata, kepribadian dan isi hati seseorang bisa diketahui.
“Hal yang begitu menyedihkan ketika masih mendapati mata pemuda yang terlihat lesu, tatapannya kosong, seakan banyak masalah yang mesti dipikirkannya. Sempatkah mereka berpikir untuk dunia,” ujarnya.
Josh, demikian nama panggilannya, terlahir dari seorang ayah yang bekerja di TNI Angkatan Udara. Latar belakang keluarga ini menjadi salah satu faktor yang memupuk minatnya pada radar dan pesawat nirawak.
Pada umur empat tahun, Josh sudah diajak ke kantor ayahnya yang saat itu menjadi anggota Pasukan Gerak Tjepat TNI AU. Ia berkeliling markas militer, melihat ragam teknologi. Ia lalu menemukan dan jatuh cinta pada radar.
“Radar itu buatannya siapa? Buatan orang Indonesia, ya?” demikian ia sering bertanya. Sayangnya, jawabannya bukan. Dia pun kecewa. “Padahal, saya bangga kalau itu buatan orang Indonesia,” imbuhnya.
Kegemarannya berkeliling, mengamati, dan menghitung radar kerap menjadi bahan obrolan para tentara yang bertugas piket. Tak jarang, dia “diomeli” karena aktivitasnya yang mungkin mengganggu itu.
Beranjak dewasa, ternyata kecintaannya pada radar tak hilang. Lulus SMA, cita-citanya adalah mempelajari dan menciptakan radar. Ia melirik universitas yang menawarkan program aeronautika di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.
Beasiswa ke Jepang memang kemudian dikantongi. Sayangnya, bukan pada jurusan aeronautika, melainkan elektronika. Josh remaja sempat kecewa. Tetapi, ia pun mengambil kesempatan belajar elektronika itu.
Masuk ke Kanazawa University, impian Josh akan radar tak padam. Pada tingkat empat, ia mencari-cari pelajaran tentang radar. Ia pun menemukan mata kuliah yang berkaitan dengan radar, yaitu satelit dan keantariksaan.
Lulus tahun 1995, Josh menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil membuat radar bawah tanah. Pria yang kerap dijuluki “The Smiling Professor” ini pun melanjutkan studi tingkat master untuk memperdalam bidang radar.
Menempuh pendidikan tingkat doktoral, Josh mengambil bidang Synthetic Apperture Radar (SAR) di Center Environmental Remote Sensing. Di institusi itu, dia berkenalan dengan SAR. Di sana juga ia kini berkarya.
Ditemui Kompas.com di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat (15/8/2014) lalu, Josaphat berkisah tentang masa kecil, perjuangannya meniti karier, karya, serta mimpi yang masih dimiliki pada usianya yang menginjak 44 tahun. Selain berbincang tentang perjalanan hidupnya, ia juga memberikan pandangannya tentang gagasan drone yang diungkapkan Presiden terpilih Joko Widodo.
“Saya senang menatap mata orang ketika berbicara,” katanya. Mungkin seperti kata pepatah, mata adalah jendela hati. Dengan menatap mata, kepribadian dan isi hati seseorang bisa diketahui.
“Hal yang begitu menyedihkan ketika masih mendapati mata pemuda yang terlihat lesu, tatapannya kosong, seakan banyak masalah yang mesti dipikirkannya. Sempatkah mereka berpikir untuk dunia,” ujarnya.
Josh, demikian nama panggilannya, terlahir dari seorang ayah yang bekerja di TNI Angkatan Udara. Latar belakang keluarga ini menjadi salah satu faktor yang memupuk minatnya pada radar dan pesawat nirawak.
Pada umur empat tahun, Josh sudah diajak ke kantor ayahnya yang saat itu menjadi anggota Pasukan Gerak Tjepat TNI AU. Ia berkeliling markas militer, melihat ragam teknologi. Ia lalu menemukan dan jatuh cinta pada radar.
“Radar itu buatannya siapa? Buatan orang Indonesia, ya?” demikian ia sering bertanya. Sayangnya, jawabannya bukan. Dia pun kecewa. “Padahal, saya bangga kalau itu buatan orang Indonesia,” imbuhnya.
Kegemarannya berkeliling, mengamati, dan menghitung radar kerap menjadi bahan obrolan para tentara yang bertugas piket. Tak jarang, dia “diomeli” karena aktivitasnya yang mungkin mengganggu itu.
Beranjak dewasa, ternyata kecintaannya pada radar tak hilang. Lulus SMA, cita-citanya adalah mempelajari dan menciptakan radar. Ia melirik universitas yang menawarkan program aeronautika di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.
Beasiswa ke Jepang memang kemudian dikantongi. Sayangnya, bukan pada jurusan aeronautika, melainkan elektronika. Josh remaja sempat kecewa. Tetapi, ia pun mengambil kesempatan belajar elektronika itu.
Masuk ke Kanazawa University, impian Josh akan radar tak padam. Pada tingkat empat, ia mencari-cari pelajaran tentang radar. Ia pun menemukan mata kuliah yang berkaitan dengan radar, yaitu satelit dan keantariksaan.
Lulus tahun 1995, Josh menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil membuat radar bawah tanah. Pria yang kerap dijuluki “The Smiling Professor” ini pun melanjutkan studi tingkat master untuk memperdalam bidang radar.
Menempuh pendidikan tingkat doktoral, Josh mengambil bidang Synthetic Apperture Radar (SAR) di Center Environmental Remote Sensing. Di institusi itu, dia berkenalan dengan SAR. Di sana juga ia kini berkarya.
Gurita Pendidikan
Seorang guru besar dari University of Illinois, Prof Em
Wolfgang-Martin Boerner memberikan julukan “Academy of Octopus” atau
gurita pendidikan kepada Josh. Julukan itu terkait dengan sepak
terjangnya dalam radar.
Pada masa susah hidupnya di Jepang, Josh harus banyak meneliti agar
bisa mendapatkan beasiswa. Ia akhirnya mendapatkan beasiswa tambahan
dari Sato Yo Internasional Foundation. Sekarang, dia menjadi assessor di lembaga tersebut.
Saat mengenyam pendidikan doktoral, Josh rajin menulis paper. Hingga usia 25 tahun, Josh telah menghasilkan 16 paper.
Jumlah itu tiga kali lebih banyak dari yang disyaratkan untuk menjadi
seorang dosen. Alhasil, Josh pun mendapat banyak tawaran mengajar.
“Saya tidak menyangka rekrutmen staf pengajar di Jepang dinilai dari jumlah paper yang dibuat. Saya langsung diangkat menjadi dosen, tanpa melalui tingkat asisten dulu,” tuturnya.
Beberapa universitas yang memberikan tawaran mengajar ataupun menjadi
staf antara lain Leicester University, Kanazawa University, serta
Massachusetts Institute of Technology. Ia kemudian memilih di Chiba
University, Jepang.
Sejak 1 April 2013, Josh terdaftar sebagai profesor termuda di Chiba
University. Ia telah menghasilkan radar, satelit, dan pesawat nirawak.
Ia juga mengantongi 120 paten, 500 kali presentasi di banyak negara,
serta profesor dengan dana terbanyak.
Lebih dari itu, Josh juga mengepalai sebuah laboratorium di Jepang
bernama Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL). Di sanalah
ia melakukan rekayasa dan riset radar serta pesawat nirawak.
Salah satu karya Josaphat adalah pesawat nirawak Josaphat Laboratory
Large Scale Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX-1). Pesawat nirawak
itu adalah yang terbesar di Asia, berukuran 6 meter serta dapat membawa
sensor hingga seberat 30 kg.
Impian
Selain dosen dan perekayasa, Josh juga seorang filantropi. Sejak
tahun 2002, bersama keluarganya, ia mendirikan yayasan pendidikan
Pandito Panji Foundation. Nama yayasan itu diambil dari nama putranya
sendiri.
Yayasan itu memberikan beasiswa penuh bagi anak-anak bangsa sejak
duduk di bangku sekolah dasar hingga master. “Untuk tingkat doktor, kita
biarkan mereka untuk mencari dana sendiri agar mereka punya kebanggaan
sudah membiayai dirinya sendiri,” tutur Josh.
Josh juga memberi kesempatan kepada orang Indonesia untuk mengenyam
program pendidikan singkat di Jepang. Selain belajar, orang Indonesia
juga diharapkan mengenal Jepang dengan kedisiplinan, ketekunan, dan
kemanusiaannya walaupun relatif tak beragama.
Dana yayasan yang didirikan Josh di antaranya berasal dari uang
pribadi. Ada satu impian Josh, yaitu agar orang Indonesia lebih maju. Ia
juga bisa berperan bagi Indonesia meskipun tidak bekerja di Indonesia.
“Ini kesempatan saya memberikan banyak manfaat bagi anak-anak
Indonesia untuk belajar di luar. Mudah-mudahan dalam 5-10 tahun ke
depan, agen-agen saya ini bisa memperbaiki Indonesia. Saya kira bisa.
Mungkin suatu saat juga ada pengganti saya,” harapnya.
Gemar mengumpulkan peta kuno, Josh juga mempunyai impian untuk
mendirikan museum peta dan teknologi bila usianya menginjak 65 tahun
nanti. Ia bercita-cita membangunnya di wilayah Narita. Di museum itu, ia
berharap bisa menginspirasi orang lain dengan menunjukkan teknologi
yang telah dibuatnya.
“Ini semacam time mark dalam hidup saya. Suatu saat akan bercerita tentang perjalanan hidup saya, tentang apa saja yang telah saya capai,” katanya.
Josaphat juga memimpikan Indonesia yang lebih baik dari saat ini.
Menurut dia, Indonesia tidak bisa terus mengejar ketertinggalan, tetapi
berupaya menjadi pemimpin. Salah satu pilarnya adalah lewat edukasi dan
riset.
Komentar Prof. Josaphat Masalah “Drone”
Tahun depan Malaysia akan menggunakan drone yang saya buat untuk mengawasi tapal batas Indonesia. Sayang sekali, pihak Malaysia akan membeli teknologi orang Indonesia untuk menjaga perbatasan keamanan Indonesia.
Salah satu rencana presiden terpilih Joko Widodo adalah mengaplikasikan drone atau pesawat nirawak (UAV) untuk pemantauan. Rencana ini menuai reaksi positif dari banyak pihak. Namun, perencanaan tetap dibutuhkan.
Kompas.com menemui pakar radar dan pesawat nirawak dunia asal Indonesia, Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, di Jakarta, Jumat (15/8/2014). Josh terdaftar sebagai profesor termuda di Chiba University, Jepang, sejak 1 April 2013. Ia telah menghasilkan radar, satelit, dan pesawat nirawak. Ia juga mengantongi 120 paten, 500 kali presentasi di banyak negara, serta profesor dengan dana terbanyak.
Josh memberikan gagasan dan masukan tentang apa yang harus dipersiapkan sebelum memakai drone. Berikut petikan perbincangan dengan Josh.
Presiden terpilih Joko Widodo rencananya memperkuat pertahanan dengan drone. Salah satu tujuannya untuk pemantauan laut. Bagaimana menurut Anda?
Ini sangat bagus karena pada dasarnya kita bisa mengurangi risiko kematian dari awak kapal atau petugas keamanan. Selain itu, kalau drone kita pergunakan setiap hari untuk pengawasan tapal batas, kan orang itu akan hitung-hitungan.Tahun depan Malaysia akan menggunakan drone yang saya buat untuk mengawasi tapal batas Indonesia. Sayang sekali, pihak Malaysia akan membeli teknologi orang Indonesia untuk menjaga perbatasan keamanan Indonesia.
Lalu, apa yang harus direncanakan oleh Indonesia ketika punya program menggunakan drone untuk pemantauan ini?
Hal lain yang mesti dipikirkan adalah undang-undang untuk keamanan menggunakan drone. Suatu saat, Indonesia kan akan berkembang, termasuk akan bertambah pesawatnya. Nah, ini kan dibutuhkan aturan.Tidak hanya di Indonesia, di Jepang pun permasalahan ini belum jelas dan sedang dibahas. Misalnya, tentang klasifikasinya, ukuran besar-kecilnya, ketinggian menerbangkan drone seperti apa dan di mana saja, harus kita perjelas dulu kebijakan itu.
Namanya pesawat kan ada jalurnya. Nah, sekarang agar dronedapat terbang sesuai pada titik yang kita inginkan harus ada sistem navigasinya. Sistem pengamanannya juga, bahkan di Indonesia alat-alat yang digunakan untuk teknologi drone masih impor. Semua harus diperjelas. Jalurnya harus jelas untuk keamanan. Begitu pula untuk keamanan pengoperasiannya.
Jepang dan Amerika saja belum memikirkan sampai di situ. Ya, kita tidak pesimistis sebenarnya. Akan tetapi, cobalah untuk memperbaiki hal-hal yang seperti itu. Untuk standardisasi dronejuga harus dipikirkan. Jadi, kita harus buat aturan yang jelas. Jika jalurnya tidak jelas, pesawat drone bisa menabrak kapal penumpang.
Nah, untuk mendukung ini, kita harus membuat teknologi sendiri. Jadi, kita tidak hanya bisa beli saja, tetapi juga memperjelas sistematika atau aturan mainnya dan dari drone itu sendiri.
Drone-nya Sendiri?
Yang penting kita yang harusnya membuat teknologi itu. Sebab, dari segi keamanan, misalnya pengamanan data, kita sendiri yang kelola. Nah, kalau drone-nya kita ambil dari orang lain, kita tidak akan tahu secara penuh prosesnya. Setahu saya, ada delay satelit, yang mungkin saja ada perpindahan data dulu ke pembuat dan sebagainya. Agar terjaga keamanannya, teknologi kita harus buat sendiri. Selain itu, kita harus juga menyesuaikan drone yang dibuat dengan klasifikasi dan ciri yang ada di Indonesia. Drone yang kuat untuk alam Indonesia. Dibuatnya di Indonesia, risetnya juga harus di Indonesia. Kalau dari luar, belum tentu cocok.
Jadi, Drone Apa Yang Pas Untuk Keamanan Di Laut Indonesia?
Jadi, dari segi jangkauan, setidaknya harus menjangkau Zona Ekonomi Eksklusif. Jadi sampai batas itu, bisa bolak-balik. Jadi, enggak mungkin drone yang kecil, harus juga disesuaikan dengan kedalaman lautnya. Setiap jenis keamanan sangat bergantung dari besaran kedalaman laut. Jenis, kemampuan, jumlah dan biayadrone yang dibutuhkan sangat bergantung pada kedua hal itu.
Bagaimana Efektivitas Drone Untuk Pengamanan Sebenarnya?
Jadi, pertama, drone itukan hanya sebatas mengetahui, bahwa oh di sini ada illegal logging, atau pengubahan tapal batas. Selama ini kan polisi laut kalau ada permasalahan langsung menembak atau lain sebagainya. Namun, drone posisinya tidak dapat untuk membuat tindakan bila ada permasalahan. Kalau tidak, malahdrone kita yang malah ditembak. Jadi, kita harus membuat jaringan pada UAV-nya, itu kan hanya warning-nya, nanti info dari drone disalurkan entah ke polisi laut, instansi keamanan laut terdekat. Sistem keamanan seperti itu juga mesti dipikirkan.
Harapannya Untuk Pengembangan?
Kalau pengembangan di Indonesia itu bergantung pada ahlinya. Ada yang pintar membuat frame, ada yang membuat sistem di dalamnya, mesin, bodi, dan sebagainya. Selama ini, semua bersaing. Nah, saya berpikir bahwa kita harus menyatukan itu agar lebih berkembang lagi dengan baik, jadi mempersatukan ahli di Indonesia. Ini pelik sekali. Banyak orang Indonesia yang hebat. Ini hal yang mesti diperbaiki, misalnya dengan membuat sebuah konsorsium atau apa pun bentuknya itu. Itu harus ada figur yang bisa mempersatukan dan pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia karena sebenarnya kita mampu mengatasi beberapa kekurangan yang saya sebutkan sebelumnya. Dulu, mungkin ada figur seperti Habibie, tapi sekarang belum ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar