ANALISIS-(IDB) : Secara resmi Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dengan Uni Sovyet - kini Rusia, sudah berakhir dua dekade lalu. Perang dua kekuatan itu sering digambarkan sebagai pertarungan antara Blok Barat yang diwakili AS dan Blok Timur oleh Uni Sovyet. Atau antara Blok Non-Komunis dan Blok Komunis.
Berakhirnya Perang Dingin berdampak positif bagi umat manusia. Setidaknya dunia terhindar dari Perang Nuklir. Perang pemusnah manusia ini didefinisikan sebagai pertarungan antar bangsa. Sebab semua negara, termasuk yang Non-Blok pun diperkirakan akan berkelompok ke salah satu blok.
Atas dasar itu Perang Nuklir sering digambarkan sebagai Perang Dunia Ketiga, yang disetarakan dengan perang terakhir umat manusia atau sama dengan hari kiamat ciptaan manusia. Selama perang tersebut rudal-rudal berkepala nuklir akan diluncurkan oleh Washington ke Moskow, begitu pula sebaliknya.
Washington dan Moskow yang berperang, tetapi warga dunia lainnya bakal ikut terkena dampaknya. Sebab kedua kekuatan juga akan menghancurkan negara lain yang tidak berada dalam blok yang sama dengan mereka. Berakhirnya Perang Dingin telah mengubah peta politik dan ekonomi dunia.
AS yang dianggap sebagai pemenang dalam Perang Dingin - sejak berakhirnya Perang Dingin, tidak lagi melakukan invasi ke sebuah negara yang sedang digiring oleh Uni Sovyet untuk menjadi negara komunis.
Ingat Perang Saudara di Vietnam dan Kamboja. Vietnam Utara dikuasai komunis, Vietnam Selatan oleh non-komunis. Kamboja yang tadinya monarkhi, jatuh ke tangan komunis. Di era 1970-an, AS masuk di kedua negara tersebut dalam rangka mencegah penyebaran pengaruh ideologi komunis ala Uni Sovyet. AS gagal di sana.
Saat ini diyakini, tidak ada lagi pertarungan ideologi antara non-komunis (Blok AS) dan komunis (Blok Uni Sovyet). Terutama setelah komunisme di Eropa Timur yang dipimpin Unin Sovyet ditumbangkan oleh gerakan pro demokrasi. Uni Sovyet sendiri runtuh dan terpecah menjadi lebih dari 20 negara baru. Yang menjadi pengganti atau penerus Uni Sovyet hanyalah Rusia.
$0ARusia sendiri sudah tidak lagi menjadikan komunisme sebagai ideologinya. Semua agama yang di era Uni Sovyet dilarang, kini bebas dipeluk oleh warga Rusia. Pemimpin Rusia dan elit di negara itu mengakui keberadaan Tuhan. Pengampilan sumpah jabatan oleh pemimpin Rusia disaksikan oleh pemuka agama dan menggunakan kitab suci.
Kini ancaman atas kehidupan harmonis umat manusia di permukaan bumi, diperhitungkan tidak lagi dipicu oleh akibat peperangan. Melainkan oleh faktor ekonomi (baca : kemiskinan). Kemiskinan berpotensi memicu terjadinya peperangan baru.
Uniknya pihak yang diperhitungkan sebagai pemicu perang baru itu masih tetap AS dan Rusia. Sebab kedua negara berlomba menjadi negara terkaya sekaligus menjadi pembela negara miskin. Trend yang ada, orang-orang kaya di dunia, tidak lagi didominasi oleh AS. Sudah muncul nama-nama baru dari Rusia atau bekas Uni Sovyet.
Persaingan menjadi negara kaya ini telah menyebabkan munculnya Perang Dingin Baru antara AS dan Rusia. Perbedaannya, persaingan dalam Perang Dingin Baru tidak lagi pada perlombaan pembuatan senjata-senjata nuklir. Melainkan pada persaingan ekonomi dan bisnis.
Itu sebabnya Perang Dingin baru disebut sebagai Perang Dingin Ekonomi. Perang Dingin Ekonomi antara lain ditandai oleh pembentukan blok ekonomi baru oleh lima negara: Brasil, Rusia, India, China dan South Africa (Afrika Selatan).
Blok ekonomi baru ini disebut BRICS, sesuai alfabet terdepan dari kelima negara di atas. BRICS juga ditengarai sebagai pesaing baru terhadap blok G-7 (Group of Seven) yang terdiri atas AS, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Inggeris dan Italy.
Dari segi penduduk dan pasar komiditi, BRICS memiliki persentase yang lebih besar dibanding dengan G-7. Sebab dalam BRICS terdapat dua negara terbanyak penduduknya di dunia yakni China (1,2 miliar manusia) dan India dengan 1 miliar penduduk.
Pandangan yang menyebut BRICS sebagai pesaing terbaru terhadap G-7 muncul, antara lain karena sikap AS dan Rusia sendiri. Tidak lama setelah Perang Dingin berakhir, AS langsung mengajak Rusia bergabung kedalam blok kelompok negara industri (G-7)..
Sehingga di 1993, ketika Rusia dipimpin oleh Presiden Boris Yeltsin, G-7 sempat diubah menjadi G-8, berhubung Rusia menjadi anggota baru di dalamnya.
Hingga sekarang Rusia masih menjadi bagian dari G-8. Tetapi secara spirit, Rusia tidak terlalu bersemangat. Rusia kelihatannya sangat sadar, keanggotaannya dalam G-8 tidak didukung AS sepenuhnya. Rusia dirangkul supaya lebih mudah mengontrolnya.
Di tahun 2012 ini saja, Rusia menyatakan absen dalam pertemuan G-8 di Washington setelah sebelumnya AS menyatakan absen di pertemuan APEC yang digelar di Vladivostok. Hal mana menunjukan persaingan atau Perang Dingin kedua negara, terus berlangsung.
Rusia lebih antusias membesarkan BRICS. Sementara AS melihat BRICS sebagai sebuah blok tandingan bagi kepentingannya di dunia. Beberapa agenda utama BRICS memang disusun untuk mengurangi dominasi AS di dunia. BRICS bertujuan menggeser dolar AS sebagai mata uang bagi sistem transaksi internasional.
BRICS juga ingin 'melumpuhkan' Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF - International Monetary Fund) sebagai regulator sistem perbankan dan keuangan dunia.
Rusia dan China berpandangan ketidak seimbangan perdagangan dunia saat ini terjadi karena peran dominan Bank Dunia dan IMF. Kedua lembaga yang bermarkas di Washington dan sengaja dikendalikan secara politik oleh AS justru menciptakan negara miskin dan negara gagal. Jumlahnya terus bertambah.
Bagi Indonesia, tidak gampang melepaskan diri dari tarik menarik antara dua kekuatan. Multi krisis yang menerpa Indonesia sejak tahun 1998, semakin memperparah posisi Indonesia. Akan tetapi untuk masuk di dalam pertarungan kedua kekuatan kemudian ikut berperan, juga sama sulitnya.
Untuk sementara, satu-satunya yang bisa dilakukan Indonesia adalah mencermati arah pertarungan kedua kekuatan kemudian mencari posisi yang sesuai dengan kemampuan Indonesia. Tapi lagi-lagi kembali, ini juga tidak mudah dilakukan.
Di sisi lain, sebagai pendiri Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia kelihatannya merasa berhasil atas berakhirnya Perang Dingin. Sehingga beberapa kebijakan luar negeri Indonesia, terkesan dibuat dengan asumsi Perang Dingin telah berakhir secara total.
Elemen Perang Dingin sebagai sesuatu yang belum berakhir atau telah muncul Perang Dingin Baru, tidak masuk dalam kalkulasi Indonesia. Hal ini antara lain tercermin dari keputusan Indonesia yang mencoba lebih dekat atau bersahabat dengan Rusia dan di pihak lain tetap menjaga hubungan yang baik dengan AS.
Caranya, antara lain dengan terus mengadopsi sistem demokrasi ala AS, tapi pada saat yang sama mulai melakukan pembelian sejumlah produk pertahanan dan telekomunikasi buatan Rusia, produk yang sebelumnya lebih banyak disuplai oleh AS.
Bagaimana hasil atau implikasinya ? [Bersambung]
Sumber : Inilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar