WASHINGTON-(IDB):Operasi Pengembaraan Subuh yang digelar pasukan Sekutu pimpinan Amerika Serikat (AS) belum berhasil membuat pemimpin Libya Muammar Khadafi angkat tangan.
Namun, Presiden Barack Obama kemarin mengklaim misi serangan udara terhadap Libya itu sukses. Menurut Obama, serangan udara yang dilakukan hampir sepekan itu telah melumpuhkan kekuatan Khadafi.Pasukan Khadafi kini tidak lagi membuat langkah maju ke timur dan di beberapa tempat seperti Benghazi yang dikuasai pemberontak. Dia juga menekankan misi untuk menggempur pasukan yang masih loyal kepada Khadafi jelas arahnya, berfokus, dan telah menyelamatkan banyak orang tak berdosa dari pertumpahan darah. ”Jadi, jangan salah, karena kami bertindak cepat,bencana kemanusiaan telah terhindarkan dan nyawa warga sipil— warga dan anak-anak yang tak bersalah—telah terselamatkan.
Inilah tanggung jawab kita. Inilah salah satunya.Tiap warga Amerika bisa bangga atas nyawa yang kami selamatkan di Libya,” ujar Obama dalam pidato radio mingguannya. Hingga kemarin,AS dan sekutunya terus menyerang pasukan Khadafi dengan rudal dan bom. Mereka juga memberlakukan zona larangan terbang dan embargo senjata di laut di Libya. Obama kembali menegaskan, kepentingan Amerika berada di balik keputusannya memerintahkan pasukan AS mendukung pertempuran yang dimandatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu. Pidato Obama kemarin tampaknya merespons kritik dari dalam maupun luar negeri.
Dari negerisendiri,sejumlahanggota Kongres—baik dari kiri maupun kanan—mengkritik Obama karena tidak mengomunikasikan tujuan operasi militer itu. Beberapa menyerangnya karena tidak meminta persetujuan Kongres atas aksi itu,sementara lainnya keberatan atas aksi itu karena digelar ketika AS sedang menghadapi perang Irak dan Afghanistan. Rusia memberi pandangan miring terhadap serangan terhadap Libya. Moskow menganggap serangan udara tidak memberi hasil apa-apa. Bahkan Negeri Beruang Merah itu memprediksi Sekutu akan menggelar invasi darat untuk menggulingkan Khadafi.
”Kalau tujuan mereka adalah menggulingkan rezim Khadafi, maka kemungkinan mereka tidak akan berhasil tanpa melakukan tahap darat. Saya tidak akan mengesampingkannya,” ujar Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Rusia Jenderal Nikolai Makarov kepada Interfax. Awal pekan ini, penasihat kebijakan luar negeri Kremlin Sergei Prikhodko memaparkan, Rusia yakin operasi darat akan dilakukan kalau serangan udara gagal. Dalam voting Dewan Keamanan PBB pekan lalu yang akhirnya menyetujui zona larangan terbang di Libya,Rusia memilih abstain. Presiden Dmitry Medvedev telah mengungkapkan kekhawatirannya atas penggunaan kekuatan ”tanpa pandang bulu”.
Dalam teleponnya dengan Obama,Medvedev mendesak agar pasukan Sekutu menghindari korban sipil dan membatasi operasi internasional itu berdasarkan resolusi PBB. Dalam pidatonya, Obama menegaskan bahwa peran pasukan AS terbatas dalam apa yang dia sebut sebagai ”usaha internasional yang luas”. Obama juga menegaskan, pasukan darat AS tidak akan diterjunkan di Lobta dan tanggung jawab operasi itu akan diserahkan kepada sekutu AS dan mitra NATO. ”AS tidak seharusnya dan tidak bisa melakukan intervensi tiap kali ada krisis di dunia,”tandas dia.
Sementara kemarin pemberontak di Libya merayakan kemenangannya setelah berhasil memukul mundur pasukan Khadafi dari Kota Ajdabiyah dan menguasai kembali kota itu. Mereka berterima kasih kepada Prancis atas peranannya dalam operasi militer terhadap Khadafi, tapi menegaskan pasukan ”luar” saat ini harus angkat kaki dari Libya. ”Di tengah malam,pesawatpesawat Anda menghancurkan tank-tank yang dimaksudkan untuk menyerang Benghazi. Rakyat Libya memandang Anda sebagai pembebas. Pengakuan ini akan abadi,” ujar pemimpin pemberontak Mahmud Jibril dalam surat kepada Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang dimuat koran Le Figarokemarin.
Namun, Jibril menambahkan bahwa sudah saatnya pasukan asing pergi dari Libya. ”Kami tidak mau ada pasukan dari luar. Kami tidak menginginkan mereka. Kami akan memenangi perang pertama berkat kalian. Kami akan memenangi perang berikutnya dengan usaha kami,”papar dia. Hingga saat ini, alasan penyerangan terhadap pasukan Khadafi adalah untuk melindungi warga sipil. Namun, sebuah artikel yang dirilis di situs Rusia berbahasa Inggris, Pravda, menyebut bahwa minyak adalah alasan utama yang menyebabkan AS dan sekutunya menggempur Libya. Diungkapkan, pada 25 Januari 2009 silam, Khadafi sempat mengusulkan nasionalisasi perusahaan minyak AS, Inggris, Jerman, Spanyol, Norwegia, Kanada, dan Italia.
Alasan nasionalisasi itu karena harga minyak turun. ”Negara-negara eksportir minyak seharusnya memilih nasionalisasi karena turunnya harga minyak.Kita harus membahas masalah ini secara serius,” tandas Khadafi kala itu sebagaimana dikutip Pravda. ”Minyak seharusnya dimiliki negara saat ini, jadi kita bisa mengontrol harga dengan lebih baik dengan menaikkan atau menurunkan produksi.” Pernyataan itu tentu saja mengkhawatirkan perusahaan minyak asing besar yang beroperasi di Libya seperti Shell (Belanda), British Petroleum (Inggris), ExxonMobil, Hess Corp, Marathon Oil,Occidental Petroleum dan Conoco Phillips— semuanya dari AS––, kemudian Repsol (Spanyol),Wintershall (Jerman),OMV(Austria),Statoil (Norwegia), Eni (Italia), dan Petro Canada (Kanada).
Pada 16 Februari 2009,Khadafi mengambil langkah lebih jauh dan menyeru agar warga Libya mendukung proposalnya untuk membubarkan pemerintah dan menyalurkan kekayaan dari minyak secara langsung kepada 5 juta rakyatnya. Namun, rencananya untuk menyalurkan pendapatan dari minyak kepada rakyat secara langsung itu langsung ditentang pejabat senior yang takut kehilangan pekerjaan karena rencana Khadafi untuk memberantas korupsi di negara itu.
Sayangnya, imej kediktatoran Khadafi yang merampok harta rakyatnya telah membuat sisi baik pemimpin Libya itu tidak terlihat.Sejauh ini, semua orang hanya mendapatkan gambaran demonstrasi pro-Khadafi disebut sebagai penentang dia.
Namun, Presiden Barack Obama kemarin mengklaim misi serangan udara terhadap Libya itu sukses. Menurut Obama, serangan udara yang dilakukan hampir sepekan itu telah melumpuhkan kekuatan Khadafi.Pasukan Khadafi kini tidak lagi membuat langkah maju ke timur dan di beberapa tempat seperti Benghazi yang dikuasai pemberontak. Dia juga menekankan misi untuk menggempur pasukan yang masih loyal kepada Khadafi jelas arahnya, berfokus, dan telah menyelamatkan banyak orang tak berdosa dari pertumpahan darah. ”Jadi, jangan salah, karena kami bertindak cepat,bencana kemanusiaan telah terhindarkan dan nyawa warga sipil— warga dan anak-anak yang tak bersalah—telah terselamatkan.
Inilah tanggung jawab kita. Inilah salah satunya.Tiap warga Amerika bisa bangga atas nyawa yang kami selamatkan di Libya,” ujar Obama dalam pidato radio mingguannya. Hingga kemarin,AS dan sekutunya terus menyerang pasukan Khadafi dengan rudal dan bom. Mereka juga memberlakukan zona larangan terbang dan embargo senjata di laut di Libya. Obama kembali menegaskan, kepentingan Amerika berada di balik keputusannya memerintahkan pasukan AS mendukung pertempuran yang dimandatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu. Pidato Obama kemarin tampaknya merespons kritik dari dalam maupun luar negeri.
Dari negerisendiri,sejumlahanggota Kongres—baik dari kiri maupun kanan—mengkritik Obama karena tidak mengomunikasikan tujuan operasi militer itu. Beberapa menyerangnya karena tidak meminta persetujuan Kongres atas aksi itu,sementara lainnya keberatan atas aksi itu karena digelar ketika AS sedang menghadapi perang Irak dan Afghanistan. Rusia memberi pandangan miring terhadap serangan terhadap Libya. Moskow menganggap serangan udara tidak memberi hasil apa-apa. Bahkan Negeri Beruang Merah itu memprediksi Sekutu akan menggelar invasi darat untuk menggulingkan Khadafi.
”Kalau tujuan mereka adalah menggulingkan rezim Khadafi, maka kemungkinan mereka tidak akan berhasil tanpa melakukan tahap darat. Saya tidak akan mengesampingkannya,” ujar Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Rusia Jenderal Nikolai Makarov kepada Interfax. Awal pekan ini, penasihat kebijakan luar negeri Kremlin Sergei Prikhodko memaparkan, Rusia yakin operasi darat akan dilakukan kalau serangan udara gagal. Dalam voting Dewan Keamanan PBB pekan lalu yang akhirnya menyetujui zona larangan terbang di Libya,Rusia memilih abstain. Presiden Dmitry Medvedev telah mengungkapkan kekhawatirannya atas penggunaan kekuatan ”tanpa pandang bulu”.
Dalam teleponnya dengan Obama,Medvedev mendesak agar pasukan Sekutu menghindari korban sipil dan membatasi operasi internasional itu berdasarkan resolusi PBB. Dalam pidatonya, Obama menegaskan bahwa peran pasukan AS terbatas dalam apa yang dia sebut sebagai ”usaha internasional yang luas”. Obama juga menegaskan, pasukan darat AS tidak akan diterjunkan di Lobta dan tanggung jawab operasi itu akan diserahkan kepada sekutu AS dan mitra NATO. ”AS tidak seharusnya dan tidak bisa melakukan intervensi tiap kali ada krisis di dunia,”tandas dia.
Sementara kemarin pemberontak di Libya merayakan kemenangannya setelah berhasil memukul mundur pasukan Khadafi dari Kota Ajdabiyah dan menguasai kembali kota itu. Mereka berterima kasih kepada Prancis atas peranannya dalam operasi militer terhadap Khadafi, tapi menegaskan pasukan ”luar” saat ini harus angkat kaki dari Libya. ”Di tengah malam,pesawatpesawat Anda menghancurkan tank-tank yang dimaksudkan untuk menyerang Benghazi. Rakyat Libya memandang Anda sebagai pembebas. Pengakuan ini akan abadi,” ujar pemimpin pemberontak Mahmud Jibril dalam surat kepada Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang dimuat koran Le Figarokemarin.
Namun, Jibril menambahkan bahwa sudah saatnya pasukan asing pergi dari Libya. ”Kami tidak mau ada pasukan dari luar. Kami tidak menginginkan mereka. Kami akan memenangi perang pertama berkat kalian. Kami akan memenangi perang berikutnya dengan usaha kami,”papar dia. Hingga saat ini, alasan penyerangan terhadap pasukan Khadafi adalah untuk melindungi warga sipil. Namun, sebuah artikel yang dirilis di situs Rusia berbahasa Inggris, Pravda, menyebut bahwa minyak adalah alasan utama yang menyebabkan AS dan sekutunya menggempur Libya. Diungkapkan, pada 25 Januari 2009 silam, Khadafi sempat mengusulkan nasionalisasi perusahaan minyak AS, Inggris, Jerman, Spanyol, Norwegia, Kanada, dan Italia.
Alasan nasionalisasi itu karena harga minyak turun. ”Negara-negara eksportir minyak seharusnya memilih nasionalisasi karena turunnya harga minyak.Kita harus membahas masalah ini secara serius,” tandas Khadafi kala itu sebagaimana dikutip Pravda. ”Minyak seharusnya dimiliki negara saat ini, jadi kita bisa mengontrol harga dengan lebih baik dengan menaikkan atau menurunkan produksi.” Pernyataan itu tentu saja mengkhawatirkan perusahaan minyak asing besar yang beroperasi di Libya seperti Shell (Belanda), British Petroleum (Inggris), ExxonMobil, Hess Corp, Marathon Oil,Occidental Petroleum dan Conoco Phillips— semuanya dari AS––, kemudian Repsol (Spanyol),Wintershall (Jerman),OMV(Austria),Statoil (Norwegia), Eni (Italia), dan Petro Canada (Kanada).
Pada 16 Februari 2009,Khadafi mengambil langkah lebih jauh dan menyeru agar warga Libya mendukung proposalnya untuk membubarkan pemerintah dan menyalurkan kekayaan dari minyak secara langsung kepada 5 juta rakyatnya. Namun, rencananya untuk menyalurkan pendapatan dari minyak kepada rakyat secara langsung itu langsung ditentang pejabat senior yang takut kehilangan pekerjaan karena rencana Khadafi untuk memberantas korupsi di negara itu.
Sayangnya, imej kediktatoran Khadafi yang merampok harta rakyatnya telah membuat sisi baik pemimpin Libya itu tidak terlihat.Sejauh ini, semua orang hanya mendapatkan gambaran demonstrasi pro-Khadafi disebut sebagai penentang dia.
Sumber: Sindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar