Bulan Sibuk
JKGR-(IDB) : Bulan Juni dan Bulan Juli di tahun ini serasa bulan yang sesak agenda bagi masyarakat Indonesia. Konsentrasi masyarakat terbagi dengan segala hajatan, pilihan dan kegiatan yang harus dilaksanakan di negeri ini. Hingar bingar politik mempengaruhi masyarakat memilih para capres di pilpres tanggal 09 Juli di dalam rangkaian pemilu 2014, ditambah masyarakat harus sibuk memilihkan anak anaknya untuk berkompetisi memasuki sekolah sekolah kawasan dan sekolah negeri dan sekolah idaman di tingkat SMP, SMA maupun perguruan tinggi, dan yang terakhir memilih untuk menjalankan Ramadhan dan Lebaran di kampung halaman sambil melihat kondisi keuangan masing masing keluarga.
Masyarakat tidak tersadar bahwa sedang menghadapi dua musim perekonomian yang sulit dalam waktu yang berdekatan.
Di Indonesia ada tiga musim yang menyebabkan perekonomian masyarakat
akan seret, inflasi bertambah dan nilai tukar rupiah yang melemah, dan
biasanya yang punya kreditan motor, mobil, elektronik ataupun kreditan
rumah akan tersendat pembayarannya karena masyarakat lebih mementingkan
hajatan (keperluan) musiman tersebut.
Tiga musim itu adaah saat Tahun ajaran baru sekolah, Lebaran, dan liburan Natal dan Tahun Baru.
Masyarakat Indonesia kebanyakan akan mementingkan biaya sekolah putra
putrinya, sehingga bagi yang tidak mempunyai tabungan berlebih akan
membuat utang baru dengan menggadaikan BPKB kendaraannya, semakin sering
menggesek kartu kreditnya atau menguras tabungannya. Belum lagi
diliburan Tahun ajaran baru ini banyak orangtua yang mengkhitankan
putranya.
Di musim lebaran juga hal yang sama masyarakat akan mendahulukan
kepentingan Lebaran dan mudik yang memerlukan banyak biaya, demikian
juga saat liburan natal dan tahun baru. Bagi pelaku pebisnis sudah hafal
ketiga musim uang seret tersebut, di Indonesia.
Kondisi keperluan masyarakat yang mendesak tersebut di atas biasanya
mendorong beberapa aksi kriminal yang meningkat, jadi bisa dibayangkan
betapa susah masyarakat Indonesia mengahadapi bulan Juni dan Bulan Juli
tahun ini, karena dua musim datang bebarengan yaitu musim Tahun ajaran
baru dan Musim Ramadhan Lebaran, dan semakin pusing ditambahi musim
kampanya Pilpres.
Rupiah melemah juga disebabkan tertekan banyak faktor mulai
fundamental ekonomi, situasi politik, hingga geopolitik intermasional.
Kita Pernah Ketipu
Coba kita review lagi peristiwa rontoknya perekonomian Indonesia di saat suksesi kepimpimpina di masa 1998.
Di dalam buku terbitan Crawford House Publisihing, Australia yang
berjudul: THE FALL OF SOEHARTO (diterbitkan hanya beberapa bulan setelah
Soeharto mundur), ada cerita menarik. Buku setebal 261 halaman itu
merupakan kumpulan artikel yang penulisnya sebagian besar adalah
pengamat Indonesia dari Australia seperti: Jamie Mackie, Richard
Robinson, Harold Crouch, Hall Hill dan Geoff Forrester. Buku ini mencoba
menganalisis faktor-faktor yang mendorong mundurnya Soeharto dari
jabatannya.
Faktor utama yang disebutkan di buku itu adalah semakin memburuknya
situasi ekonomi saat itu. Hall Hill menilai krisis ekonomi sejak Juli
1997 menyebabkan jatuhnya Soeharto. Krisis ekonomi yang disusul krisis
politik mengakibatkan pelarian modal ke luar Indonesia secara masif,
hingga menyebabkan anjloknya nilai rupiah mencapai Rp 17.000,- per
dolar.
Rupiah yang lemah membuat pebisnis “collaps” karena tidak dapat lagi
mengelola utang luar negerinya. Situasi ini diperburuk dengan besarnya
utang luar negeri dan buruknya sistem manajemen keuangan dalam negeri.
Harga barang kebutuhan pokok melonjak, sehingga menimbulkan keresahan
sosial yang luar biasa.
Begitulah. Yang dipahami orang waktu itu adalah Presiden Soeharto
jatuh karena krisis ekonomi. Tapi belakangan, pemahaman itu berubah
seiring dengan berjalannya waktu dan bersuaranya para tokoh yang
terlibat memberikan analisa dan kesaksian.
Analisa di balik jatuhnya Soeharto pun memiliki nuansa pemahaman
baru. Ada pihak yang berpendapat lebih spesifik dari sekedar “Soeharto
jatuh karena krisis ekonomi”. Mereka berpendapat “Soeharto jatuh karena
IMF” Pendapat ini antara lain dikemukakan Prof. Steve Hanke, penasehat
ekonomi Soeharto dan ahli masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board
System (CBS) dari Amerika Serikat.
Menurut ahli ekonomi dari John Hopkins University itu, Amerika
Serikat dan IMF-lah yang menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan
Soeharto. Ini dibuktikan dari pengakuan Direktur Pelaksana IMF Michael
Camdessus) -(pejabat IMF yang bersedekap melihat Presiden Soeharto tak
berdaya menandatangani LoI).
Dalam wawancara “perpisahan” sebelum pensiun dengan The New York
Times, MR.Camdessus yang bekas tentara Prancis ini ‘MENGAKUI’ IMF berada
di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia. “Kami menciptakan
kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun,” ujarnya.
Pengakuan ini tentu saja menyambar kesadaran banyak orang (Rakyat
Indonesia). Tak dinyana, krisis di Indonesia ternyata bukan semata
kegagalan kebijakan ekonomi Soeharto, tapi juga berkat “bantuan” IMF.
Jatuhnya Soeharto, ternyata bukan hanya karena sikut-sikutan di kalangan
militer atau tekanan politik dalam negeri dan gerakan mahasiswa,
melainkan lebih karena tekanan pasar keuangan internasional dan IMF.
Pendapat sama, lanjut Hanke, juga dikemukakan oleh mantan PM
Australia Paul Keating. Keating mengatakan “AS tampak dengan sengaja
menggunakan ambruknya ekonomi sebagai alat untuk menggusur Soeharto”.
Memang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar, mengapa IMF
ingin menjatuhkan Soeharto ?.
Tapi, yang jelas, menurut para ekonom, masuknya IMF ke Indonesia
seperti membawa kunci pembuka bagi “GUDANG HARTA terpendam,” yakni pasar
Indonesia yang luar biasa dahsyat.
Terlintas dipemikiran…Apakah Asing akan menipu lagi dipilpres kali ini..??
Terlintas dipemikiran…Apakah Asing akan menipu lagi dipilpres kali ini..??
Safari Kecil Kecilan
Dua Minggu kemarin saya mencoba berkeliling ke desa-desa di Jawa,
bersafari kecil kecilan sembari mengendarai sedan butut 2006 yang masih
empuk suspensinya menyusuri jalan jalan di kota kecamatan. Sempat
bertemu dengan ibu ibu warakawuri janda pensiunan Tentara dan janda
mantan tahanan tapol di era Orde Baru, juga seorang sepuh warga
keturunan. Semua nara sumber yang saya ajak mengobrol ini mengalami
semua episode pemilu di jaman Pak Karno, Pak Harto, Pak Habibie dan Pak
SBY.
Ibu A yang warakawuri janda pensiunan tentara saya coba berikan
pertanyaan ke beliau: “Bu tanggal 9 mau memilih siapa presidennya ?”. Si
Ibu menjawab: “Saya nggak ngerti siapa saja calon presidennya,
memangnya siapa saja ? Pak SBY sudah gak nyalonkan lagi ya ? Mggak tahu
saya berangkat memilih atau tidak nanti”.
Anaknya di sebelah langsung ikut berkomentar: “Itu lho Bu, yang nomer
satu mantunya Pak Harto, yang nomer dua dari Partai Anaknya Pak Karno.
Pak SBY sudah nggak boleh dipilih lagi Bu”.
Si Ibu A langsung menjawab: “Oalahh, wis embuh (nggak tahu) masih
binggung mikir persiapan ramadhan dan lebaran saja dan sunatannya cucu
ibu”.
Sedangkan saat bertemu si ibu B Janda mantan istri tapol di kota
lainnya, kembali saya mencoba bertanya: “Bu tanggal 9 memilih siapa ?”.
Si Ibu B menjawab : “Saya gampang mau memilih siapa nanti, yang
penting setelah pemilu damai, tidak rusuh agar anak anak dan cucu saya
gampang sekolah dan cari uangnya,..alhamdulilah cucu ibu sudah diterima
kerja di kontraktor asing lapangan pengeboran minyak di Cepu”.
Perjalanan saya lanjutkan menuju kota lainnya dan sempat ngobrol di
warung kopi dengan seorang sepuh warga keturunan, Bapak C. Ia masih
terlihat gagah dan sehat di usianya yang sudah renta. Saya mulai
pertanyaan untuk mengingat memorinya: “Pak apakah bapak masih ingat
Pemilu dilaksanakan kapan saja ?”. Pak C langsung menjawab dengan lancar
dan tepat kapan saja hajatan pemilu itu pernah dilaksanakan di
Indonesia. “Saya masih ingat saat jaman Pak Karno pemilu itu tahun 1955,
PNI yang menang, saya masih muda saat itu, kalau jaman Pak Harto mulai
thn 1971. Dan reformasi mulai thn 1999″, ujarnya tangkas.
Saya terkesan dengan jawaban bapak C dan memang benar Indonesia sudah
melaksanakan sebelas kali pemilu yaitu di tahun 1955, 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2014. Sedangkan bagi saya yang paling
saya ingat prosesi pemilu itu ya mulai tahun 1977.
Saya lanjut bertanya: “Bapak pilih siapa dan bagaimana harapannya Indonesia ke depan ?”.
Bapak C menjawab : “Saya memilih (sambil menyebut salah satu capres)
dan harapan saya suasana sepuluh tahun Indonesia yang damai dan aman
dilanjutkan dan ditingkatkan agar masyarakat semakin makmur”.
Saya uber pertanyaan yang lebih hot : “Pak bagaimana bila hasil
pemilu kisruh dan akhirnya rusuh ?”. Beliau menjawab : “Janganlah,
ngapain rusuh apa yang dicari ?. Presiden itu bukan segala-galanya bagi
rakyat. Siapapun yang jadi yang penting kebijakannya membuat kondisi
rakyat tentram. Cukup makan dan pekerjaan. Buat apa dibela-belain sampai
rusuh, toh presiden yang kalah pasti nggak kepingin Indonesia rusuh”.
Memori saya langsung mengingat bagaiman pemilun di tahun 1977 di mana
saya sudah paham betul bagaimana sistim pemilu di Indonesia
dijalankan,dan belajar kepada bapak saya yang menjadi ketua KPPS dan
memegang semua daftar peserta pemilu dan daftar para warganegara yang
tidak diperbolehkan ikut pemilu.
Di tahun 1977 dimulainya pemilu yang hanya diikuti 3 kontestan saja,
sejak diberlakukannya Undang undang Nomer 3 tahun 1975 yaitu diadakan
Fusi (penggabungan) partai partai politik menjadi hanya dua partai
politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi
Indonesia) dan satu Golongan Karya Pada tahun 1975. Sebelumnya di tahun
1974 ada kerusuhan Malari menjadikan pemilu 1977 adalah tes
berlangsungnya pemilu orde baru berlangsung sukses dan tidak ada gejolak
setelahnya ataukah akan ada rusuh ?. Dan alhamdulillah hasilnya
Indonesia tetap aman.
Dan kembali terngiang ucapan Bapak C yaitu : “Janganlah, ngapin rusuh
? Apa yang dicari ?. Toh kita hanya rakyat yang tugasnya memilih siapa
pemimpin Indonesia yang baru, bukan memilih Negara yang baru mau ikut ke
siapa condongnya ?. Kenapa rakyat harus gontok gontokan membela mati
matian sampai akhirnya mudah dihasut dan diprovokasi agar Rusuh ?.
Kepentingan Nasional harus lebih diutamakan dan kebutuhan sandang pangan
papan dan pekerjaan lebih urgent”.
Sistim demokrasi dan pemerintahan di Indonesia sudah ditetapkan
melalui UUD 1945, Pancasila,TAP MRP, Undang Undang dan Peraturan
Pemerintahan dan lain-lain, yang bisa mengawal siapapun Presiden yang
terpilih menjalankan tugasnya sesuai Konstitusi Indonesia, Walaupun
belum sematang di USA yang sistemnya, ideologi dan politik luar
negerinya tak akan berubah, sehingga siapapun presidennya yang terpilih,
Indonesia sudah menuju ke sana yaitu sistem yang sudah ditata agar
Presiden yang terpilih tidak seenaknya berbuat semaunya merugikan rakyat
dan negaranya.
Demikian juga dengan Kementerian pertahanan, TNI dan Kepolisian
sebagai alat negara yang bertugas melindungi masyarakat dan negara, agar
terhindar dari segala rongrongan dari dalam dan luar negeri. Alat
negara tidak terpengaruh siapapun Presiden yang terpilih karena pasti
akan dijunjung dan dijaga. SDn alat negara juga mempunyai sistem yang
paten yang tidak begitu saja gampang diotak atik atau dihancurkan oleh
presiden terpilih. Demikian juga dalam program MEF ke depan MEF sudah
mempunyai Blue print yang harus diteruskan oleh Presiden terpilih untuk
tujuan kemajuan alat negara.
Ciptakan Pemilu Yang Aman
Rakyat harusnya sudah DEWASA dalam menyalurkan aspirasi politiknya,
karena Indonesia sudah mengalami banyak episode dalam pendewasaan
demokrasi.
Jargon jargon yang mengajak rakyat untuk mengingat bahaya laten orde
baru atau bahaya laten komunisme itu sudah tidak berarti dan tidak
mempengaruhi kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Toh walaupun
jaman orde baru bangkit kembali, tidak akan bisa berjalalan seperti dulu
karena sistem di Indonesia sudah terbangun. KKN sudah tidak bisa
leluasa tumbuh di negara Indonesia. Demikian juga bila jaman komunisme
akan bangkit pun tidak bisa hidup di negara Indonesia karena paham
komunisme bisa tumbuh dengan memanfaatkan kemiskinan rakyatnya dan
jurang yang lebar antara miskin dan kaya, sedangkan kondisi itu tidak
terjadi lagi diIndonesia yang perekonomiannya terus tumbuh.
Kalau begitu bahaya laten apa yang harus diwaspadai ?. Yang harus
diwaspadai adalah bahaya hancurnya persatuan dan kesatuan NKRI,
Perekonomian yang tumbuh, masyarakat yang cerdas, alutsista yang gahar,
akan tidak berarti bila komponen bangsa masih mudah dihasut untuk
diceraiberaikan dan diadu domba. Dan masa masa menjelang pilpres dan
pasca pilpres adalah masa paling rawan untuk dihasut agar bangsa ini
terpecah belah oleh asing yang ingin tetap menjadikan Indonesia yang
kaya sumber daya sebagai sapi perah mereka.
Jangan ubah Persatuan nasional menjadi Perseteruan nasional yang
menjurus “Persatean nasional” (chaos). Rakyat bangsa ini harus SADAR
akan penjajahan putih yang masih berlangsung di bumi Nusantara
dikarenakan saat adanya gejolak gejolak yang terjadi di negara ini,
ternyata akibat konspirasi asing yang ingin menguasai segala sumber daya
Indonesia yang besar ini.
Negara ini harus bangkit dan harus SADAR, bangun dan mulai berjalan,
berlari mengejar KEMANDIRIAN agar bisa memanfaatkan semua anugerah yang
diberikan oleh Tuhan YME kepada bangsa ini untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat sebesar besarnya.
Berkaca dari jejak yang ada di sejarah Indonesia maka asing bisa
MENKONDISIKAN keadaan di Indonesia siapa capres yang disukai dan siapa
capres yang tidak disukai. Demikian juga pasca pilpres bila ternyata
tidak sesuai dengan asing, maka mereka bisa saja menciptakan krisis dan
menggoyang siapa yang berkuasa. Kita tidak ingin pengkondisian di atas
terjadi di Indonesia lagi.
Bagaimana cara melawannya ?.
Siapapun capres yang terpilih secara konstitusional HARUS kita
dukung. Rapatkan barisan untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan,
jangan mudah terhasut ajakan ajakan dan gerakan yang Inkonstitusional,
dan jangan panik dengan kondisi perekonomian yang goyang bila itu
terjadi, tetap bekerja secara normal dan jangan ikut membuat chaos
perekonomian.
Bukankah kondisi gonjang ganjing politik dan ekonomi itu bisa saja
model pengkondisian asing seperti jaman dulu ?. Pilpres sudah ditetapkan
hanya satu putaran. Memang di satu sisi biayanya akan lebih murah,
tetapi ongkos sosial politiknya tekesan mahal, dan bisa memicu kericuhan
bila selisih suara hanya berkisar 3 sampai 7 persen.
Ada tiga jalan untuk menyelesaikan permasalahan Pemilu sesuai
peraturan yaitu: Pertama, Peserta pemilu meminta klarifikasi dari KPU.
Jika ada yang keberatan dengan hasil Pilpres. Kedua, Peserta pemilu
mengisi formulir keberatan kepada KPU dan KPU akan meresponnya. Ketiga,
adalah Peserta pemilu bisa menuntut ke Mahkamah konstitusi(MK).
Jangan gunakan dan memperkeruh kondisi dengan modus menuding adanya
“Kecurangan” dan pihak pendukung kedua kubu harus mempersiapkan
mentalnya, yaitu mental untuk menang tetapi tidak sombong, dan mental
untuk kalah tetapi legowo.
Jangan sampai pihak yang menang mengintimidasi mencibir dan mengolok
pihak yang kalah, tetapi rangkullah dan ajak membangun Indonesia
bersama.
Pihak Yang kalah juga jangan merasa dalam sikap mengasihani diri
sendiri dan merasa dikorbankan sehingga ingin mencari pihak lain sebagai
kambing hitam.
Ketidakmampuan menerima kekalahan menimpulkan keputusasaan, frustasi
bahkan depresi masal yang mendorong terjadinya kericuhan dan kerusuhan.
Bukankah yang menang adalah bangsa kita sendiri ? Bukan bangsa lain ?.
Setelah itu kita kawal Presiden terpilih menjalankan visi misnya yang sudah dijanjikan untuk peningkatan Kemakmuran rakyat.
Sukseskan pesta demokrasi pada tanggal 9 Juli 2014. Jangan golput
agar suara anda bisa ikut mengubah Indonesia ke arah yang lebih baik.
Pilihlah dengan otak bukan dengan hati, dan hormati Hasilnya. Para ular
asing dan ular dalam negeri menunggu saat kita terlena dan terjadinya
perpecahan bangsa ini, agar bisa tetap merampok Sumber daya Indonesia.
Salam NKRI.
Sumber : JKGR