Pages

Selasa, Mei 17, 2011

40 Hari dan 7 Jam Operasi Sinar Kudus

JAKARTA-(IDB) : Dilepas sejak 23 Maret 2011 di Tanjung Priok, Jakarta Utara, ratusan pasukan khusus TNI terpaksa menahan kesabaran dan geregetan selama 40 hari lebih untuk tidak menyerbu perompak Somalia yang menyandera 20 awak kapal Sinar Kudus. Operasi tujuh jam di Semenanjung Somalia dan Yaman akhirnya dilakukan, dengan empat nyawa lanun plus US$ 3 juta sebagai imbalan. Inilah detik-detik terakhir pembebasan, kapal kargo milik PT Samudera Indonesia.
**
Berita acara penyerahan buntelan duit dolar itu selesai diteken Kapten Kapal Kargo Sinar Kudus Slamet Juari. “Already Receive This Money”. Begitu bunyi dokumen terakhir. Jepret-jepret foto selesai, dokumen di-scan dan dikirim via surat elektronik ke Jakarta. Tanda kalau tebusan sudah diterima perompak Somalia.

Hari itu, Sabtu sore, 30 April 2011. Di geladak Kapal Sinar Kudus yang buang jangkar di teluk Aden, perairan antara Yaman dan Somalia ini, Slamet menghela napas panjang. Terbayang sudah, enam jam lagi, sesuai dengan waktu yang dijanjikan perompak, kebebasan itu ada di depan mata. “Saya sudah kangen telepon rumah,” ujarnya.

Empat puluh enam hari sudah, Kapten Slamet Juari dan kawan-kawanya bergelut dengan ketegangan, begitu kapal kargo Sinar Kudus PT Samudera Indonesia dirompak lanun Somalia, sejak 16 Maret. “Kami menantikan betul detik-detik kebebasan itu,” kata Slamet.

Namun, Slamet harus bersabar. Kebebasan itu masih butuh perjuangan, lebih dari 20 jam lagi. Di anjungan, Slamet dan Masbukin, mualim Sinar Kudus, hanya bisa berpandangan mendengar suara gedebak-gedebuk. “Mereka adu jotos,” kata Slamet. “Tak sepakat dengan pembagian duit tebusan.”

Ketegangan pun merayap. Slamet dan Masbukin mengaku, emoh peristiwa ancam-mengancam berlaku lagi. Dua hari sebelumnya, saat nego tebusan itu alot berlangsung, para awak kapal dikumpulkan di Palka 2. Sekitar 20 awak kapal itu dijejer satu-satu. Berdiri di depan para lanun yang siap dengan senjata terkokang. “Mereka mengancam akan membunuh kami,” kata Masbukin.

Saat itu, banyak awak sudah meneteskan air mata. Kapten Slamet pun memilih pasang badan. “Saya sempat tawarkan diri, mau tinggal sama mereka asal anak buah bebas,” ujarnya. “Kalau uang tebusan dijatuhkan dan kami tetap dibunuh, kami tak bisa apa-apa.”

Tak mau peristiwa berulang, Masbukin dan Slamet pun beranjak bertanya. Para perompak itu minta waktu beberapa jam lagi. Menjelang pukul 20.00, mereka akhirnya keluar dari rembukan. Para perompak itu minta diturunkan ke tiga titik.

Semula Slamet emoh memenuhi permintaan. “Kapal kami kok dibuat kayak angkot saja,” ujarnya. “Mereka beralasan kalau turun langsung dan bawa duit bisa dibunuh di tengah perjalanan.” Toh Slamet mengiyakan.

Walhasil, malam itu Slamet melepas jangkar dan mengantar kloter pertama perompak di daerah Danane. Rombongan berikutnya, belasan orang minta diantar ke Eil, sekitar 8-9 jam dari Danane. Pukul 04.15 mereka bergerak ke Eil dan berencana menurunkan enam orang. Terakhir, enam orang lagi akan diturunkan di desa asal Perompak. Diperkirakan, para perompak betul-betul bebas dari kapal pukul 13.10.

Saat itulah, Masbukin bersiasat. Mualim Sinar Kudus asal Kediri, Jawa Timur, itu membujuk mereka memakai helm putih sebelum turun. “Sengaja supaya terlihat helikopter angkatan perang kita,” ujarnya. Masbukin juga mengontak kapal perang yang siaga, 24 mil. Kodenya: helm putih.

Seluruh kejadian yang terjadi di kapal, dilaporkan para awak ke Kolonel Marinir Suhartono, Komandan Detasemen Jala Mangkara, pemimpin operasi di Somalia.

Termasuk perselisihan antarkubu perompak.” Saat itu sudah ada perintah dari komandan, jika seluruh perompak tidak turun, operasi akan dijalankan,” kata Suhartono. “Apalagi ada faksi perompak yang tak setuju nilai tebusan dan sepakat akan mengambil alih kapal.”

Saat yang ditunggu itu pun tiba. Matahari sudah tegak di atas kapal, ketika Sinar Kudus akan melepas enam perompak terakhir dari atas kapal.

Saat Muhammad Sallah, komandan perompak, akan turun dari kapal, tiba-tiba ada tiga speed boat putih meluncur dari daratan, menghadang Sinar Kudus. Awak Sinar Kudus sempat mengingatkan Muhammad, “Ada perampok, dia bilang no problem.”

Ketegangan merambat. Dari kamar nakhoda, Masbukin berteriak-teriak “May Day, May Day.“ Pasukan pun dikontak. “Pak, tolong ini dari pantai mereka sudah mengejar.” Di atas kapal, seluruh awak diteriaki menyiapkan air panas, linggis, atau apa pun untuk menyerang.

Di atas kapal, para awak diperintahkan menutup semua ruangan, termasuk pintu kedap. Sepuluh menit kemudian, tiga unit sea rider—kapal cepat--TNI Angkatan Laut mengejar para perompak. Helikopter ikut menguntit. Aksi tembak pun akhirnya terjadi. “Kami selamatkan dulu Sinar Kudus, baru mengejar target,” kata Majen Alfan Baharuddin, Komandan Mako Korps Marinir yang jadi Komandan Satgas Operasi.

Kejadian itu terjadi pada jarak sekitar 1 mil dari Sinar Kudus. Keempat perompak tewas tertembus peluru. “Kami tidak bisa mendapatkan tubuhnya. Mereka jatuh ke laut,” kata Alfan. Dua kapal perompak dibawa pasukan TNI.

Alfan menduga, perompak yang menyusul adalah kelompok lama yang tak setuju dengan pembagian kompensasi. Masbukin malah menyakini, ini adalah lawan kelompok Muhammad Sallah, bos perompak Sinar Kudus. “Dia pakai baju dan jam tangan saya,” ujarnya. “Dia yang tidak setuju dengan jumlah kompensasi dan merencanakan mencegat Muhammad setelah turun.”

Hampir bersamaan dengan aksi pengejaran, sekelompok pasukan TNI naik ke atas Sinar Kudus. Mereka mengecek seluruh bagian kapal, termasuk memastikan tidak ada bahan peledak yang dipasang perompak.

Setelah semua aman, Sinar Kudus konvoi dengan kapal perang menuju Oman. Sejumlah barang Sinar Kudus raib turut digondol perompak, seperti mesin perahu sekoci, lampu, piring, sendok, hingga alat tidur.

Kapal pun akhirnya dibawa ke Shalala Oman untuk dioperasi. Selanjutnya Sinar Kudus yang membawa nikel milik PT Aneka Tambang itu melanjutkan perjalanan ke Rotterdam, Belanda, dengan awak dan kru baru, plus pengawalan dari pasukan TNI. Para awak aslinya pulang ke Tanah Air, setelah disandera berpuluh hari.

Operasi beberapa jam ini menutup kisah 40 hari pasukan TNI di laut lepas. Mereka menguji kesabaran dan geregetan karena operasi militer yang harusnya bisa dilakukan tak kunjung dilakukan.

Dilepas sejak 23 Maret dari Tanjung Priok ke Colombo, Sri Lanka, sebelum akhirnya berada di perairan Somalia, gabungan pasukan ini berhari-hari dipenuhi kegiatan mengintai dan mengamati kapal-kapal yang dikuasai lanun.

Lampu hijau dari Jakarta untuk menyerbu baru muncul 6 April lalu. Seorang perwira TNI mengatakan, pasukan sudah siap melakukan operasi militer merebut Sinar Kudus. “Anak-anak sudah geregetan,” kata pria.

Keputusan penyerbuan sendiri baru diambil 18 April 2011, begitu otoritas itu keluar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski begitu, pilihan yang diambil adalah opsi militer bukan jadi prioritas utama. Prioritas utama adalah keselamatan para sandera,” kata Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono.

Selama itu, kapal perang itu parkir mendekat ke Sinar Kudus, hanya 10 hingga 15 mil. Sejumlah aksi strategi penyerangan sudah disusun, termasuk menyerbu kampung perompak. “Masalahnya ada sejumlah kondisi tak memungkinkan.”

Walhasil, operasi tujuh jam akhirnya diselesaikan di Semenanjung Somalia dan Yaman. Imbalannya empat nyawa lanun plus US$ 3 juta yang tak bisa kembali.

Sumber: Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar