Pages

Kamis, Juni 12, 2014

Memburu Profesi Langka Teknisi Pesawat

Teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat masih menjadi profesi langka di Indonesia dan menjadi isu utama industri perawatan pesawat terbang. Ketua IAMSA (Indonesia Aircraft Maintenance Shop Association), Richard Budihadianto, mengungkapkan hal itu dalam konferensi dan eksibisi ke-2 Aviation MRO Indonesia (AMROI) 2014 di Jakarta pada 29-30 April lalu. Langka karena teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat sangat dibutuhkan, sementara ketersediaannya terbatas. Terbatas bukan berarti tidak ada karena ternyata yang sangat dibutuhkan itu adalah tenaga-tenaga ahli berlisensi yang terampil dan berkualifikasi tinggi. Seberapa besar peran institusi pendidikan? Bagaimana pula kondisi fasilitas MRO (Maintenance Repair Overhaul) sebagai wadah mereka? Reni Rohmawati menyajikannya dalam Fokus kali ini. 

ANGKASA-(IDB) : Peran penting dalam penerbangan bukan cuma dipegang pilot, tapi juga teknisi pesawat terbang. Tanpa teknisi, pesawat tak bisa terbang. Bahkan pilot pun harus “tunduk” pada rekomendasi dari seorang teknisi jika ada persoalan teknis yang menyangkut keselamatan terbang. Jadi, peran pilot dan teknisi sangat vital dalam bisnis penerbangan. Apalagi sejak tujuh tahun lalu, ketika perkembangan angkutan udara di Indonesia makin besar, terutama dilihat dari jumlah penumpang, kedua profesi itu menjadi langka.


Kesadaran bahwa bisnis penerbangan kekurangan pilot sudah ada sejak tujuh tahun lalu itu. Sayang, institusi pencetaknya di dalam negeri sangat minim. Sekolah pilot swasta yang masih hitungan jari, malah gulung tikar, hanya satu yang bertahan: Deraya Flying School. Sarana dan prasarana STPI Curug pun waktu itu belum diperbarui, sehingga tidak bisa menelurkan pilot dalam jumlah banyak. Di samping itu, minat masyarakat belum besar. Ditambah lagi biaya sekolah yang jauh di atas rata-rata biaya sekolah profesi yang ada. Tahun 2010-an, barulah beberapa swasta turut mendukung untuk mendirikan sekolah pilot. Namun agak terlambat, sehingga pilot asing pun mengisi kekosongan itu.



Nah, seperti juga pilot, ternyata Indonesia juga membutuhkan banyak teknisi pesawat terbang. Sejak beberapa tahun lalu sudah diungkapkan oleh beberapa pelakunya, terutama yang bergerak dalam bisnis perawatan pesawat terbang. CEO GMF AeroAsia, Richard Budihadianto salah satunya, sejak 2007 sudah mencetuskan dibutuhkannya aerospace park di Indonesia. Selain untuk menjadikan fasilitas MRO dalam negeri memiliki daya saing tinggi, akan sangat banyak dibutuhkan tenaga teknisi kita.



Menurut Richard, daya saing tinggi akan mendatangkan pasar yang besar bagi fasilitas MRO, sehingga pekerjaan akan semakin meningkat. Revenu naik, pengalaman kerja atau manhours sumber daya manusia juga makin tinggi. Keandalan para teknisi pesawat terbang makin teruji dan dapat menjadi aset berharga bagi negara.



Rupanya, respons positif dari gagasan aerospace park itu juga baru muncul dua tahun belakangan ini. Lagi-lagi kita ketinggalan oleh Singapura yang pada Februari lalu di Singapore Airshow meluncurkan Seletar Aerospace Park (SAP). SAP sudah dibangun sejak tahun 2007 di lahan seluas 140 hektar dan ultimate pada tahun 2017. Begitu juga Malaysia, yang mendirikan Malaysia International Aerospace Center (MIAC), mulai tahun 2007.



Garuda Indonesia bersama GMF (Garuda Maintenance Facility) baru merencanakan pembangunannya tahun ini di Bintan, Kepulauan Riau. Sementara itu, boleh jadi Lion Group yang sudah membuka lahan di Batam untuk fasilitas MRO-nya --Batam Aero Technic (BAT) dibuka akhir Januari lalu-- akan menjadikannya aerospace park.  “Dulu kami sudah mengusulkan untuk membuat aerospace park di Jakarta dan Makassar. Namanya aerospace park itu harus punya akses ke runway, yang daerahnya menjadi wewenang pengelola bandara. Namun visinya belum sama,” ujar Richard.



Kurang Dari 3.000 Orang


Tidak usah heran jika kemudian Indonesia kekurangan teknisi dan tenaga ahli perawatan pesawat. IAMSA memperkirakan jumlahnya sekarang di bawah 3.000 orang. Dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Ditjen Perhubungan Udara disebutkan bahwa sampai saat ini nomor registrasi teknisi yang memiliki lisensi ada lebih dari 7.000. “Tapi kan ada yang sudah tidak jadi teknisi lagi, pensiun, atau sudah meninggal,” ujar Kus Handono, Kepala Sub Direktorat Perawatan DKUPPU.



Richard menjelaskan bahwa 3.000 teknisi itu adalah untuk fixed wing yang operasi reguler. Boleh jadi ditambah dengan teknisi helikopter dan fixed wing carter ada sekitar 5.000 orang, seperti diungkapkan Bambang Soeriawan, General Manager Bandung Jet Aero yang mantan Sekjen IAMSA.  itulah tenaga teknisi di Indonesia. Padahal, prediksi IAMSA, kebutuhan industri perawatan pesawat untuk lima tahun ke depan mencapai 6.000 teknisi untuk fixed wing yang operasi reguler dan lebih lagi dengan pesawat carter. Namun perkiraan ini disertai dengan asumsi bahwa kapasitas MRO nasional ditingkatkan dari 30 persen-40 persen menjadi 50 persen-60 persen.



Apakah teknisi juga akan seperti pilot yang banyak mendatangkan tenaga asing? Sampai saat ini, hanya untuk pekerjaan khusus tenaga teknisi asing dipekerjakan di Indonesia dan dalam waktu singkat. “Sekarang gak ada engineer asing di Garuda,” kata Batara Silaban, Direktur Teknik Garuda Indonesia. Sebelumnya, Garuda mendatangkan teknisi asing untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, terutama sewaktu awal mendatangkan pesawat baru.



Di sisi lain, menurut Richard, memang betul kapasitas MRO Indonesia baru bisa meraup 30 persen pasar perawatan pesawat dalam negeri, sisanya masih dirawat di luar negeri. Pasar dengan nilai 1,1 miliar dolar AS pada tahun 2013 itu hanya dapat diraih MRO Indonesia sekitar 330 juta – 440 juta dolar AS. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persennya masuk ke kantung GMF. Jadi, fasilitas MRO di luar GMF hanya mampu meraih 100 juta – 130 juta dolar AS. Padahal ada 66 fasilitas MRO di Indonesia, selain GMF.

Indonesia Berpotensi Jadi Bengkel Pesawat Terbaik Di ASEAN

Indonesia punya peluang jadi negara tujuan perawatan pesawat terbang utama di ASEAN. Pasalnya, kualitas dan keahlian teknisi asal Indonesia telah diakui hingga ke Timur Tengah.

"Ada beberapa orang Indonesia yang di-hire (direkrut) untuk bekerja di pusat-pusat perawatan pesawat di Timur Tengah. Kita tahu karena kita pernah rekrut ternyata dia orang Indonesia yang pernah menjadi expert (tenaga ahli) di middle east (Timur Tengah)," ujar Ketua Indonesia National Ailines Carriers Association (INACA) Arif Wibowo dalam paparannya di Pringgodani, Jakarta, Kamis (12/6/2014).

Menurutnya, hal tersebut menjadi bukti bahwa kualitas tanaga ahli perawatan pesawat tanah air telah diakui hingga ke kancah internasional. Untuk itu, dirinya berharap pengembangan potensi ini dapat diseriusi oleh pemerintah dengan meningkatkan jumlah sekolah kejuruan yang mencetak tenaga ahli dalam bidang perawatan pesawat udara.

Saat ini sekolah penerbangan di Indonesia baru berjumlah sekitar 20 unit sekolah dengan jumlah lulusan rata-rata 300 orang per tahun. Padahal kebutuhan tenaga ahli perawatan pesawat setiap tahun terus meningkat bahkan jumlahnya diperkirakan mencapai 1.000 orang per tahun.

Bisnis penerbangan Indonesia masih bertumbuh rata-rata 8,17% per tahun, dengan demikian kebutuhan teknisi pesawat terbang akan semakin banyak. Saat ini di Indonesia ada sekitar 923 unit pesawat di mana 542 unit diantaranya beroperasi aktif.

Artinya diperlukan lebih banyak tenaga ahli dalam hal pemeliharan pesawat yang haris disediakan Indonesia.

"Mekanik, tenaga ahli, juru mesin dan sebagainya mendukung perwatan pesawat yang handal. Surabaya dan beberapa sekolah penerbangan di Indonesia sudah bisa untuk itu. Diharapkan di masa depan akan lebih banyak lagi, harus didorong supaya lebih banyak lagi," tuturnya.

Dalam kesepatan yang sama, anggota INACA Edward Sirait menerangkan, potensi tersebut dapat dioptimalkan dengan memperbaki sejumlah lini industri di bidang perawatan pesawat.

Selain itu, keberpihakan pemerintah terhadap industri ini dalam hal penyedian kebijakan-kebijakan yang tepat diharapkan dapat meningkatkan daya saing sektor penerbangan tanah air.

"Kalau pemerintah menyediakan kemudahan komponen pesawat untuk masuk, bukan tidak mungkin nanti pesawat-pesawat dari luar negeri itu berobatnya ke Indonesia," ungkap dia.



Sumber : Angkasa

1 komentar:

  1. Galang para akademisi teknisi pesawat ITB, PT DI, BPPT, PT Lapan, TNI AU agar membuat unuversitas yg membidani teknisi pesawat dan kesempatan yg tdk boleh disia2kan hrs direbut krn sangat strategis bagi militer, pencari kerja maupun pemasukan uang ke negara. Salam............

    BalasHapus