JAKARTA-(IDB) : Meski secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, namun Indonesia belum (bukan) negara maritim. Sebab Indonesia belum optimal memanfaatkan potensi laut, dan belum memberikan manfaat besar bagi potensi kelautan dan perikanan.
“Hal yang sangat ironi dengan posisi Indonesia sebagai negara maritim adalah Indonesia masih mengimport ikan dan garam. Padahal secara geografis, Indonesia sudah sepatutnya bisa swasembada garam dan ikan,” kata Wakil Menteri Perindustrian, Alex Retraubun saat diskusi bertajuk “Posisi Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia” yang diselenggarakan oleh Archipelago Solidarity Foundation, di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Jumat (4/7).
Pembicara lain dalam diskusi yang dipandu Peneliti Senior CSIS J Kristiadi adalah Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida dan Pendiri Archipelago Solidarity Foundation, Oek Engelina Pattiasina.
Alex yang juga pengajar di Universitas Pattimura, Ambon, membantah jika Indonesia disebut sebagai negara agraris. Sebab wilayah laut jauh lebih luas daripada luas daratan.
Meski begitu, Alex mengakui bahwa selama ini produksi di daratan jauh lebih tinggi ketimbang produksi hasil di lautan, misalnya Indonesia saat ini negara dengan produksi karet dan kakao terbesar kedua di dunia. Bahkan Indonesia menjadi negara dengan produsen CPO nomor satu di dunia.
Alex menilai gagasan Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia bisa diwujudkan apabila didukung oleh sumber daya nasional.
“Saya percaya, jika Jokowi sudah membumikan dalam visi dan misinya, maka perlu sumber daya manusia yang mendukung visi dan misi tersebut,” kata Alex Retraubun.
Pendiri Archipelago Solidarity Foundation, Oek Engelina Pattiasina mengungkapkan, tema diskusi ini sangat relevan, tidak saja untuk memberikan dukungan kepada capres Joko Widodo, tetapi yang lebih penting adalah mencari solusi atas masalah yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pattiasina menyayangkan terhadap kebijakan politik anggaran. Sebab penetapan dana alokasi umum (DAU) hanya didasarkan pada luas daratan dan jumlah penduduk. “Hal ini membuat propinsi kepulauan akan tetap miskin,” kata Pattiasina.
Pattiasina menambahkan, setelah didirikan beberapa tahun lalu, Archipelago Solidarity Foundation, memilih untuk fokus kepada isu negara kepulauan. Sebab, dirinya melihat tidak adanya keseriusan untuk mengurusi negara kepulauan ini. Padahal, negara Indonesia memiliki wilayah yang terdiri dari 80 persen laut dan 20 persen adalah darat.
Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida mengingatkan, negara maritim harus menjadi mainstream yang dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang berpijakan pada kondisi Indonesia sebagai negara maritim.
“Hal yang sangat ironi dengan posisi Indonesia sebagai negara maritim adalah Indonesia masih mengimport ikan dan garam. Padahal secara geografis, Indonesia sudah sepatutnya bisa swasembada garam dan ikan,” kata Wakil Menteri Perindustrian, Alex Retraubun saat diskusi bertajuk “Posisi Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia” yang diselenggarakan oleh Archipelago Solidarity Foundation, di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Jumat (4/7).
Pembicara lain dalam diskusi yang dipandu Peneliti Senior CSIS J Kristiadi adalah Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida dan Pendiri Archipelago Solidarity Foundation, Oek Engelina Pattiasina.
Alex yang juga pengajar di Universitas Pattimura, Ambon, membantah jika Indonesia disebut sebagai negara agraris. Sebab wilayah laut jauh lebih luas daripada luas daratan.
Meski begitu, Alex mengakui bahwa selama ini produksi di daratan jauh lebih tinggi ketimbang produksi hasil di lautan, misalnya Indonesia saat ini negara dengan produksi karet dan kakao terbesar kedua di dunia. Bahkan Indonesia menjadi negara dengan produsen CPO nomor satu di dunia.
Alex menilai gagasan Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia bisa diwujudkan apabila didukung oleh sumber daya nasional.
“Saya percaya, jika Jokowi sudah membumikan dalam visi dan misinya, maka perlu sumber daya manusia yang mendukung visi dan misi tersebut,” kata Alex Retraubun.
Pendiri Archipelago Solidarity Foundation, Oek Engelina Pattiasina mengungkapkan, tema diskusi ini sangat relevan, tidak saja untuk memberikan dukungan kepada capres Joko Widodo, tetapi yang lebih penting adalah mencari solusi atas masalah yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pattiasina menyayangkan terhadap kebijakan politik anggaran. Sebab penetapan dana alokasi umum (DAU) hanya didasarkan pada luas daratan dan jumlah penduduk. “Hal ini membuat propinsi kepulauan akan tetap miskin,” kata Pattiasina.
Pattiasina menambahkan, setelah didirikan beberapa tahun lalu, Archipelago Solidarity Foundation, memilih untuk fokus kepada isu negara kepulauan. Sebab, dirinya melihat tidak adanya keseriusan untuk mengurusi negara kepulauan ini. Padahal, negara Indonesia memiliki wilayah yang terdiri dari 80 persen laut dan 20 persen adalah darat.
Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida mengingatkan, negara maritim harus menjadi mainstream yang dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang berpijakan pada kondisi Indonesia sebagai negara maritim.
Sumber : Jurnas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar