ANALISIS-(IDB) : Sesungguhnya perjalanan demokrasi kita hari-hari ini
sedang panas dalam, meriang dan kalau tidak mampu dikelola bisa menjadi meraung
dan mengaum saling menerkam. Di tataran
pengambilan suara tanggal 9 Juli 2014 yang lalu para pemilih suara telah
menampakkan kualitas demokrasinya dengan antusias mendatangi berbagai TPS di
seluruh Indonesia. Artinya rakyat
Indonesia yang punya hak pilih telah memenuhi kewajibannya untuk memilih RI-1.
Dunia mengakui kehebatan para pemilih Indonesia dalam menjalankan hak
demokrasinya.
Masalahnya kemudian adalah di model perhitungan suara
yang bernama quick count yang berbeda satu sama lain jika berhadapan dengan
kubu yang berseberangan. Ini kemudian melahirkan sebuah kalimat populer yang
pernah disebutkan almarhum Gus Dur yaitu
membela yang bayar. Di kubu A lembaga survey membela kliennya demikian juga di
kubu B. Ini juga salah satu indikator
yang menjadi pemicu gejolak panas dalam ditambah lagi dengan keberpihakan media
yang terbelah menjadi dua kubu yang berseberangan. Meminjam istilah sastrawan, Indonesia saat
ini bagai bulan yang terbelah dua.
Sesuai perintah, saat ini satu juta Polisi dan Tentara
dalam kondisi siaga penuh untuk mengantisipasi kondisi terburuk dalam
perjalanan berdemokrasi kita. Ada pergerakan
dan pergeseran pasukan bersama sejumlah alutsista di berbagai tempat strategis. Sebagai alat dan instrumen penyelamat negara
dari gangguan keamanan dan pertahanan, menyiagakan personel dan sejumlah
alutsistanya merupakan keniscayaan yang dibenarkan. Kendali tokoh publik atau politisi tentu ada
di lisan dan laku sikap. Manakala lisan
provokasi dan laku sikap berlaku anarkis jelas akan berhadapan dan berlawanan
dengan instrumen penyelamat negara.
Militer Indonesia bersiaga penuh |
Sayangnya pihak pemenang tipis pemilu ingin cepat-cepat
merevolusi tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negeri piramid itu
sehingga menimbulkan birahi berkelahi. Disamping itu sesungguhnya Israel
berkepentingan dengan posisi Mesir yang status quo alias tidak adanya aroma
ikhwanul muslimin di pemerintahannya. Oleh karena itu berbagai upaya intelijen dilakukan
untuk mengembalikan posisi status quo tadi.
Meski gejolak politik di Mesir menimbulkan efek domino
alias Arab Springs dengan kejatuhan beberapa rezim pemerintahan di sekitarnya
tapi kita bisa lihat sekarang kondisi negeri “Firaun” itu yang tidak sembuh
dari luka dan cuka demokrasi. Militer mengambil alih pemerintahan untuk
menyelamatkan wibawa negara. Sebabnya karena posisi sama kuat blok demokrasi di
dalam negeri itu yang tak mampu merekonsiliasi diri. Kemudian adanya campur tangan Israel dan AS
untuk tetap “memegang dan menggenggam” Mesir agar tetap jinak.
Demikian juga pertarungan demokrasi sama kuat antara
kelompok baju ningrat dengan kelompok baju egaliter yang dikenal dengan sebutan
kaos kuning dan kaos merah di Thailand. Berlarutnya dalam hitungan tahunan saling
hujat antara kedua kelompok itu akhirnya memancing militer Thailand untuk
mengambil alih pemerintahan. Seperti kita ketahui seorang pengusaha kaya Thaksin
Shinawatra dalam sekian tahun memerintah negeri gajah putih itu, dan terguling,
telah berhasil memikat hati kaum egaliter terutama petani dan pedagang. Kaum inilah yang menjadi lawan tanding
kelompok kaos kuning sebutan untuk mereka yang berada dalam kelas pegawai
negeri, keluarga tentara dan pemuja nilai-nilai kerajaan.
Titik Nol Yogya, haruskah kembali ke titik Nol |
Maka saatnya elite partai dan kelompok masing-masing
harus mampu menunjukkan kecerdasan berpolitik, kecerdasan emosional, kecerdasan
intelektual. Asal tahu saja kalangan
grass root atau akar rumput tidak akan melakukan tindakan apa-apa jika tidak
ada instruksi dari atasan partai atau kelompoknya. Mestinya kita banyak bercermin dari
kedewasaan masyarakat pemilih kita yang sudah kembali menjalankan aktivitas
mereka. Berbagai aktivitas mereka sesungguhnya menggerakkan perekonomian yang
terus tumbuh dan berkembang di negeri ini.
Ketika saatnya diumumkan siapa yang menjadi pemenang
untuk menjadi Presiden lima tahun ke depan, mestinya jauh-jauh hari sudah
dikondisikan bagi kedua petarung dan kelompoknya untuk siap kalah dan menerima
kekalahan dengan legowo. Tentu ini berat
karena ongkos politik tidak hanya berupa nilai tukar tetapi juga gengsi diri,
harga diri, aktualisasi diri, emosi diri dan ambisi diri terhadap apa yang
disebut nilai perolehan harga kekuasaan.
Tentu semua ada limitnya. Oleh
sebab itu pusat gravitasi kendali merupakan kunci untuk memberikan ketenangan
pada harga diri, gengsi diri termasuk kendali kelompok.
Pada posisi tak terkendali, bukan sesuatu yang haram jika
Polisi dan Tentara bahu membahu menghantam habis kelompok anarkis yang berusaha
mencederai martabat demokrasi karena tak siap kalah. Posisi darurat sipil maupun darurat militer
bisa dan sah diberlakukan di seluruh tanah air manakala kemarahan lisan berubah
menjadi kemarahan destruktif tak terkendali.
Kita berada di persimpangan itu, mau meneruskan universitas demokrasi
dengan nilai cum laude atau terpaksa harus mengulang kembali karena tidak lulus
mata kuliah pengendalian diri.
Semoga berkah Ramadhan ini mampu memberikan berkah demokrasi
yang bening, pengendalian diri untuk sebuah kemenangan Indonesia Raya yang majemuk.
Dan di Idul Fitri nanti kita semua bisa mengembalikan nilai kesejatian pada fitrah
diri, fitrah berbangsa, sebuah kebanggaan pada nilai kebangsaan Indonesia Raya.