Pages

Sabtu, Juli 06, 2013

Ekspedisi Khatulistiwa Koridor Sulawesi Resmi Ditutup

BATUJAJAR-(IDB) : Setelah berada di Minahasa, Dedi Purwanto segera menghubungi dosennya untuk mengubah tema skripsi. Ia mengubah objek penelitian dari monyet tak berekor di Pangandaran, Jawa Barat, menjadi tarsius spektrum di Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara.

"Kalau biaya sendiri nggak sanggup saya kalau harus meneliti tarsius di Tangkoko," ujar Dedi.

Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Jakarta ini bisa meneliti tarsius karena ikut Ekspedisi NKRI. Ekspedisi yang digagas TNI ini mengambil sasaran Pulau Sulawesi. Dedi tergabung di Tim Flora Fauna Subkorwil Minahasa, Sulawesi Utara.

"Daripada harus penelitian lagi di Pangandaran, sekalian saja penelitian di sini," ujar Dedi. Dosen Dedi menyetujui perubahan tema yang diajukan Dedi. Usai ekspedisi Dedi harus berkutat dengan skripsinya yang membahas sarang dan habitat tarsius.

Ekspedisi yang berlangsung sejak 7 Maret itu, ditutup Pangkostrad Letjen TNI Gatot Nurmantyo di Pusdikpassus Batujajar, Sabtu (6/7). Gatot mengapresiasi kerja peserta ekspedisi yang mendapatkan hasil penelitian lebih banyak dari ekspedisi-ekspedisi sebelumnya. "Saya bangga dan cinta kalian, tim ekspedisi," ujar Gatot.

Menurut Kepala Bagian Operasional Ekspedisi NKRI Letkol Inf Rafael G Baay, ada sekitar 1.300 peserta yang disebar di sembilan subkoordinatorat wilayah (subkorwil) ekspedisi. Mereka terdiri dari tentara, dan mahasiswa serta beberapa aktivis LSM, organisasi kepemudaan, Menwa, dan PMI. Mereka tergabung di tim penelitian sosial budaya, penelitian flora fauna, penelitian geologi dan potensi bencana, penelitian kehutanan, tim jelajah hutan, tim jelajah rawa, laut, sungai, dan pantai, serta tim komunikasi sosial.

Banyak mahasiswa yang sekaligus melakukan penelitian skripsi selama mengikuti ekspedisi ini. Dian Ayu dari Antropologi UGM juga meneliti untuk materi skripsi, dengan objek penelitian musik bambu.

Yang belum menempuh skripsi pun, ada yang mendapatkan nilai dari kegiatan ekspedisi ini. "Dari Komando Ekpedisi kami mendapat nilai yang langsung diserahkan ke kampus," ujar Marini Walangitan, mahasiswi Konsentrasi Geotermal Jurusan Fisika Universitas Negeri Manado (Unima).

Oleh kampus, nilai itu akan dipakai untuk nilai mata kuliah KKN. "Kalau KKN sebenarnya cuma dua bulan, tapi kami tak masalah meski ekspedisi ini berlangsung empat bulan, karena kami tak perlu mengambil cuti seperti teman-teman mahasiswa lainnya," ujar Andika Mandagi, rekan Marini.

Selain Andika dan Marini, ada Cindy Wuisang, Angel Putong, dan Ryan Rori dari Jurusan Fisika Unima yang ikut ekspedisi ini. Meski tak ada persiapan fisik sebelumnya seperti mahasiswa lain yang sudah bergabung di Jakarta, mereka mengaku siap saja harus naik turun gunung melakukan penelitian geologi.

"Jatuh-bangun sering kami alami, tapi lama-lama kami bisa menyesuaikan," ujar Angel Putong. Cindy Wuisang mencatat pengalaman paling berkesan ketika tim geologi harus membuka jalur baru untuk mendaki Bukit Rindengan di Kanonang, Minahasa.

"Dengan ikut ekpedisi ini, kami tahu potensi alam dan tahu lokasi-lokasi geotermal di Minahasa," ujar Ryan Rori. "Kami juga kenal mahasiswa dari daerah lain dan kenal tentara," ujar Marini.

Perkenalan ini diharap tak hanya bermanfaat untuk saat ini saja, tapi juga untuk di masa depan. Menurut Pangkostrad Letjen TNI Gatot Nurmantyo mereka nanti dimungkinkan akan bertemu lagi ketika masing-masing sudah menjadi pemimpin bangsa.

Peran aktif dari seluruh anggota ekspedisi dinilai Pangkostrad sebagai salah satu sifat patriotik yang perlu terus ditularkan kepada generasi muda lainnya. "Sehingga dapat menciptakan pemimpin yang nasionalis ke depannya," ujar Gatot saat berkunjung ke Subkorwil Minahasa Juni lalu.

Komandan Ekspedisi NKRI, yang juga Komandan Jenderal Kopassus, Mayjen TNI Agus Sutomo, mengatakan mahasiswa dan pemuda dilibatkan dengan tujuan untuk menebalkan rasa cinta Tanah Air. Mereka bisa mengenal Indonesia lebih dalam dan mengetahui banyaknya kearifan lokal.

Mereka juga dikenalkan pengorbanan yang ikhlas mem­bantu rakyat mengatasi kesuli­tan, baik permukiman, kese­hatan, dan pendidikan. Selama empat bulan pelaksanaan ekspedisi, mereka terlibat pula pembangunan jembatan, bedah rumah, penghijauan, dan sebagainya.

Untuk mengikuti ekspedisi ini, Muhammad Nur Al-Afif mengakui harus saling menyesuaikan diri agar bisa bekerja sama dalam tim. "Mahasiswa biasanya suka protes dan menuntut alasan logis jika dilarang, sementara prajurit harus loyal pada perintah," ujar mahasiswa Pertanian Universitas Jenderal Sudirman yang ditunjuk sebagai komandan kelompok tim sosoal budaya Subkorwil Minahasa itu.

Keikutsertaan mahasiswa yang tergabung sejak di Jakarta, dijalani dengan mengikuti seleksi yang dilakukan oleh tenaga ahli. Motivasi keikutsertaan ditanyakan selain program yang akan dilakukan selama ekspedisi sehingga cocok dengan program ekspedisi. Dian bisa melakukan penelitian skripsi karena dia harus menyesuaikan jadwal penelitian yang ditetapkan oleh Komando Ekspedisi.

Sedangkan keikutsertaan Marini dan kawan-kawan dimulai ketika Tim Ekspedisi NKRI Subkorwil Minahasa datang di Unima. Dosen-dosen mereka diminta menjadi tenaga ahli. Mahasiswa pun kemudian ditawari ikut kegiatan ini dengan imbalan akan dihitung sebagai telah mengikuti mata kuliah KKN.

Dari jurusan lain di Unima ada beberapa mahasiswa lagi, seperti Witney yang tergabung di tim sosial budaya, Veronica dan Desy yang tergabung di tim kehutanan, dan Zeth Pandi yang tergabung di tim flora fauna. "Pada awalnya ada lebih dari 60 mahasiswa yang ingin gabung di tim flora fauna. Karena berbagai alasan, seperti izin orang tua, akhirnya hanya satu yang ikut di flora fauna," ujar Dedi Purwanto yang ditunjuk sebagai komandan kelompok Tim Flora Fauna Subkorwil Minahasa.

Pengalaman lain yang didapat mereka? Bisa merasakan naik pesawat hercules yang berisik itu. Marini dan kawan-kawan serta peserta daerah dari subkorwil lainnya berkesempatan menaikinya karena mereka ikut berangkat ke Batujajar Bandung untuk mengikuti acara penutupan.

Mereka juga ikut merasakan makan dengan menu seadanya selama empat bulan ekspedisi. "Pengalaman makan nasi kaleng ala tentara ya di ekspedisi ini. Sekali-sekalinya, dan tak akan mau lagi mencobanya," ujar Cindy yang mengaku kurang sreg dengan rasa nasi kaleng itu.

Kenal tentara juga ada untungnya. Mereka bisa tukar tas carrier. Tentara yang ikut tim jelajah mendapat jatah tas carrier 65 liter yang harganya di atas Rp 1 juta. Sedangkan mahasiswa dapat jatah tas carrier 45 liter yang harganya Rp 500an ribu. "Saya sudah punya carier yang 45 liter, makanya saya tukar dengan yang 65 liter," ujar Ratna, mahasiswa Psikologi Unpad. 







Sumber : Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar