Pages

Jumat, Juni 08, 2012

Operasi Militer Dalam Kacamata Undang-Undang TNI

TRBN-(IDB) : Meskipun selama ini Undang-Undang Nomor 34 menjadi payung hukum dan pendorong bagi TNI untuk melakukan berbagai langkah perubahan, namun apabila disimak secara seksama dan memperhatikan berbagai polemik belakangan ini, akan ditemukan berbagai kejanggalan dan kesulitan dalam mengimplementasikan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34. Salah satunya yang tertuang dalam pasal 7 ayat 2 mengenai pemisahan tugas pokok TNI melalui Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta pelaksanaan  operasi militer selain perang yang harus  berdasarkan  kebijakan  dan  keputusan  politik  negara  sesuai  ayat pasal 7 ayat (3).

Harus diakui dan kita patut mengapresiasi apa yang dilakukan TNI sejak bergulirnya gelombang reformasi 1998. TNI tanggap dan menyadari bahwa dia merupakan salah satu institusi yang menjadi obyek  tekanan publik untuk berubah, tidak lagi  menjadi alat penguasa dengan “Dwi Fungsi ABRI”nya.  Atas kesadaran itu TNI  terus berbenah dan menata diri dengan istilah “Reformasi internal TNI”. TNI tidak hanya mencabut Dwi Fungsi ABRI sesuai tuntutan reformasi yang diusung para mahasiswa pada tahun 1998 saja, tetapi TNI juga melakukan sejumlah langkah perubahan restrukturisasi dan reorganisasi, reaktualisasi, reposisi dan redefinisi TNI dengan munculnya berbagai produk regulasi perundangan seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002, TAP MPR Nomor VI dan Nomor VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta puncaknya dengan  ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Undang-Undang  Nomor 34 Tahun 2004 ini menjadi payung hukum yang sah dalam perjalanan peran dan kiprah TNI sesuai yang diharapkan bangsa Indonesia. Beberapa capaian yang diraih selama periode ini antara lain likuidasi staf Komunikasi sosial TNI pada tahun 2005, netralitas TNI dalam Pemilu dan Pilkada, penghapusan  bisnis militer dan pengalihan pengadilan militer (meskipun masih menyisakan pekerjaan rumah), keputusan Panglima TNI mengenai keharusan adanya surat pengunduran diri dari dinas aktif bagi prajurit yang akan ikut bertarung dalam Pilkada, larangan tidak menggunakan asrama dan fasilitas TNI untuk kampanye Pemilu dan Pilkada serta berbagai capaian lainnya. Suatu perubahan nyata yang tidak terbayangkan dapat diwujudkan, apabila kita menyimak sepak terjang TNI dimasa rezim Orde Baru.

Meskipun selama ini Undang-Undang Nomor 34 menjadi payung hukum dan pendorong bagi TNI untuk melakukan berbagai langkah perubahan, namun apabila disimak secara seksama dan memperhatikan berbagai polemik belakangan ini, akan ditemukan berbagai kejanggalan dan kesulitan dalam mengimplementasikan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34.   Salah  satunya  yang  tertuang  dalam pasal 7 ayat 2 mengenai pemisahan tugas pokok TNI melalui Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta pelaksanaan  operasi militer selain perang yang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara sesuai ayat 3.

Pemisahan tugas pokok TNI terbagi menjadi dua yaitu OMP dan OMSP rasanya kurang tepat. Bagaimana tidak? Kalau mengacu kepada pemisahan itu dan penjelasan apa yang dimaksud dengan operasi militer untuk perang yakni segala bentuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI untuk melawan kekuatan militer negara lain yang melakukan agresi terhadap Indonesia, dan/atau dalam konflik bersenjata dengan suatu negara lain atau lebih yang didahului dengan adanya pernyataan perang dan tunduk pada hukum perang internasional, maka selama ini tidak ada operasi atau kegiatan TNI yang dapat dikategorikan dalam OMP.  Sejak Operasi Trikora menghadapi Belanda untuk memperebutkan Irian Barat (Sekarang Papua) dan Operasi Dwikora dalam konfrontasi melawan Malaysia pada awal tahun 1960-an, TNI tidak pernah lagi melakukan operasi militer untuk perang. Intinya kegiatan TNI yang dapat dikategorikan OMP dapat dikatakan “Nihil”. Apa yang dilakukan TNI selama ini khususnya usai konfrontasi dengan Belanda dan Malaysia masuk dalam kategori operasi perbantuan, operasi “civic mission” yang menurut UU No.34/2004 termasuk operasi militer selain perang.  Padahal pandangan masyarakat awam tugas tentara itu yah perang, melakukan kegiatan-kegiatan militer untuk perang menjaga keutuhan, kedaulatan negara dan menjaga keselamatan bangsa Indonesia.

Istilah operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang sedikit banyak mengadopsi apa yang dilakukan oleh tentara AS dalam membagi tugasnya.  Kalau AS menggunakan istilah OMP dan OMSP memang pas, karena memang cocok dengan doktrin negara adidaya itu yang identik dengan polisi dunia dan doktrin militernya bersifat ofensif aktif.  Operasi militer untuk perang senantiasa digelar dan dilakukan seperti beberapa waktu lalu menggelar operasi militer di Irak, Afganistan, Libia dan sebagainya, sementara operasi kemanusiaan yang dikenal dengan civic mission sifatnya hanya bersifat insidentil saja. Berbeda dengan Indonesia, yang tidak mengenal dan menerapkan doktrin ofensif aktif. Operasi militer yang dilakukan Indonesia lebih bersifat defensif untuk mempertahankan wilayah dan kedaulatan NKRI serta operasi bersifat bantuan yang masuk dalam kategori OMSP.

Lebih tepat apabila tugas pokok TNI dipilah menjadi Operasi Militer untuk  Pertahanan (OMP)  dan Operasi Militer untuk Bantuan (OMB).  Operasi Militer untuk Pertahanan meliputi pengerahan dan penggunaan pasukan TNI  terkait dengan tugas TNI dalam menjaga keutuhan wilayah  dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan hanya terbatas untuk perang saja, tetapi juga termasuk mengatasi gerakan separatis bersenjata dan mengatasi pemberontakan dalam skala tertentu, patroli darat, udara dan laut, pengamanan perbatasan, penempatan pasukan TNI di pulau- pulau terdepan dan operasi militer terkait pertahanan lainnya. Sementara Operasi Militer untuk Bantuan (OMB) pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI untuk membantu fungsi dan tugas pokok badan, institusi, kementerian lain, termasuk tugas internasional membantu PBB.

Begitupula dengan pasal 7 ayat (3) yang berbunyi “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Dalam hal ini seluruh pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI diharuskan berdasarkan keputusan Presiden dan disetujui oleh DPR. Pasal 7 ayat (3) seharusnya tidak berlaku secara menyeluruh terhadap operasi militer yang dilakukan oleh TNI. Operasi militer terkait dengan pertahanan yang bersifat rutin seperti patroli darat, udara dan laut dan operasi militer untuk bantuan seperti membantu badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penanggulangan bencana, membantu Basarnas dalam membantu pencarian dan pertolongan kecelakaan, pemberdayaan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung secara dini, membantu pengamankan tamu negara tidak harus berdasarkan keputusan politik negara. Pengalaman selama TNI selama ini dalam membantu penanggulangan bencana dinilai lambat terus. Dapat dibayangkan kalau operasi bantuan ini harus menunggu keputusan politik negara, bantuan TNI akan semakin lambat dan tudingan TNI tidak sigap dalam memberi bantuan kembali akan dialamatkan kepada institusi ini.  Evakuasi korban pesawat Shukoy Superjet 100 yang jatuh di Bogor tidak akan selesai secepat itu bila harus menunggu keputusan politik negara dalam mengerahkan dan menggunakan kekuatan TNI yang tergabung dalam tim SAR.

Pasal 7 ayat (3) yang menggeneralisir terhadap setiap operasi militer yang dilakukan oleh TNI juga menimbulkan polemik saat baru-baru ini TNI diminta dan disertakan dalam mengamankan istana negara saat berlangsungnya demonstrasi terkait issu kenaikan BBM beberapa bulan lalu.

Dari sisi pelaksanaan tugas pokok TNI yang dilakukan dengan pemilahan Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk ketentuan dalam operasi militer yang tertuang dalam pasal 7 dimana semuanya harus didasarkan keputusan politik negara, sudah menimbulkan debatable dan polemik dalam tataran implementasinya. Belum lagi disimak pasal-pasal lainya, tentu masih banyak didapati kekurangan. Hal ini dapat dimaklumi, karena Undang-Undang TNI diproduksi ditengah suasana euforia tuntutan reformasi salah satunya tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI. Saat itu, ABRI dinilai terlalu jauh mendominasi dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga perlu adanya perubahan dalam bentuk reformasi TNI.

Dengan semangat reformasi, tidak ada salahnya apabila dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, mengingat UU TNI itu masih menyimpan sejumlah pasal yang dapat dikategorikan multitafsir, debatabel dan tumpang tindih dalam tataran implementasinya.


Sumber : Tribunnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar