NEW YORK-(IDB) : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai transfer
teknologi dalam kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan berbagai
pihak asing sulit diwujudkan. Menurut dia, yang paling mungkin dilakukan
adalah mengembangkan penelitian dengan bekerja sama dengan pihak luar.
"Saya sadar, kalau itu hanya 'technology sharing, technology transfer', mudah diucapkan, tapi dalam praktiknya kandas," kata dia, di New York, Amerika Serikat, Jumat (28/9) malam, dalam jumpa pers dengan para wartawan Indonesia sebelum bertolak kembali menuju Jakarta.
Hal tersebut dikatakan Presiden Yudhoyono menjawab pertanyaan tentang keuntungan yang bisa dinikmati Indonesia dari pembelian pesawat bernilai miliaran dollar AS oleh Indonesia dari Boeing, termasuk kemungkinan keuntungan dalam hal transfer teknologi dan pengetahuan dari perusahaan raksasa pembuat pesawat Amerika itu.
"Kalau berbicara tentang 'transfer of technology', itu sangat tidak mudah. Saya sudah kenyang, delapan tahun bertemu dengan para pemimpin dunia dalam forum G-20, APEC, ASEAN Summit, negosiasi 'climate change'. 'Technology transfer' dari negara yang menguasai teknologi tidak mudah dilakukan," kata Presiden.
"Mengapa? Puluhan tahun mereka mengembangkan untuk menguasai suatu teknologi tertentu. Puluhan tahun, dengan sumber daya yang besar, dengan segala yang dia lakukan, tidak begitu saja bisa ditransfer dan dialihkan ke negara lain," tambah dia.
Oleh karena itu, ujar Presiden, Indonesia lebih baik mengembangkan kebijakan yang bersifat penelitian dan pengembangan bersama, investasi bersama, dan produksi bersama seperti yang dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, dan sejumlah industri strategis Indonesia dengan negara-negara asing.
"Itu yang paling baik. Akhirnya, setelah bersama-sama lima, sepuluh, lima belas tahun, teknologi akan beralih. Itu masuk akal dan mereka juga tidak merasa diambil jerih payahnya selama puluhan tahun untuk mengembangkan teknologi," kata Yudhoyono.
Berkaitan dengan Boeing, ia mengatakan Indonesia berjuang untuk mendapatkan porsi keuntungan dari nilai pembelian miliaran dollar AS. "Perjuangan kita adalah bisa mendapatkan porsi keuntungan itu untuk bangsa kita, untuk industri strategis kita, untuk komponen dalam negeri kita," ujar dia.
Pemerintah Indonesia dan pihak Boeing Amerika Serikat pada awal pekan ini menandatangani nota kesepahaman kerja sama bidang industri. Penandatangan dilakukan di sela-sela Indonesia Investment Day di New York, oleh Dubes RI untuk AS, Dino Patti Djalal, dan Wakil Presiden Boeing, Stanley Rooth, disaksikan oleh Presiden Yudhoyono.
Maskapai penerbangan Indonesia, Lion Air, dan Boeing tahun lalu menyepakati pembelian pesawat senilai 23 miliar dollar. Dengan pembelian itu, Boeing mencetak rekor penjualan dalam sejarahnya, baik dalam nilai transaksi maupun jumlah unit yang dipesan setelah maskapai penerbangan Indonesia, Lion Air, memesan 230 unit pesawat buatan Boeing, yaitu terdiri dari 201 unit jenis 737 MAX dan 29 unit Next Generation 737-900. Penandatangan perjanjian pembelian itu dilakukan oleh Presiden Direktur Lion Air, Rusdi Kirana, dan Wakil Presiden Boeing, Roy Connor, dengan disaksikan oleh Presiden Barack Obama di sela-sela KTT Asia Timur di Bali pada November 2011.
Sementara itu, Jumat siang waktu setempat atau Sabtu WIB, Presiden Yudhoyono mengakhiri kunjungan kerjanya di New York, Amerika Serikat, dan bertolak menuju Tanah Air. Kepala Negara beserta rombongan dijadwalkan tiba di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pada Minggu (30/9) pagi.
Kehadiran Presiden Yudhoyono di New York adalah untuk memimpin delegasi Indonesia mengikuti sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan Sidang ke-67 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Presiden juga menyampaikan pandangannya di sesi debat Sidang Majelis Umum PBB. Selain itu, Kepala Negara menghadiri Indonesia Investment Day dan melakukan pertemuan dengan para pengusaha Amerika Serikat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi.
"Saya sadar, kalau itu hanya 'technology sharing, technology transfer', mudah diucapkan, tapi dalam praktiknya kandas," kata dia, di New York, Amerika Serikat, Jumat (28/9) malam, dalam jumpa pers dengan para wartawan Indonesia sebelum bertolak kembali menuju Jakarta.
Hal tersebut dikatakan Presiden Yudhoyono menjawab pertanyaan tentang keuntungan yang bisa dinikmati Indonesia dari pembelian pesawat bernilai miliaran dollar AS oleh Indonesia dari Boeing, termasuk kemungkinan keuntungan dalam hal transfer teknologi dan pengetahuan dari perusahaan raksasa pembuat pesawat Amerika itu.
"Kalau berbicara tentang 'transfer of technology', itu sangat tidak mudah. Saya sudah kenyang, delapan tahun bertemu dengan para pemimpin dunia dalam forum G-20, APEC, ASEAN Summit, negosiasi 'climate change'. 'Technology transfer' dari negara yang menguasai teknologi tidak mudah dilakukan," kata Presiden.
"Mengapa? Puluhan tahun mereka mengembangkan untuk menguasai suatu teknologi tertentu. Puluhan tahun, dengan sumber daya yang besar, dengan segala yang dia lakukan, tidak begitu saja bisa ditransfer dan dialihkan ke negara lain," tambah dia.
Oleh karena itu, ujar Presiden, Indonesia lebih baik mengembangkan kebijakan yang bersifat penelitian dan pengembangan bersama, investasi bersama, dan produksi bersama seperti yang dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, dan sejumlah industri strategis Indonesia dengan negara-negara asing.
"Itu yang paling baik. Akhirnya, setelah bersama-sama lima, sepuluh, lima belas tahun, teknologi akan beralih. Itu masuk akal dan mereka juga tidak merasa diambil jerih payahnya selama puluhan tahun untuk mengembangkan teknologi," kata Yudhoyono.
Berkaitan dengan Boeing, ia mengatakan Indonesia berjuang untuk mendapatkan porsi keuntungan dari nilai pembelian miliaran dollar AS. "Perjuangan kita adalah bisa mendapatkan porsi keuntungan itu untuk bangsa kita, untuk industri strategis kita, untuk komponen dalam negeri kita," ujar dia.
Pemerintah Indonesia dan pihak Boeing Amerika Serikat pada awal pekan ini menandatangani nota kesepahaman kerja sama bidang industri. Penandatangan dilakukan di sela-sela Indonesia Investment Day di New York, oleh Dubes RI untuk AS, Dino Patti Djalal, dan Wakil Presiden Boeing, Stanley Rooth, disaksikan oleh Presiden Yudhoyono.
Maskapai penerbangan Indonesia, Lion Air, dan Boeing tahun lalu menyepakati pembelian pesawat senilai 23 miliar dollar. Dengan pembelian itu, Boeing mencetak rekor penjualan dalam sejarahnya, baik dalam nilai transaksi maupun jumlah unit yang dipesan setelah maskapai penerbangan Indonesia, Lion Air, memesan 230 unit pesawat buatan Boeing, yaitu terdiri dari 201 unit jenis 737 MAX dan 29 unit Next Generation 737-900. Penandatangan perjanjian pembelian itu dilakukan oleh Presiden Direktur Lion Air, Rusdi Kirana, dan Wakil Presiden Boeing, Roy Connor, dengan disaksikan oleh Presiden Barack Obama di sela-sela KTT Asia Timur di Bali pada November 2011.
Sementara itu, Jumat siang waktu setempat atau Sabtu WIB, Presiden Yudhoyono mengakhiri kunjungan kerjanya di New York, Amerika Serikat, dan bertolak menuju Tanah Air. Kepala Negara beserta rombongan dijadwalkan tiba di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pada Minggu (30/9) pagi.
Kehadiran Presiden Yudhoyono di New York adalah untuk memimpin delegasi Indonesia mengikuti sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan Sidang ke-67 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Presiden juga menyampaikan pandangannya di sesi debat Sidang Majelis Umum PBB. Selain itu, Kepala Negara menghadiri Indonesia Investment Day dan melakukan pertemuan dengan para pengusaha Amerika Serikat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi.
Sumber : KoranJakarta